Praktek Perbudakan Pada Buruh Rumahan

“PRAKTEK PERBUDAKAN PADA BURUH RUMAHAN”
Sebuah Potret Belum Adanya Perlindungan dari Penyelenggara Negara

Ratno Cahyadi Sembodo*



“Sejak kapan kalimat menjadikan manusia sebagai budak? Padahal saat lahir dari rahim para ibunya, mereka ada dalam keadaan merdeka?” (Umar ibn Khattab)


PENDAHULUAN

Selama ini Pemerintah enggan mengakui bahwa buruh rumahan adalah termasuk buruh yang dilindungi dalam struktur hukum perburuhan Indonesia, tidak kurang Depnakertrans sendiri menyebut buruh rumahan sebagai orang yang melakukan aktifitas pekerjaan informal[1], karena sudah terdapat anggapan umum bahwa buruh yang dapat dilindungi dalam struktur hukum perburuhan kita adalah buruh yang bekerja dalam atribut-atribut formal seperti bekerja dengan memakai seragam kerja, memliki kartu tanda pengenal, dibayar dengan upah minimum, dst. Begitu juga perusahaannya memiliki sejumlah identitas formal seperti SIUPP, nama perusahaan, NPWP, memiliki kantor dan pabrik, dst. Walaupun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I (Dr. Ir. Erman Suparno, MBA, M.Si) sendiri mengakui bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan baik kepada buruh formal maupun informal yang mempunyai hubungan kerja dengan majikan/pengusaha[2]. Cara pandang dan ambivalensi seperti ini sebenarnya lebih terlihat sebagai upaya pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada buruh rumahan, sehingga secara empiris buruh rumahan harus dibiarkan bertarung sendiri dengan kekuatan kapital dari para majikan/pengusaha serta kekuatan pasar yang selalu menginginkan tersedianya buruh murah bagi kelangsungan proses produksi barang/jasa.

Disisi lain angkatan kerja kita dalam berbagai lapangan pekerjaan masih didominasi oleh pekerja sektor informal, hal ini tentu saja berkorelasi dengan ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan formal bagi rakyatnya, sebagaimana data yang tersaji dalam tabel berikut :

Pekerja Sektor Formal dan Informal

PEKERJA
1998
2002
2007
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Formal
30.331.046
34,60
27.836.019
30,37
37.839.250
37,87
Informal
57.341.403
65,40
63.811.147
69,63
62.090.967
62.13
Jumlah
87.672.449
100,00
91.647.166
100,00
99.930.217
100,00
·         Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 1998, 2002 dan 2007; Badan Pusat Statistik (BPS)


Sudah banyak studi empiris mengenai pentingnya sektor informal sebagai sumber alternatif kesempatan kerja, bahkan sering dijuluki sebagai the last resort bagi banyak orang di Indonesia. Artinya, harapan atau pilihan terakhir bagi penduduk miskin atau pengangguran untuk mendapat penghasilan, walaupun sering kali penghasilan atau upahnya pas-pasan hanya untuk sekedar bertahan hidup. Dari jumlah pekerja informal tersebut diperkirakan setengahnya adalah buruh rumahan yang bekerja kepada majikan/pengusaha dengan standar upah jauh dibawah ketentuan Upah Minimum yang berlaku serta ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja maupun jaminan sosial, sehingga buruh rumahan adalah bagian dari warga negara Indonesia yang masih bergelut dengan kemiskinan akibat dari proses pemiskinan struktural yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara.

Sedangkan ditinjau dari struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebanyak 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha[3]. Hal ini semakin mengukuhkan fakta bahwa pemerintah telah ‘salah urus’ dalam bidang ekonomi, yaitu tidak berpihaknya pemerintah kepada ekonomi kerakyatan melainkan kepada sistem ekonomi pasar yang mengakibatkan perputaran kue ekonomi hanya berkisar kepada para pengusaha besar dan trans nasional saja, sedangkan sebagian besar rakyat hanya sebagai penonton di negerinya sendiri.


DEFINISI BURUH RUMAHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERBURUHAN INDONESIA


Melihat kenyataan bahwa lebih dari 60% angkatan kerja kita adalah pekerja informal, maka dalam bahasa sederhana sebenarnya dapat diartikan bahwa pekerja informallah yang selama ini menjadi bemper terhadap kegagalan pemerintah untuk memberdayakan sektor formal yang cenderung lebih baik nasib dan perlindungannya dibandingkan dengan pekerja informal, tentu menarik untuk melihat lebih jauh apakah buruh rumahan sebagai bagan dari pekerja informal sebenarnya sudah terlindungi didalam sistem hukum perburuhan kita ataukah belum, untuk itu perlu dilihat bagaimana pola hubungan kerja yang dilakukan oleh buruh rumahan dengan majikan/pengusahanya dalam melakukan pekerjaannya dan kemudian dibandingkan dengan peraturan Perundang-udangan yang berlaku untuk melihat syarat minimal apakah yang harus dimiliki oleh seorang buruh yang bekerja pada orang lain, sehingga buruh tersebut dapat memiliki hak-hak yang diatur oleh hukum perburuhan kita.

Secara tekstual seluruh hukum perburuhan kita belum mendefinisikan siapa yang dimaksud dengan buruh rumahan, namun secara internasional buruh rumahan dan segenap permasalahannya telah mendapatkan pengakuan atas eksistensinya, hal ini dapat dilihat pada Konvensi International Labour Organization Nomor : 177 Tahun 1996 tentang Pekerja Rumahan, dimana dalam konvensi tersebut pekerja rumahan didefinisikan sebagai :

(a)  Terminologi “pekerjaan rumahan”, adalah pekerjaan yang dikerjakan oleh seseorang pekerja rumahan dengan:
(i)          dikerjakan di rumah atau di tempat lain diluar tempat kerja pemberi kerja/majikan,
(ii)         secara pribadi atau terpisah,
(iii)        yang menghasilkan produk atau jasa yang secara khusus diminta oleh pemberi kerja, tidak memperoleh upah untuk penggunaan peralatan, bahan baku atau berbagai masukan yang dipergunakan,
kecuali bila memiliki otonomi dan independensi ekonomi yang memadai sehingga layak disebut sebagai pekerja independen dibawah hukum nasional, peraturan atau keputusan pengadilan. 
(b)  Seseorang dengan status pekerja tidak termasuk sebagai pekerja rumahan seperti pada Konvensi bila secara sengaja memilih bekerja di rumah ketimbang bekerja di tempat bekerjanya,
(c)  Terminologi “pemberi kerja/majikan”  adalah seseorang, secara alamiah atau hukum, baik secara langsung atau melalui perantara yang berbadan hukum, memberi kerja berupa pekerjaan rumah sebagai bagian dari aktivitas usahanya.

Dari konvensi tersebut dapat dilihat terdapat karakteristik yang khas yang terdapat pada buruh rumahan dan tidak terdapat pada buruh pada umumnya, yaitu :
§  Buruh rumahan bekerja didalam rumah atau di tempat lain di luar lain di luar tempat kerja pemberi kerja/majikan;
§  Buruh rumahan bekerja secara pribadi atau terpisah dari buruh rumahan lainnya, tidak berkumpul dalam satu tempat seperti di pabrik atau kantor;
§  Menerima upah berdasarkan borongan atau diupah berdasarkan volume pekerjaan atau satuan hasil kerja (putting out system)
§  Buruh rumahan tidak memperoleh upah untuk penggunaan peralatan, bahan baku atau berbagai masukan yang dipergunakan (seperti penggunaan rumah, listrik, mesin, alat, bahan pendukung produk/jasa, dll).
§  Proses pembuatan produk barang/jasa dilakukan bersama-sama dengan anggota keluarga (suami, istri, anak dan/atau saudara) tetapi mereka tidak dibayar karena upah  yang diterima berdasarkan borongan;
§  Pemberi kerja/majikan menentukan produk/barang/jasa yang harus dikerjakan oleh buruh rumahan secara lisan (perjanjian kerja lisan);
§  Buruh rumahan tidak mempunyai otonomi dan indepensi untuk menentukan upah dan syarat-syarat kerja lainnya dengan pemberi kerja/majikan.

Dari pola hubungan kerja yang dilakukan buruh rumahan tersebut kemudian dapat kita analisa apakah pola hubungan semacam ini dapat masuk dan dilindungi oleh hukum perburuhan ataukah berada di luar sistem hukum perburuhan kita. Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan vide pasal 1 angka 3 menyebutkan :

“pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Dari definisi ini mudah kita lihat bahwa buruh rumahan dalam definisi konvensi ILO Nomor 177 Tahun 1996 atau biasa disebut dengan buruh rumahan putting out system (POS) masuk dalam definisi pekerja/buruh menurut ketentuan di atas. Begitu juga didalam pasal 1 angka 4, 5 dan 6 UU No. 3 tahun 2003 menyebutkan :

“Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

“Pengusaha adalah :
a.    orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.    orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.    orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia”.

“Perusahaan adalah :
a.    setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b.    usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Dari definisi di atas terlihat bahwa pengusaha tidak harus berbadan hukum, orang perseorangan juga dapat disebut pengusaha asalkan memiliki sebuah perusahaan yang memiliki usaha baik untuk mencari keuntungan maupun tidak, serta perusahaan tersebut tidak harus berbadan hukum ataupun memiliki atribut-atribut formal. Dalam hal ini menjadi jelas bahwa buruh rumahan POS terlingkupi oleh ketentuan di atas.

Dalam hukum perburuhan hal mendasar yang menjadi syarat minimal seorang buruh yang bekerja pada pengusaha dapat terlindungi hak-hak dasarnya adalah apabila hubungan antara buruh dengan pengusaha adalah dalam status hubungan kerja dan bukan hubungan kemitraan, sedangkan definisi hubungan kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 vide pasal 1 angka 15 adalah :

“Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.

Jadi dimulainya hubungan kerja antara buruh dengan pengusaha jika terdapat perjanjian kerja, sedangkan perjanjian kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 vide pasal 51 dapat dibuat secara tertulis maupun lisan sehingga dalam kasus buruh rumahan POS bentuk perjanjian kerja yang dilakukan dengan pengusaha yang biasanya berbentuk lisan sebenarnya tidak mengurangi nilainya untuk dapat masuk dalam ketentuan di atas. Yang harus dibuktikan adalah apakah perjanjian kerja yang dilakukan oleh buruh rumahan POS memenuhi unsur-unsur : terdapat pekerjaan, upah dan perintah. Untuk itu perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan unsur-unsur tersebut.

Menurut Soepomo perjanjian kerja terjadi setelah buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan di mana majikan juga menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah, maka pada saat itulah telah terjadi hubungan kerja antara buruh dengan majikan[4], sedangkan jika dilihat lebih jauh unsur-unsur dari perjanjian kerja adalah :

1.    Penunaian Kerja[5]
Penunaian kerja mempunyai maksud bahwa buruh melakukan suatu pekerjaan tertentu sebagaimana yang diperjanjikan oleh pihak majikan/pengusaha. Dalam kasus buruh rumahan POS unsur ini terpenuhi karena memang ada suatu pekerjaan tertentu yang dilakukan oleh buruh rumahan untuk kepentingan dari majikan/pengusaha.

2.    Ada orang di bawah pimpinan orang lain atau adanya perintah
Hubungan kerja ditandai dengan unsur paling dominan adalah adanya wewenang untuk memerintah dari pihak majikan terhadap pihak buruh, sebab tanpa adanya unsur ini maka hubungan tersebut bukanlah hubungan kerja. Artinya bahwa kedudukan antara buruh dan majikan tidaklah sejajar melainkan hubungan sub ordinasi, sedangkan jika hubungan kedua belah pihak adalah koordinasi/kemitraan seperti yang terjadi antara pemborong/kontraktor dengan pimpinan proyek (pimpro) bukanlah hubungan kerja tetapi adalah hubungan perjanjian pemborongan kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 1601b kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPa) yang berbunyi :

“Perjanjian-pemborongan-pekerjaan adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan, dengan menerima bayaran tertentu”.

Pada kasus buruh rumahan bahwasanya perjanjian untuk melakukan pekerjaan berlangsung dalam jangka waktu pendek dan terus diulang-ulang sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh buruh rumahan adalah berlangsung terus dalam jangka waktu yang lama dan pihak buruh tidak mempunyai bargaining positition untuk menentukan berapa besar upah yang harus dibayarkan sebagaimana disyaratkan oleh perjanjian pemborongan kerja (pola koordinasi/kemitraan bukan sub ordinasi), sehingga pola hubungan yang terjadi antara buruh rumahan POS dapat dikategorikan sebagai pola hubungan kerja.

Tetapi jika masih terdapat keragu-raguan terhadap pola hubungan ini maka dapat dilihat dari pasal 1601c ayat 2 KUHPa yang berbunyi :

“Jika suatu perjanjian-pemborongan-pekerjaan diikuti oleh beberapa perjanjian semacam itu, meskipun tiap kali dengan suatu waktu selang, atau jika pada waktu dibuatnya perjanjian-pemborongan-pekerjaan terang maksud kedua belah pihak adalah untuk membuat beberapa perjanjian lagi yang semacam sedemikian rupa sehingga semua perjanjian-pemborongan-pekerjaan itu bersama-sama dapat dianggap sebagai suatu perjanjian-kerja, maka yang berlaku adalah ketentuan mengenai perjanjian-kerja terhadap perjanjian-perjanjian tersebut kesemuanya dan terhadap tiap perjanjian itu sendiri, ...”.

Artinya jika pola hubungan buruh rumahan berciri POS dengan pengusaha tetap dipaksakan sebagai jenis perjanjian pemborongan kerja, tetapi karena dilakukan dalam jangka waktu pendek dan terus diulang-ulang sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh buruh rumahan adalah berlangsung terus dalam jangka waktu yang lama, maka pola ini berdasarkan ketentuan 1601c ayat 2 KUHP telah dapat disebut sebagai hubungan kerja karena telah mengandung unsur kepemimpinan atau wewenang untuk memerintah dari pihak majikan/pengusaha kepada pihak buruh.[6].

Dari unsur ini dapat dibuktikan bahwa buruh rumahan berciri POS telah memenuhi unsur perintah ini.

3.    Adanya upah
Yang dimaksud dengan upah menurut UU No. 13 tahun 2003 vide pasal 1 angka 30   adalah :

“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.

Dari definisi di atas terbukti bahwa buruh rumahan POS memenuhi unsur tersebut.

Dari unsur-unsur perjanjian kerja di atas menjadi terang dan jelas bahwa buruh rumahan yang berciri POS secara meyakinkan telah masuk dalam struktur perlindungan hukum perburuhan Indonesia. Hal ini mempunyai konsekuensi bahwa buruh rumahan berciri POS juga memiliki seluruh hak-haknya sebagai buruh yang di atur didalam seluruh peraturan perundang-undangan perburuhan yang berlaku.

Sehingga seharusnya menjadi kewajiban dari pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi beserta seluruh jajarannya baik di pusat maupun di daerah untuk dapat berperan aktif memberikan perlindungan kepada buruh rumahan dan melakukan law enforcement kepada para pemberi kerja/majikan yang tidak mengindahkan atau melanggar hak-hak normatif dari buruh rumahan.


PRAKTEK PERBUDAKAN PADA BURUH RUMAHAN
         

Lahirnya UU NO. 13 Tahun 2003 tentang Ketenanagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, sebenarnya menunjukkan wajah kebijakan penyelenggara negara kita untuk semakin memperkecil tingkat intervensi negara di bidang perburuhan, hal ini minimal dapat dilihat dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketentuan-ketentuan tentang perjanjian waktu tertentu (buruh kontrak) dan lembaga penyalur tenaga kerja (out sourching), sebelum diterbitkannya UU ini ketentuan tentang buruh kontrak hanya diatur dalam peraturan setingkat menteri, bahkan out sourching sama sekali tidak diatur, tetapi UU No. 13 tahun 2003 justru memasukkan permasalahan ini secara eksplisit, walaupun ketentuan tentang buruh kontrak dan out sourching masih dibingkai dengan beberapa persyaratan yang harus dilakukan apabila pengusaha akan memberlakukan kontrak maupun memberlakukan out sourching.

Secara empiris data dari Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) menunjukkan selama kurun tahun 2003 sampai dengan 2004 banyak sekali perusahaan yang melakukan restrukturisasi buruhnya dari buruh tetap menjadi buruh kontrak dengan melakukan pelanggaran persyaratan yang seharusnya ditaati berdasarkan UU No. 13 tahun 2003[7], hal ini dilakukan dengan satu alasan jika buruh dalam status kontrak, perusahaan tidak dibebani biaya untuk membayar uang pesangon jika buruh kontrak tersebut tidak diperpanjang kontraknya, dan secara empiris buruh kontrak juga seringkali tidak mendapatkan hak-hak normatif seperti cuti haid maupun tahunan, jaminan sosial, dll sebagaimana diperoleh buruh tetap.

Trend yang dilakukan perusahaan ini sebenarnya dapat dirunut juga dengan kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah, minimal dapat dilihat dari Ringkasan Eksekutif mengenai Kebijakan Pasar Kerja untuk Memperluas Pasar Kerja yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada akhir tahun 2003[8], salah satunya mengungkapkan :

“Fleksibiltas pasar kerja diartikan sebagai kemudahan upah riil dan tingkat kesempatan kerja untuk menyesuaikan dengan perubahan kondisi dan gejolak dalam perekonomian. Hal ini bergantung pada kemampuan perusahaan untuk merekrut dan memecat pekerja dengan biaya yang relatif rendah, dan pada kemampuan untuk menyesuaikan upah. Dimensi lain dari fleksibilitas pasar kerja adalah kemudahan yang memungkinkan bagi pekerja untuk pindah dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain, dari satu industri ke industri yang lain, dan dari satu daerah ke daerah yang lain. Hal tersebut ditentukan oleh akses terhadap informasi mengenai alternatif-alternatif kesempatan kerja, biaya perpindahan, fleksibilitas upah dan tingkat pendidikan pekerja”.

Lebih jauh Bappenas dalam Ringkasan Eksekutif yang sama melakukan penilaian terhadap Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu :

“...Namun, nuansa ikut campur pemerintah tampaknya masih terlihat pada bidang-bidang yang biasanya akan lebih baik bila dipecahkan melalui negosiasi bipartite antara pemberi kerja dan pekerja. Ini terlihat dari keinginan untuk mengatur secara rinci berbagai ketentuan mengenai kondisi yang sebetulnya akan jauh lebih baik bila dihasilkan melalui perundingan kolektif. Disamping itu pemerintah masih banyak ikut campur dalam proses pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penyelesaian perselisihan, padahal saat ini praktek internasional lebih mendorong pelaksanaan proses-proses pada tingkat perusahaan”.

Hal ini menunjukkan bahwa arah kebijakan pemerintah dalam bidang perburuhan jelas akan memperkecil peran negara dalam urusan hubungan kerja antara buruh dengan pengusaha/pemilik modal. Politik perburuhan yang mendesain supaya buruh gampang direkrut dan gampang dipecat inilah yang disebut sebagai legalized modern slavery, atau perbudakan modern yang dilegalkan[9]. Jelas aturan itu bertentangan dengan konstitusi kita yang berasas kekeluargaan dan kebersamaan atau ekonomi kerakyatan.

Jika buruh yang bekerja dalam atribut formal saja mengalami pergeseran menuju informalisasi hubungan kerja dan menjurus kepada praktek legalized modern slavery, maka dampak terburuk dari kebijakan Informalisasi hubungan kerja ini tentu sangat dirasakan oleh buruh rumahan POS, cukup banyak data yang menunjukkan bahwa pola hubungan kerja yang sangat fleksibel dari buruh rumahan membuat buruh dalam sektor ini tidak hanya mereka tidak mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai buruh bahkan keberadaan mereka luput dari perhatian maupun perlindungan dari institusi penyelenggara negara.

Definisi Perbudakan dan Praktek Serupa Dengan Perbudakan

Untuk melihat sejauh mana praktek perbudakan telah terjadi dan dialami oleh buruh rumahan POS, terlebih dahulu harus dikaji secara mendalam terminologi dari perbudakan itu sendiri, mengingat permasalahan perbudakan merupakan sejarah kelam peradaban manusia yang sudah berlangsung selama ribuan tahun dan masih terus berlangsung sampai dengan saat ini.

Keprihatinan internasional pada perbudakan dan penindasannya menjadi tema dari banyak perjanjian, deklarasi serta konvensi pada abad kesembilanbelas dan duapuluh. Konvensi pertama dari tiga konvensi modern yang langsung berhubungan dengan masalah ini adalah Konvensi Perbudakan 1926 yang dirumuskan Liga Bangsa-Bangsa. Dengan persetujuan Majelis Umum, pada 1953 PBB secara resmi menggantikan Liga Bangsa-Bangsa untuk melaksanakan Konvensi Menentang Perbudakan. Begitu juga dengan Konvensi Suplementer PBB tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak dan Praktik Perbudakan dan Praktik-Praktik Serupa dengan Perbudakan tahun 1956.[10]

Secara tradisional perbudakan diartikan sebagai kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Saat ini kata “perbudakan” mencakup segala macam pelanggaran hak asasi manusia. Di samping perbudakan tradisional dan perdagangan budak, pelanggaran-pelanggaran ini meliputi jual-beli anak, pelacuran anak, pornografi anak, eksploitasi buruh dan buruh anak-anak, pemotongan kelamin anak perempuan, penggunaan anak-anak  dalam konflik bersenjata, penghambaan sebagai penebus hutang, perdagangan manusia dan perdagangan organ tubuh manusia, eksploitasi pelacur dan praktek-praktek tertentu di bawah rezim apartheid dan penjajahan.

Dalam konteks perburuhan di Indonesia, menurut Lotte Kejser selaku wakil dari International Labour Organization (ILO) dilaporkan bahwa masih terdapat sektor-sektor tertentu yang melibatkan praktek kerja paksa, terutama di sektor informal, misalnya kalangan pekerja musiman, buruh migran, buruh bangunan, perempuan dan anak-anak, kaum miskin, pekerja rumah tangga dan pekerjaan yang melibatkan anak jalanan. Praktek kerja paksa tersebut memang tidak dilakukan secara terbuka dan ekstrim tetapi walaupun terselubung tetap saja dapat diindikasikan sebagai kerja paksa, misalnya di banyak kasus seringkali terjadi di mana posisi pekerja sangat tergantung pada majikan dan pekerja tidak punya posisi tawar dengan majikan sehingga majikan dapat dengan semena-mena mengambil keuntungan dari pekerja, ada juga kasus tentang kontrak kerja yang dibuat sedemikian hingga pekerja tidak berhubungan langsung dengan majikan melainkan melalui perantara[11]. Salah satu hal yang mengakibatkan praktek yang menjurus ke arah kerja paksa adalah karena di Indonesia tidak semua sektor pekerjaan di Indonesia terjangkau oleh hukum perburuhan diantaranya adalah sektor buruh rumahan.

Studi Kasus Praktek Serupa Perbudakan Pada Buruh Rumahan

Untuk menguji apakah telah terjadi praktek serupa perbudakan dialami oleh buruh rumahan, Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) telah melakukan studi kasus yang mendalam terhadap buruh rumahan diberbagai lapangan pekerjaan seperti sektor industri, pertanian, listrik, manufaktur, perdagangan, angkutan, dll diberbagai wilayah seperti Jawa timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Palembang, dll. Untuk itu akan dicuplik studi kasus yang terjadi di Kabupaten Malang, salah satunya adalah kasus yang terjadi kepada buruh rumahan yang memproduksi Sepatu merk “Modello”. Penelitian dilakukan pada tahun 2008 dan data di perbaharui dengan kondisi terbaru pada tahun 2009, sebagai berikut :

Profil Perusahaan

UD. Sepatu Sani beralamat di Jln Abdul Rachman Saleh No. 17 Desa Asrikaton Kecamatan Pakis Kabupaten Malang, No. Telp. (0341) 792222, perusahaan ini memproduksi sepatu dengan merek : Modello, Choix, Scholl dan Rohde dengan tujuan ekspor ke negara Malaysia, Singapura, Jerman dan Dubai.[12]

Menurut Sdr. Josua Sembayong selaku Direktur Utama UD. Sepatu Sani, perusahaan ini memiliki 600 orang buruh kontrak dan 90%-nya adalah perempuan, produk sepatu perusahaan ini dijual dengan harga antara Rp.200.000,00 s/d Rp.1.000.000,00, untuk sepatu dengan merek “Modello” dijual dengan harga berkisar Rp.300.000,00.[13] Perusahaan ini juga memproduksi sandal, tas, ikat pinggang dan dompet dengan merek “Modello”. Dari hasil penelurusan menggunakan jaringan internet diperoleh data-data dari pasar internasional pada bulan Maret 2009 sebagai berikut :
§  Sepatu dengan merek “Modello” dijual dengan harga berkisar US $154,99 atau sekitar Rp.1.859.880,00 dengan kurs Rp.12.000,00 per 1 US $[14];
§  Sandal  dengan merek “Scholl” dijual dengan harga berkisar £34,99 s/d £44,99 atau sekitar Rp.591.331,00 s/d Rp.760.331,00 dengan kurs Rp.16.900,00 per 1 £[15];
§  Sepatu dan sandal dengan merek “Rohde” dijual dengan harga berkisar £25 s/d £65 atau sekitar Rp.422.500,00 s/d Rp.1.098.500,00 dengan kurs Rp.16.900,00 per 1 £.[16]

Profil Buruh Rumahan

No.
KONDISI BURUH RUMAHAN
KETENTUAN YANG DILANGGAR
1.
Status Buruh Rumahan informal
§ Sebagian besar adalah perempuan mantan buruh di pabrik dari UD. Sepatu Sani, perusahaan tidak mengakui adanya buruh rumahan karena tidak terdaftar di perusahaan, buruh rumahan hanya dipekerjakan jika perusahaan mendapatkan order yang tidak dapat diselesaikan oleh buruh pabriknya.
§ Ketentuan out Sourching dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mensyaratkan bahwa out Sourching dapat dilakukan dengan tetap melakukan perjanjian kerja secara formal;
§ Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
2.
Upah yang diterima dibawah UMK
§ Upah diberikan borongan sebesar Rp.2.200,00 s/d Rp.2.850,00 per pasang;
§ Buruh dapat menyelesaikan pekerjaan sebanyak 10 s/d 15 pasang per hari;
§ Rata-rata upah per minggu sebesar Rp.2.325,00 per pasang x 13 pasang/hari x 6 hari/minggu = Rp.181.350,00 per minggu atau Rp.725.400,00 per bulan
§ SK GUB. No. 188/40/KPTS/013/2009 tentang UMK di Jatim 2009 yang menetapkan Upah Minimum Kab. Malang Tahun 2009 sebesar Rp.954.500,00 per bulan;

3.
Terdapat Buruh yang tidak dibayar
§ Buruh rumahan dapat menyelesaikan pekerjaan sebanyak 10 s/d 15 pasang sepatu karena dikerjakan oleh 2 s/d 4 orang (seluruh anggota keluarga) rata-rata dikerjakan oleh 3 orang, tetapi yang memperoleh upah dihitung tetap 1 orang, sehingga rata-rata 2 orang buruh tidak memperoleh upah.
§ Konvensi Liga Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Perbudakan Tahun 1926 dan Konvensi Suplementer PBB tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak dan Praktik Perbudakan dan Praktik-Praktik Serupa dengan Perbudakan tahun 1956;
§ UU No. 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa;
§ UU no. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
§ UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4.
Buruh Anak tidak dibayar
§ Terdapat buruh anak yang turut bekerja membantu menyelesaikan pembuatan sepatu tetapi tidak memperoleh upah.
§ Idem;
§ UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja;
§ UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak.
5.
Upah lembur tidak dibayar
§ Alokasi waktu untuk menyelesaikan pembuatan 10 s/d 15 pasang sepatu melebihi 10 jam per hari dan melebihi 40 jam per minggu tetapi perusahaan tidak membayar upah lembur kepada buruh rumahan.
§ UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
§ Kepmenakertrans No. 102 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Lembur.
6.
Buruh tidak mendapatkan libur mingguan, cuti haid dan hamil bagi buruh perempuan, cuti tahunan dan Tunjangan Hari Raya
§ UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
7.
Tidak ada alat-alat kesehatan dan keselamatan kerja
§ Tidak ada masker bagi buruh dan anak yang dipekerjakan dari bahaya paparan zat kimia lem yang dipergunakan pada saat mengelem sepatu;
§ Kondisi rumah tidak didesign sebagai tempat bekerja yang aman (ex. Lampu penerangan dan fentilasi seadanya serta debu yang tidak disedot dengan exhaust fan)
§ Buruh anak melakukan pekerjaan dengan alat yang membahayakan keselamatan kerja (ex. Mesin jahit, Jarum dan bahaya tersengat listrik)
§ UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
§ UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
§ UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
§ UU no. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
§ UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
§ Kepmenakertrans No. 235 Tahun 2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak.
8.
Tidak ada Jaminan Sosial
§ Buruh tidak diikutkan menjadi peserta program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) ataupun program jaminan sosial lainnya
§ UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
§ UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
9.
Buruh Menanggung sebagian biaya produksi
§ Rumah yang dipergunakan sebagai tempat produksi tidak dibayar oleh perusahaan;
§ Listrik dan air tidak dibayar oleh perusahaan;
§ Limbah produksi sepatu dibebankan kepada buruh rumahan;
§ Transport pengambilan bahan baku dan penyetoran hasil produksi sepatu ditanggung oleh buruh;
§ Buruh tidak dibayar jika hasil akhir mengalami kerusakan atau tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.
§  Belum terdapat ketentuan yang mengatur



Kondisi yang dialami oleh buruh rumahan yang memproduksi sepatu “Modello” di atas tidak hanya memberikan fakta bahwa telah terjadi pelanggaran hak-hak normatif yang seharusnya diterima oleh buruh, melainkan lebih jauh sudah dapat dikategorikan praktek perbudakan modern atau setidak-tidaknya adalah praktek serupa dengan perbudakan, paling tidak dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :
§  Buruh dibayar dengan upah dibawah ketentuan Upah Minimum, sehingga buruh dan keluarganya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dasarnya;
§  Terdapat buruh yang tidak memperoleh upah atas hasil kerjanya yang menjurus praktek kerja paksa;
§  Terdapat eksploitasi terhadap buruh anak, selain tidak memperoleh upah, buruh anak dipekerjakan dalam kondisi tidak terlindungi kesehatan dan keselamatan kerjanya dengan melakukan pembiaran mereka terpapar bahan kimia berbahaya dan mesin serta alat yang membahayakan keselamatannya;
§  Pemerintah melakukan praktek pembiaran terjadinya praktek semacam ini dengan dalih “daripada mereka menjadi pengangguran, masih mending mereka bekerja walaupun dengan kondisi minimal”.

Praktek serupa dengan perbudakan yang dialami oleh buruh rumahan yang memproduksi sepatu “Modello” ini sebenarnya hanyalah serpihak kecil yang terserak dari kondisi buruh rumahan secara umum, karena masih terdapat buruh rumahan yang bekerja dengan kondisi yang jauh lebih buruh dari yang dialami oleh buruh rumahan yang memproduksi sepatu “Modello, hal ini menunjukkan dampak terburuk dari kebijakan labour market flexibility dari UU No. 13 Tahun 2003 yang melegalkan praktek out sourching di Indonesia.


MENGGAPAI JAMINAN SOSIAL PADA BURUH RUMAHAN


Ditengah kondisi yang sungguh memprihatinkan yang dialami oleh buruh rumahan, masih terdapat secercah harapan yang tersisa, karena pada bulan Oktober 2004 Penyelenggara Negara telah mengesahkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU ini dilahirkan salah satunya untuk melakukan perubahan yang cukup radikal dalam sistem jaminan sosial yang selama ini tidak diberikan secara merata kepada seluruh rakyat Indonesia, mengapa demikian? Karena UU ini tidak hanya memberikan jaminan sosial kepada segelintir rakyat seperti UU sebelumnya antara lain buruh dengan Jamsostek, Pegawai Negeri dengan Taspen dan Askes, Tentara Nasional Indonesia dengan ASABRI, tetapi SJSN diberlakukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 dan 3 yang berbunyi :

Pasal 2
:
“Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Pasal 3
:
“Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya”.

Sedangkan didalam penjelasan umum UU SJSN ini disebutkan bahwa jaminan sosial ini diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia yang karena sesuatu hal telah mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Ketentuan ini merupakan lompatan yang luar biasa karena pada saat yang sama ribuan buruh di berbagai wilayah sedang memperjuangkan tuntutan disahkannya atau dilakukan revisi penetapan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak mengingat berdasarkan  Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, penentuan upah minimum berdasarkan KHL tidak diberlakukan secara seketika melainkan secara bertahap sesuai dengan pentahapan yang akan diputuskan oleh Gubernur.

Dalam Permenakertrans yang dimaksud dengan standar kebutuhan hidup layak disebutkan yang dijadikan sebagai acuan penentuan upah minimum adalah :

Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan, meliputi 7 (tujuh) komponen, yaitu :
a.    Makanan dan minuman;
b.    Sandang;
c.    Perumahan;
d.    Pendidikan;
e.    Kesehatan;
f.     Transportasi; dan
g.   Rekreasi dan Tabungan.

Dari definisi Kebutuhan Hidup Layak tersebut dapat dilihat bahwa ketentuan yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN kualitasnya jauh di atas Permenakertrans, hal ini dapat dilihat paling tidak dari aspek penentuan upah minimum, berdasarkan Permenakertrans didasarkan hanya pada kebutuhan hidup layak dari seorang buruh lajang, sedangkan UU SJSN sudah memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan hidup layak untuk peserta program ini beserta anggota keluarganya, artinya adalah tingkat upah/kesejahteraan dari seorang buruh yang aktif bekerja nilainya masih jauh lebih rendah jika buruh tersebut memperoleh klaim yang dia terima melalui program SJSN jika yang bersangkutan mengalami hal-hal seperti sakit, di-PHK, dll yang diatur oleh UU SJSN, atau dengan kata lain seorang buruh yang mengikuti program SJSN ini jauh lebih sejahtera jika dalam kondisi sakit atau ter-PHK, karena kebutuhan hidup secara layak dirinya beserta anggota keluarganya ditanggung sepenuhnya oleh Negara melalui program SJSN.

UU SJSN ini seharusnya juga mengakhiri dikotomi apakah pekerja rumahan masuk dalam kategori formal ataukah informal, mengingat UU SJSN ini berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia dan kepesertaannya tidak dibatasi dengan golongan tertentu, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 8 yang berbunyi :
 “Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran”.
Jadi syarat menjadi peserta SJSN ini adalah hanya membayar iuran kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang kemudian Badan ini wajib memberikan nomor identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya. Dalam kasus pekerja rumahan yang upahnya sangat jauh di bawah upah minimum, apakah mampu membayar iuran yang nanti ditetapkan, Pasal 13 dan 14 UU SJSN memberikan kepastian bahwa setiap orang dapat menjadi peserta program jaminan sosial ini, yaitu :

1.   Bagi seseorang yang bekerja, maka pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan wajib membayar iuran dari pekerjanya berdasarkan persentase yang ditentukan antara persentase yang wajib dibayar oleh pemberi kerja dan persentase  yang wajib dibayar oleh pekerjanya. Hal ini bisa dilakukan oleh buruh rumahan POS, seberapa kecil upahnya nanti akan dipotong untuk membayar iuran SJSN ini, dan jika ternyata tidak mencukupi, maka
2.   Pemerintah memberikan bantuan iuran kepada fakir miskin dan orang tidak mampu, sehingga semua rakyat pada akhirnya akan menjadi peserta dari program SJSN ini. Hal ini juga membuka peluang bagi pekerja rumahan mandiri karena dapat membayar iuran semampunya dan kekurangannya akan ditanggung oleh Pemerintah.

Program SJSN ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk terpenuhi kebutuhan dasar di bidang kesehatan, jaminan kecelakaan, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. UU SJSN ini memberikan kesetaraan dan jaminan sosial yang sama dengan yang diperoleh oleh Pegawai Negeri Sipil bagi seluruh rakyat Indonesia. UU SJSN menyatakan bahwa pada tahap pertama Pemerintah akan memberikan bantuan iuran untuk jaminan kesehatan dan bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib untuk menyesuaikan dengan UU SJSN ini paling lambat 5 (lima) tahun ke depan.

Sepintas UU SJSN ini memberikan angin perubahan bahwa negara tidak melupakan tanggung jawabnya untuk melindungi setiap warga negaranya dalam hal jaminan sosial (social protection), tetapi sampai dengan batas akhir UU SJSN harus sudah dilaksanakan secara full paket pada tanggal 19 Oktober 2009, masih belum juga terdapat langkah dan kebijakan kongkrit untuk operasionalisasi UU SJSN ini, sehingga timbul dugaan bahwa UU SJSN ini hanyalah sebagai lips service dari penyelenggara negara untuk membohongi rakyatnya dengan memberikan jargon kosong bahwa negara ini masihlah negara yang menganut asas welfare state tetapi kenyataannya kosong belaka.


REKOMENDASI

Buruh rumahan adalah buruh yang harus dipenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia, setiap bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap buruh rumahan adalah praktek modern slavery yang harus diberantas tuntas sampai ke akarnya. Hubungan buruh rumahan dengan pemberi kerja/majikan harus diarahkan pada hubungan kontraktual, dengan adanya perjanjian kerja tertulis antara buruh rumahan dengan pemberi kerja/majikan dapat diharapkan tercapai sebuah kondisi keseimbangan hak dan kewajiban diantara para pihak serta dapat terpenuhinya kebutuhan hidup layak bagi buruh rumahan. Untuk itu diperlukan serangkaian perubahan kebijakan yang mendorong perubahan dan peningkatan kesejahteraan dan posisi tawar dari buruh rumahan, cukup sudah buruh rumahan hanya menjadi penonton pembangunan di negeri ini, jangan lagi buruh rumahan hanya menjadi bagian yang termarginal dan tersubordinasi dari proses pembangunan di negeri ini, untuk itu diperlukan :

§  Ratifikasi Konvensi ILO No. 177 Tahun 1996 tentang pekerja rumahan;
§  Revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga memasukkan secara tekstual definisi buruh rumahan beserta seluruh karakteristiknya yang khas yang menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup layak bagi buruh rumahan;
§  Implementasikan sekarang juga UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sebelum batas akhir pada tanggal 19 Oktober 2009, jika rejim Susilo Bambang Yudono – Jusuf Kalla masih ingin memperoleh legitimasi dari rakyat Indonesia khususnya para buruh rumahan.



*     Divisi Kajian dan Advokasi Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI), 
[1]   Lihat Tianggur Sinaga : Peluang Perluasan Program Jamsostek di Sektor Informal (2004)
[2]  “Sinkronisasi Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Ditinjau Dari Perspektif Jaminan Sosial Tenaga Kerja”; Presentasi Menakertras pada Rakernas II Sistem Jaminan Sosial Nasional (2008)
[3] Tambunan, 2002 dalam Bambang Ismawan, Jurnal Ekonomi Rakyat (2006).
[4] Prof. Imam Soepomo : Pengantar Hukum Perburuhan (1985:1-3)
[5] F.X Djumialdji, S.H., Perjanjian Kerja; (2001:18-20); lihat juga DR. H. Koko Kosidin, S.H.MH., Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan, dan Peraturan Perusahaan (1999)
[6] Prof. Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja; (1983:2-3)
[7] Ringkasan Eksekutif FBPN : Kondisi Perburuhan dan Praktek Sistem Kerja Kontrak; dikutip dari Jurnal Perburuhan (2005)
[8] Direktorat Ketenagakerjaan dan Analisa Ekonomi, Bappenas, dalam Ringkasan Eksekutif : “Kebijakan Pasar Kerja Untuk Memperluas Kesempatan Kerja” (2003)
[9] Herlambang Perdana; (www.kompas.com; 2008)
[10] www.komnasham.go.id; Lembar Fakta HAM :“Bentuk-Bentuk Perbudakan Masa Kini”; 2008
[13] www.suryaonline.com; 2007, lihat juga Lau Kwok Yin Patrick, Yang Chen Freda, “Studi Kasus Produksi Sepatu Oleh Pekerja Rumahan di Desa Asrikaton Kab. Malang”, dipublikasikan terbatas; 2008
[16] idem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar