DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PEKERJA
RUMAHAN DI INDONESIA
Daniel S.
Stephanus
PENDAHULUAN
Saat ini dunia sedang dihadapkan pada
permasalahan besar, masalah perubahan cuaca (climate change). Belum lagi
masalah kemiskinan teratasi telah disusul masalah baru yang akan mengancam
kehidupan manusia, kehidupan yang lebih menyesakkan bagi sebagian besar umat
manusia, kususnya mereka yang masih hidup dalam kemiskinan. Perubahan cuaca telah mengakibatkan munculnya
berbagai bencana alam dan yang lebihg mengerikan adalah perubahan cuaca yang
menganggu pola tanam.
Perubahan pola tanam secara global
akan berakibat munculnya ancaman terhadap ketahanan pangan secara global. Ditingkahi oleh bencana alam, terutama banjir
dan angin putting beliung, kerusakan pada areal pertanian dan bahkan perumahan
mengakibatkan bukan hanya ketahanan pangan yang terancam tetapi juga
keselamatan jiwa. Akibat dari kesemuanya ini adalah bencana ekonomi, karena
kemiskinan akan semakin merajalela.
Kemiskinan semakin meningkat sebagai akibat ketidak mampuan ekonomi yang semakin tertekan karena menurunnya produktivitas, juga kemiskinan karena kehilangan tempat tinggal dan tempat produksi akibat bencana alam, yang akan mengakibatkan krisis ekonomi global menjadi nyata. Bisa dikatakan bahwa akibat dari perubahan cuaca berakibat ancaman berupa bencana alam, perubahan cuaca juga akan mengakibatkan bencana ekonomi, sehingga pada akhirnya perubahan cuaca akan mengakibatkan bencana kemanusiaan secara global.
Pada sisi yang lain ada Wanita Pekerja Rumahan (Women Home Based Workers), yang secara ekonomi masih dikelompokkan sebagai kelas bawah alias orang-orang miskin. Wanita Pekerja Rumahan yang secara ekonomi tertekan akan semakin tertekan akibat gejala perubahan cuaca dan terancam secara langsung karena bekerja di rumah yang relative rentan terhadap bencana. Keadaan ini mengharuskan Wanita Pekerja Rumahan mendapat pendidikan dan pelatihan bukan hanya menjadikannya berdaya secara ekonomi tetapi juga siap siaga menghadapi bencana alam yang mungkin menimpa mereka.
Di lain pihak, dari beberapa
pendampingan yang dilakukan di Indonesia, Wanita Pekerja Rumahan yang berada di
daerah bencana, bukan saja menjadi korban yang paling kuat menanggung derita
bencana bila dibanding Pekerja di sector lain.
Wanita Pekerja Rumahan di daerah bencana mampu menjadi salah satu elemen
penggerak kebangkitan ekonomi di daerah bencana tersebut. Alangkah lebih baik lagi bila Wanita Pekerja
Rumahan diperlengkapai dengan kemampuan manajemen risiko bencana untuk
menjadikan Wanita Pekerja Rumahan semakin berdaya dan mandiri dalam segala
keadaan.
Wanita Pekerja Rumahan bukan hanya
menjadi salah satu pilar ekonomi rumah tangga tetapi dapat dikembangkan
peranannya menjadi lebih luas, menjadi pilar kebangkitan komunitas. Baik kebangkitan ekonomi dalam kondisi normal
tetapi juga menjadi contoh dan model penangganan kebangkitan mental (mental healing) dan kebangkitan ekonomi
(economic recovery) dalam kondisi
bencana. Sebuah peran yang lebih besar
lagi bagi Wanita Pekerja Rumahan untuk berperan aktif dan berkontribusi nyata
pada keluarga, komunitas, dan
masyarakat
CLIMATE
CHANGE
Climate change atau perubahan cuaca
adalah setiap perubahan yang signifikan dalam jangka panjang pada keadaan
“normal iklim” pada suatu area tertentu.
Keadaan normal iklim terdiri dari temperature normal, curah hujan, and
pola angin. Termasuk perubahan
variabilitas atmosfer selama beberapa decade sampai jutaan tahun yang
lalu. Perubahan ini dapat dikarenakan
proses dinamis bumi, tekanan eksternal seperti intensitas cahaya matahari, dan
aktivitas manusia secara umum.
Pengaruh
Manusia terhadap Perubahan Cuaca
Faktor antropenik adalah akfivitas
manusia yang merubah lingkungan dan mempengaruhi iklim. Pada beberapa kasus, rangkaian penyebab
bersifat langsung dan ambigu (seperti danpak irigasi pada temperatur dan
kelmebaban), sedangkan penyebab lain lebih jelas. Berbagai hipotesis mengenai pengaruh manusia
masih diperdebatkan selama beberapa tahun ini.
Faktor terbesar yang tampak adalah
naiknya tingkat CO2 karena emisi dari bahan bakar fosil, diikuti oleh
penggunaan aerosol yang memengaruhi atmosfir, yang berpengaruh pada dampak
dingin, dan perusahaan semen. Faktor
lain yang memengaruhi perubahan iklim adalah penggunaan tanah, penipisan ozon,
pertanian dan peternakan, serta penggundulan hutan.
Karbon dioksida baik selama
400.000 tahun terakhir, terutama sejak masa revolusi industri. Awal revolusi industry pada 1850 dan
berkembang pesat sampai saat ini, manusia telah menggunakan bahan bakar dari
fosil yang berakibat naiknya kadar CO2 dari 0—280 ppm ke 380 ppm pada hari
ini. Peningkatan ini akan mencapai 560
ppm sebelum akhir abad 21 ini. Kadar
karbon dioksida saat ini merupakan tingkat tertinggi selama masa 750.00
tahun. Bersamaan dengan naiknya gas
metana, naiknya CO2 merupakan penyebab kenaikan suhu 1,4 – 5,6 derajat celcius
antara tahun 1990 sampai 2100.
2.
Aerosol
Aersol antropogenik terdiri
dari aerosol sulfat dari pembakaran bahan baku fosil, akan mempengaruhi
pendinginan. Bersama dengan variabilitas
natutal lain akan berpengaruh terhadap perubahan iklim.
3.
Pabrik Semen
Pabrik semen merupakan penyebab
ketiga terbesar emisi korbaon dioksida yang dihasilkan oleh manusia. Karbon dioksida yang diproduksi ketika
Kalcium Karbonat (CaCO3) dipanaskan untuk memproduksi semen dan berubah menjadi
kalsium oksida (CaO). Ketika pembakaran
bahan bakar fosil berkombinasi dengan pengundulan hutan akan terjadi produksi
karbon dioksida yang signifikan,
pembuatan semen diperkirakan menyumbang kurang lebih 2,5% dari total emisi dari
sumber industry dan pabrikasi.
4.
Penggunaan Lahan
Selain penggunaan bahan
bakar fosil, penyebab terbesar perubahan iklim adalah hasil dari penggunaan
lahan, irigasi, pengundulan hutan, dan pertanian, kesemuanya itu menyebabkan
perubahan fundamental lingkungan.
Sebagai contoh, perubahan jumlah air yang ada di suatu lokasi
tertentu. Termasuk juga perubahan albedo
local karena pengarug pada lapisan atas tanah yang akan memengaruhi daya serap
sinar mantahari. Sebagai contoh, ada
bukti yang menyatakan perubahan iklim di Yunana dan Mediterania mengalami
perubahan karena proses pengundulan hutan pada tahun 700 SM sampai 1 masehi,
kau dipergunakan untuk pembuatan kapal dan bahan bakar, sehingga pada saat ini
iklim di sana menjadi lebih panas dan kering, dan jenis-jenis kayu dan pohon
yang dipergunakan untuk pembuatan kapal pada saat itu sudah punah.
Hipotesis controversial
dari William Ruddiman yang berjudul Antropo Awal menyatakan bahwa peningkatan
pertanian dan pengundulan hutan berjalan beriringan sehingga menyebabkan
naiknya karbon dioksida dan gas metan selama 5.000 – 8.000 tahun yang lalu. Kenaikan ini menyebabkan beberapa penurunan,
karena akan membawa kita pada masa es selanjutnya. Penelitian yang dilakukan oleh Laboratorium
Jet Propulsion menemukan bahwa temperature di California naik 2 derajat selama
50 tahun, kenaikan yang tertinggi di perkotaan.
Perubahan iklim terjadi dengan cepat karena manusia merubah lahan.
5.
Pengundulan Hutan
Berdasar laporan dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa, persediaan makanan untuk jangka panjang member
kontribusi 18% dari emisi gas rumah kaca yang diukur dengan ekuivalen CO2. Termasuk di dalamnya adalah perubahan
penggunaan lahan, penggundulan hutan dan pembukaan lahan. Di hutan hujan Amazon, 70% dari penggundulan
hutan dilakukan untuk penggunaan lahan, sehingga laporan dari FAO tahun 2006,
laporan mengenai pertanian termasuk di dalamnya penggunaan lahan sebagai
tekanan radiatif. Sebagai tambahan
terhadap emisi CO2, penggundulan hutan menyumbang 65% ulah manusia dalam emisi
gas rumah kaca dan penyebab pemanasan global.
Faktor-Faktor
yang saling memengaruhi
Jika ada sebuah factor pendorong seperti variasi matahari
mengakibatkan perubahan iklim, maka harus ada mekanisme untuk mengurangi
dampak-dampak yang diakibatkannya. Ada
dampak yang bersifat positif dan negative.
Spanjang yang kita ketahui, system iklim adalah relatif stabil dengan
berbagai dampaknya, dampak positif yang dapat dirasakan adalah kita tidak bisa
menghindarinya. Sedangkan dampak negatif
yang bisa kita rasakan adalah naiknya temperatur dan tingginya radiasi.
Bagaimanapun ada sejumlah dampak positif
yang dirasakan, seperti siklus es dan kemungkinan terjadinya jaman es kedua
sebagai contoh. Masa es akan memantulkan
sinar matahari untuk menjaga hawa dingin yang disebut dengan albedo es. Lebih jauh lagi, naiknya permukaan air laut
karena mencairnya es akan menumbuhkan tanaman baru yang akan menurunkan karbon
dioksida dan gas metan. Sebaliknya,
naiknya temperatur karena naiknya emisi gas rumah kaca akan menurunkan lapisan
salju yang akan mengurangi penyerapan cahaya matahari karena tanah yang lebih
gelap.
Uap air, gas metan, dan karbon
dioksida dapat pula memiliki dampak positif, naiknya tingkat keberadaan mereka
dialam akan menyebabkan penghangatan, yang celakanya bila berlebihan akan
menyebabkan pemanasan global. Uap air
berfungsi sebagai penguat strafosfer, tidak seperti efek rumah kaca lainnya
yang malah melobangi strafosfir.
Dampak yang lebih kompleks lagi
melibatkan kemungkinan perubahan pola sirkulasi laut dan atmosfir. Sebagai contoh, melelehnya lapisan es di
Greenland akan menambah jumlah air laur di Atlantik Utara dan akan merubah
sirkulasi air laut. Hal ini akan
mengakibatkan arus teluk yang akan membawa hawa panas ke Eropa dan pantai timur
Amerika Serikat.
Potensi yang lain relative tidak
dimengerti apakah berpengaruh atau tidak terhadap pemanasan global. Sebagai contoh, tidak jelas diketahui apakah
naiknya temperatur akan berpengaruh pada pertumbuhan vegetasi, yang mungkin
saja dapat menurunkan karbon dioksida.
Contoh yang sama, naiknya temperature akan menyebabkan turunnya lapisan
awan. Sebagaimana diketahui bahwa
lapisan awan berfungsi untuk menjaga temperature tetap dingin, perubahan pada
lapisan awan akan memengaruhi iklim.
CLIMATE CHANGE
dan BENCANA
Perubahan cuaca mengakibatkan
munculnya bencana baik, bencana alam maupun bencana ekonomi secara
keseluruhan. Perubahan cuaca bukan saja
mengakibatkan naiknya permukaan air laut dan curah hujan yang tinggi yang
mengakibatkan banjir dimana-mana.
Perubahan cuaca juga mengakibatkan angin puting beliung dan topan badai yang mengakibatkan kerusakan pada
banyak bangunan juga mengganasnya ombak laut.
Kesemua hal yang terjadi akan menyebabkan bencana alam yang bukan hanya
mengancam banyak jiwa tetapi juga akan menghancurkan lahan pertanian dan
kerusakan pada alat-alat produksi lainnya.
Bencana alam yang terjadi akan
mengakibatkan banyak orang kehilangan harta benda, alat produksi, tempat
berkerja, bahkan juga nyawanya.
Kehancuran yang terjadi bukan hanya mengancam masyarakat setempat tetapi
lebih jauh lagi akan mengancam kelangsungan hidup masyarakat secara
global. Kehancuran alat-alat produksi
akan menghancurkan sendi perekonomian masyarakat setempat, bila berakibat luas
akan mengancam perekonomian suatu Negara secara keseluruhan. Belum lagi hancurnya lahan-lahan pertanian, yang
bukan hanya menghancurkan kehidupan petani setempat tetapi dapat menibulkan
kerawanan pada ketahanan pangan suatu masyarakat, Negara, bahkan secara global.
Rusaknya lahan pertanian di banyak
Negara akibat bencana alam, seperti banjir, angin topan, dan perubahan akan
berakibat pada ancaman ketahan pangan global.
Belum lagi climate change
telah mengakibatkan pergeseran pola tanam dan musim panen, banyak terjadi
kegagalan panen bukan hanya karena bencana alam tetapi karena perubahan
musim. Akibatnya kegagalan panen menjadi
merajalela yang akibatnya ancaman terhadap ketahanan pangan secara global
menjadi semakin nyata. Inilah bencana
yang lebih besar yang diakibatkan oleh perubahan cuaca, bencana ekonomi dan
bencana kemanusiaan secara global.
Undang-Undang
Penanggulangan Bencana Republik Indonesia
Guna menghadapi bencana (khususnya
bencana alam) Pemerintrah Republik Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang
Penanggulangan Bencana – No. 24 Tahun 2007.
Dalam undang-Undang ini diatur masalah penanganan bencana (disaster risk management) yang semakin
melibatkan peran aktif masyarakat dan komunitas. Walau untuk pekerjaan besar sepertti tanggap
darurat dan rekonstruksi masih di bawah kendali Pemerintah, karena melibatkan
jumlah uang yang besar, tetapi sudah ada perbaikan arah untuk manajemen
penanganan bencana secara swadaya oleh masyarakat.
UUPB menjadikan rakyat dan komunitas
diharapkan menjadi lebih siap siaga dan mampu menangani permasalahannya sendiri
pada masa pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Sayangnya, Pemerintah RI masih setengah hati
memberdayakan masyarakatnya, karena hanya yang memiliki dana besar digarap
dengan serius oleh Pemerintah (masa tanggap darurat dan rekonstruksi),
sedangkan masa yang lebih penting tetapi tidak memerlukan alokasi dana besar
diserahkan pada masyarakat secara lebih luar (mitigasi dan rehabilitasi). Sebuah kerja yang setengah hati dan masih
mengacu pada proyek.
Beberapa pemahaman dan peraturan
mengenai bencana dan penanangan bencana menurut UUPB adalah sebagai berikut:
1.
Bencana
Bencana
(UUPB) adalah peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
2.
Rawan Bencana
Rawan bencana
(UUPB) adalah
kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis,
geografis, sosial budaya, politik, ekonomi, dan teknologi di suatu wilayah
untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam,
mencapai kesuiapan, dan berkurangnya kemampuan untuk menghadapi dampak buruk
bahaya tertentu.
3.
Jenis-Jenis Bencana (UU-PB)
a.
Bencana alam
Bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam yang
meliputi gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
tanah longsor yang mengakibatkan timbulnya korban manusia, harta benda,
kerusakan sarana dan prasarana lingkungan hidup, dan fasilitas umum.
b.
Bencana non alam
Bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang mencakup gagal teknologi,
modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.
c.
Bencana sosial
Benana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serankaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial oleh antar kelompok atau komunitas masyarakat, teror
yang menimbulkan penderitaan, gangguan hubungan sosial, tidak berfungsinya pranata
sosial, korban manusia dan kerugian harta benda.
d.
Konflik sosial
Pertentangan fisik antara
dua pihak atau lebih yang mengakibatkan hilangnya hak dan aset kelompok
masyarakat,timbulnya rasa takut, terancamnya keamanan, ketentrataman,
keselamatan dan/atau terganggunya martabat dan keseimbangan kehidupan sosial
masyarakat.
4.
Penyelenggaraan
Penanggulangan dan Kesiapsiagaan Bencana
a.
Penanggulangan Bencana
Serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
b.
Kesiapsiagaan
Serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi becnana melalui pengorganisasian,
langkah-langkah yang tepat guna, dan berdaya guna.
5.
Manajemen Risiko Bencana
a.
Mitigasi
Rangkaian Upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapai bencana.
b.
Tanggap darurat
Rangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,
harta benda, serta pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, pemulihan sarana dan prasarana.
c.
Rehabilitasi
Perbaikan dan pemulihan
semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
pasaca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat di pasca bencana.
d.
Rekonstruksi
Pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan di wliayah pasca bencana, baik ditingkat
pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
partisipasi mayarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di
wilayah pasca bencana.
WOMEN HOME-BASED WORKERS
Kerja rumahan (homework) dan
pekerja rumahan (homeworkers) oleh ILO (International labour
organization) pada konvensi 1996 mendefinisikan kerja rumahan adalah
pekerja rumahan:
Kerja rumahan
adalah “kerja oleh seseorang di dalam rumahnya atau ditempat lain yang
dipilihnya, diluar tempat kerja milik majikan (pengusaha); untuk memperoleh
upah; dan hasilnya berupa produk atau jasa yang ditetapkan oleh majikan
(pengusaha) terlepas dari siapa yang menyediakan bahan baku, peralatan dan
masukan lain yang dipergunakan.
HBW di Daerah
Bencana
Jadi, Wanita Pekerja Rumahan
menghadapi risiko yang besar dalam karena akibat perubahan cuaca ini. Bukan saja sebagai Pekerja yang masih
tertindas secara ekonomi tetapi juga terancam (rawan) jiwanya karena bekerja di
rumah dan dalam kondisi yang tidak sehat.
Oleh karenanya, Wanita Pekerja Rumahan bukan hanya diberdayakan secara
ekonomi tetapi juga kesiap siagaan menghadapi bencana alam, sehingga Wanita
Pekerja Rumahan beserta keluarganya tidak mengalami bencana yang lebih dahsyat
lagi.
Berdasarkan pengamatan dan
pendampingan yang dilakukan pada para Pekerja Rumahan di beberapa daerah
bencana di Indonesia seperti gempa Jogja dan Jawah Tengah (2006) dan Lumpur
Panas Lapindo –Jawa Timur (2006-2007) ditemukan bahwa Wanita Pekerja Rumahan
bukan hanya lebih kuat menghadapi tekanan bencana (saat berada di pengsungsian)
tetapi juga lebih produktif secara ekonomi dibanding korban yang bekerja
disektor lain, apalagi dibanding Pekerja sector formal. Bahkan secara ekonomi dapat lebih dulu
bangkit ketimbang kelompok-kelompok Pekerja lainnya.
1.
Peran HBW di Pengungsian
pada Masa Tanggap Darurat
Keterbiasaan bekerja dalam
segala kondisi dan dalam segala keadaan menjadikan Wanita Pekerja Rumahan mampu
bekerja di tempat pengungsian dikala kelompok Pekerja lain tidak mampu berbuat
apa-apa. Oleh karena bekerja, Wanita
Pekerja Rumahan tidak terlalu tertekan dan stress karena energy dan pikirannya
dibawah bekerja, dan lebih merasa manusia yang masih berguna ketimbang kelompok
Pekerja lainnya. Sehingga dengan bekerja
(kembali) dapat dijadikan sebagai pengelolaan stress (mental healing) yang merupakan langkah awal mengembalikan semangat
hidup bagi para korban bencana.
Pengelolaan stress yang sampai saat ini belum terpikirkan oleh
lembaga-lembaga manajemen bencana lain, bahkan juga oleh Wanita Pekerja Rumahan
itu sendiri.
Dengan bekerja di
pengungsian, Wanita Pekerja Rumahan juga dapat menghasilkan pendapatan yang
artinya secara ekonomi mereka dapat segera mandiri dan tidak bergantung pada
bantuan saja. Bukan hanya untuk dirinya
dan keluarga, tetapi pekerjaan yang dilakukannya juga akan memacu Wanita-wanita
lain untuk turut bekerja dan memproduksi sesuatu yang artinya Wanita pekera
Rumahan bukan hanya menjadi pilar penyokong perekonomian rumah tangganya tetapi
juga pilar perekonomian komunitasnya, walau dalam kondisi bencana
sekalipun. Dengan bekerja dan
menghasilkan pendapatan, harkat manusia kembali dapat terangkat dan tidak
terjebak pada mental pengemis yang hanya berharap dari bantuan dan belas
kasihan orang lain semata.
2.
HBW Pada Masa Rehabilitasi
Setelah masa tanggap
darurat lewat dan masuk ke tahap rehabilitasi, kondisi Wanita Pekerja Rumahan
jauh lebih siap secara mental dan ekonomi untuk segera mandiri ketimbang
kelompok Pekerja lainnya. Bekerja dalam
kesederhanaan dan kebiasaan bekerja baik dalam kondisi normal juga dalam
kondisi bencan, menjadikan Wanita Pekerja Rumahan menjadi kelompok Pekerja yang
mampu merabilitasi dirinya sendiri secara mandiri dan tidak tergantung dari
orang lain atau bantuan pihak donor semata.
Bukan hanya mental telah siap kembali hidup secara normal walau dalam keadaan
yang serba seadanya, tetapi juga telah siap secara ekonomi untuk kembali
bekerja dan berproduksi sehingga lebih cepat dalam mencapai kemandirian
ekonomi.
3.
HBW pada Masa Rekonstruksi
Melewati masa rehabilitasi
yang dapat dijalani oleh Wanita Pekerja Rumahan secara mandiri masa
rekonstruksi yang dapat dilakukan oleh Wanita Pekerja Rumahan adalah melakukan
advokasi. Advokasi yang dilakukan adalah
advokasi untuk memperoleh hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai warga Negara
untuk memperoleh penghidupan yang layak,
Advokasi yang dilakukan selama ini adalah memperoleh perhatian untuk
perhatian infrastruktur dan fasilitas umum ekonomi (dan tentu saja yang lain
juga), juga advokasi untuk akses modal dan peralatan produksi yang layak.
Dengan demikian, Wanita Pekerja
Rumahan bukan saja menjadi penggerak dan lokomotif kebangkitan ekonomi
keluarganya semata tetapi juga menjadi penggerak dan lokomotif kebangkitan
ekonomi bagi komunitasnya serta masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan dari
bencana alam sehingga tidak sampai jatuh lebih jauh lagi terpuruk dalam bencana
ekonomi dan kemanusiaan yang lebih luas lagi.
Bagaimana peran itu dapat selalu dijalankan? Peran dari pendamping dan kelompok Wanita
Pekerja Rumahan untuk memberdayakan dirinya sehingga bukan hanya siap siaga
menghadapi bencana tetapi dapat menjadi actor penggerak komunitasnya yang
sedang menggalami bencana.
KESIAPSIAGAAN
WANITA PEKERJA RUMAHAN
1.
Ancaman korban dan kerugian
bencana:
-
Nyawa
anggota keluarga di rumah.
-
Surat-surat
berharga.
-
Alat-alat
produksi.
-
Harta
benda.
“Ancaman
korban dan kerugian terbesar bencana adalah penghuni dan seisi rumah”
2.
Langkah-Langkah Manajemen
Bencana bagi HBW
a.
Mitigasi
-
Menyiapkan
diri (mental dan fisik) bila secara tiba-tiba terjadi bencana.
-
Mengikuti
(bila ada) pelatihan evakuasi bencana.
-
Meletakkan
surat berharga dan alat2 produksi pada posisi yg mudah dievakuasi.
-
Tetap
bekerja dengan produktif untuk menciptakan kemandirian ekonomi keluarga.
b.
Tanggap darurat
1) Evakuasi sesuai dengan prioritas kepentingan:
1. Nyawa anggota keluarga.
2. Surat-surat berharga.
3. Alat2 produksi.
4. Harta benda dan peralatanrumah tangga.
2) Saat
tinggal di pos pengungsian aktif membantu dapur umum, pos kesehatan, dan
aktifitas lain.
3) Diwaktu
senggang melakukan aktifitas produksi ringan, berguna untuk mengurangi stress
dan bila memungkinkan memperoleh peghasilan sendiri sehingga tidak harus
bergantung pada kedermawanan hati orang lain.
c.
Rehabilitasi
Sangat mungkin telah pulang
dari pengungsian dan tinggal sementara di sekitar rumah atau relokasi sementara.
Mulai melakukan aktifitas produksi (kerja rumahan) dengan aktif.
1. Mengurangi stress akibat
menganggur dan mengalihkan pikiran sedih menjadi produktif (trauma healing).
2. Mempersiapkan kemandirian ekonomi dan tidak
tergantung sepenuhnya pada pemerintah, relawan dan dermawan (economic
healing).
“Menciptakan
trauma dan economic healing bagi dirinya sendiri
dan sesama korban di pos pengungsian.”
d.
Rekonstruksi
Saat pembangunan sarana dan
prasarana serta infrastuktur perekonomian, dengan tetap berproduksi disaat
tanggap darurat dan rehabilitasi, pekerja rumahan telah merekonstruksi
keluarganya sejak dini. Pengajuan
bantuan modal dan peralatan produksi biasanya diprioritaskan kepada
pengungsi yang telah dan tetap produktif.
“Menjadi
contoh dan penggerak rehabilitasi dan rekonstruksi perekonomian dikawasan
bencana”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar