PEREMPUAN PEKERJA RUMAHAN : TAK TERNAMPAK DAN TERABAIKAN

PEREMPUAN PEKERJA RUMAHAN :
TAK TERNAMPAK DAN TERABAIKAN

Oleh: Cecilia Susiloretno*

Latar Belakang

Sistem produksi di rumah-rumah pekerja perempuan (putting-out system atau homework system) merupakan sektor informal yang banyak dilakukan perempuan di dunia dalam rangka melakukan peran domestiknya, sekaligus peran mencari nafkah. Di Indonesia, fenomena ini banyak pula terjadi, namun belum diangkat ke permukaan, sehingga nyaris luput dari perbincangan ilmuwan maupun kalangan pemerintah. Mereka tak ternampak, jumlahnya tak muncul dalam angka statistik.

Secara spesifik, kerja rumahan (homeworkers) dapat dijelaskan sebagai kerja yang dilakukan di dalam lingkungan rumah tangga, biasanya oleh perempuan dengan tujuan memperoleh pendapatan dari luar rumah tangga. Ada 3 karakteristik kerja rumahan, yaitu :
  1. Tempat kerja adalah di rumah pekerja
  2. Hubungan majikan-buruh ditandai dengan sub-ordinasi ekonomi dan teknis (misalnya, majikan dan kuantitas produk, upah dan waktu penyerahan barang)
  3. Pekerja rumahan tidak mempunyai wewenang menentukan pemakaian dan pemasaran produk di pasar.

Jenis pekerjaan itu ada yang dibayar berdasarkan jumlah yang mampu dikerjakan, baik bijian, puluhan, dosinan atau satuan biji lainnya. Perempuan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan di rumah dengan upah yang sedemikian ini dinamakan Perempuan Pekerja Rumahan. Untuk memperoleh pekerjaan ini seringkali mereka harus memperolehnya melalui sub-kontraktor, pengepul atau perantara. Pekerja Rumahan biasanya adalah pekerja yang miskin. Mereka bekerja dalam kondisi kerja yang tidak baik tanpa perlindungan sosial.

Singkat kata, mereka adalah buruh yang melakukan proses produksi di rumah, bukannya di pabrik milik si pengusaha. Sebenarnya fenomena pekerja rumahan tidak unik hanya di negara kita saja, tetapi berjuta-juta perempuan di seluruh dunia melakukan berbagai jenis pekerjaan seperti ini. Di Jawa Timur dapat ditemui lebih dari 40% jumlah penduduk melakukan pekerjaan seperti ini. Sebagai contoh dapat disebutkan misalnya menjahit, merajut, menganyam, membordir, membuat pita, membuat pembungkus dan berbagai jenis pengepakan, elektronik, assembling barang dari listrik, sepatu, tas, membuat komponen mesin, prosesing makanan, percetakan, mengetik, memasukkan data, menggulung rokok, membuat dupa, mainan anak, berbagai kerajinan, pembibitan dan proses paska panen di sektor pertanian, perikanan dan nelayan pun banyak dijumpai.. Jenis yang tersebut itu hanyalah sebagian kecil dari berbagai jenis lainnya yang panjang sekali bila didaftar semuanya. Sungguh mencengangkan, karena melibatkan bisnis bergengsi.

Pemetaan pekerja rumahan masih terus berlangsung. Kerja rumahan terdapat di hampir semua daerah, di pedesaan maupun perkotaan, dan hampir di semua sektor pekerjaan. Di masa kini, bersama dengan kemajuan jaman, kerja bukannya menyusut, namun malah bertumbuh dan semakin kompleks, tidak saja dalam wilayah lokal, namun bahkan mempunyai jaring-jaring produksi serta pemasaran secara global.

Mengapa perhatian tertuju kepada perempuan pekerja rumahan?

Definisi kerja rumahan tidak mudah dirumuskan. ILO membutuhkan waktu sekitar 20 tahun sejak issue home-workers muncul di dunia hingga tertuang dalam Konvensi pekerja Rumahan 177 tahun 1996 (The Homework Convention 177/1996) sebagai berikut :

Istilah “Home work” berarti kerja oleh seseorang, yang disebut sebagai (pekerja rumahan) home-workers:
  1. Di dalam rumahnya atau di tempat lain yang dipilihnya, di luar tempat kerja milik pengusaha/majikan
  2. Untuk memperoleh upah
  3. Hasilnya berupa produk atau jasa yang ditetapkan oleh pengusaha/majikan, terlepas dari siapa yang menyediakan bahan baku, peraltan dan input lain yang dipergunakan.


Wanita pekerja rumahan pada hakekatnya adalah buruh, yang diupah oleh karena kerja yang telah dilakukan. Mereka bisa berasal dari berbagai kelompok kelas maupun tingkat pendidikan. Erat hubungannya dengan peran jender perempuan di dalam rumah tinggalnya (rana domestik) sebagai ibu, istri dan pengurus rumah tangga, bekerja untuk upahpun disepatutkan dilakukan dalam rumah tinggalnya. Karena itu kerja rumahan dianggap paling cocok dilakukan wanita karena bisa tetap di dalam rumah melakukan peran jendernya sementara ia juga bekerja untuk upah.

Pekerjaan ini mengambil rumah sebagai tempat kerjanya. Termasuk dalam ekonomi informal, mereka dapat dibedakan kedalam:
  • Perempuan pekerja mandiri yang mempekerjakan dirinya sendiri (self-employment);
  • Pekerja rumahan yang mengambil bahan dari pengusaha dan melangsungkan proses produksi di rumahnya atau tempat yang dipilihnya di luar pabrik dengan upah bijian atau per unit produk yang disepakati (Putting-out system workerS)
Kerja rumahan berhubungan langsung dengan sistem ekonomi yang lebih luas dari produksi barang dan jasa, dan dikontrol oleh kekuatan di luar rumah. Karena bekerja di rumah masing-masing, buruh wanita yang tergolong dalam pekerja rumahan ini tidak terorganisir. Secara soliter masing-masing bekerja sendiri-sendiri melakukan pekerjaan dirumahnya. Ada kalanya anggota keluarga dalam rumah tangga yang sama membantu bekerja, termasuk anak-anak. Karena terisolasi, mereka tak banyak mengetahui  ketentuan-ketentuan perburuhan. Dalih lelaki pencari nafkah utama dalam keluarga dan bahwa perempuan adalah pencari nafkah tambahan membuat mereka memandang upah rendah, setengah sampai seperempat ekuivalen UMR adalah wajar-wajar saja.

Issu pekerja rumahan menarik perhatian para aktivis dan akademis peduli perempuan. Kepedulian ini dinyatakan dalam bentuk penelitian dan memahami situasi dan kondisi perempuan pekerja rumahan. Di beberapa penelitian ditemukan hal yang sama tentang kerentanan pekerja rumahan, antara lain:

§  Invisibility (Ketersembunyian/ Ketidak-nampakan)
Karena peran domestik perempuan, pekerja rumahan dianggap sebagai pekerjaan sambilan, pengisi waktu di rumah dan hanya merupakan penambah penghasilan suami. Hal ini yang menyebabkan pekerja rumahan tidak berkontribusi secara langsung pada pendapatan rumah tangga. Tidak adanya pengakuan diri sebagai pekerja sama sekali tidak nampak dan mereka tidak terdaftar dalam data statistik sebagai pekerja.

§  Secara hukum tidak jelas
Karena pekerja rumahan invisible (tidak nampak), maka undang-undang ketenaga-kerjaan tidak mengcover mereka dalam perlindungan ketenaga-kerjaan

§  Kondisi kerja dan hubungan kerja buruh-majikan yang sangat merugikan Pekerja Rumahan
Pengusaha memanfaatkan perempuan sebagai bagian dari proses produksinya dengan perlakuan yang berbeda dengan tenaga kerja di perusahaannya. Rumah sebagai tempat tinggal berfungsi sebagai tempat kerja dengan segala keterbatasan kondisinya.

§  Tanpa kontrak kerja
Dengan tidak adanya kontrak kerja, maka tidak ada jaminan keberlangsungan bekerja bagi pekerja rumahan. Pengusaha dapat memutus hubungan kerja dengan pekerja rumahan kapanpun mereka mau, tanpa perlu memberikan pesangon

   Tempat kerja adalah di rumah atau sekitar rumah pekerja, bukan di pabrik atau bangunan milik pengusaha
Dengan menggunakan tempat pekerja rumahan sebagai tempat kerja yang tidak dihitung dalam biaya produksi, maka pengusaha tidak perlu lagi mengeluarkan atau membayar sewa rumah pekerja yang dijadikan sebagai tempat bekerja.

§  Upah rendah dibandingkan upah minimum regional, tanpa bonus
Pekerja rumahan dibayar tidak berdasarkan waktu kerja mereka, melainkan perunit yang mereka selesaikan (per biji, per sepuluh biji, per dosin, per gross, dsb) tanpa bonus. Pengusaha tidak mau tahu berapa lama pekerja rumahan menyelesaikan pekerjaan mereka.

§  Tidak mengenal libur dan cuti
Fleksibilitas waktu kerja pekerja rumahan mengakibatkan mereka tidak mengenal libur dan cuti, karena banyak pengusaha yang memberikan target waktu penyelesaian atas pekerjaan yang diberikannya. Disamping itu, dikarenakan pekerja rumahan mendapatkan upah yang sangat rendah atas pekerjaannya, mereka berupaya memperoleh peningkatan pendapatannya dari kerja yang tidak mengenal libur

§  Tidak ada jaminan Kesehatan
Hubungan kerja antara majikan – buruh yang tidak didasarkan pada kontrak kerja secara tertulis sangat melemahkan kekuatan pekerja rumahan sebagai tanggungan dari perusahaan, termasuk tidak adanya jaminan kesehatan.

§  Tidak ada Jaminan/ Perlindungan Sosial
Karena kontribusi pekerja rumahan dalam proses produksi tidak diketahui, sehingga pemerintah tidak memperhatikan mereka. Jika terjadi kecelakaan pada saat mereka melakukan produksi barang, semua resiko ditanggung oleh pekerja sendiri, majikan/ pengusaha tidak menanggung resiko apapun.

§  Majikan/ pengusaha tidak melakukan supervisi terhadap aktifitas pekerja rumahan dalam bekerja tetapi pengusaha melakukan kontrol terhadap mutu dan standarisasi hasil kerja
Jika ada kesalahan atau kualitas barang hasil produksi tidak sesuai dengan pesanan pengusaha, maka pekerja rumahan harus menggantinya yang tentunya dengan biaya mereka sendiri

§  Kondisi Tempat Kerja dan Lingkungan Kerja yang buruk
Kebanyakan pekerja rumahan adalah miskin dengan kondisi tempat tinggal dan lingkungan yang buruk. Kondisi ini diperburuk dengan memanfaatkan rumah sebagai tempat kerjanya

§  Tidak terorganisir
Selama ini tidak ada organisasi khusus bagi perempuan yang berprofesi sama sebagai pekerja rumahan.

§  Tidak menguasai pasar
Setelah proses produksi selesai, produk yang dihasilkan langsung diserahkan kepada pengusaha.

§  Kurang menguasai teknologi
Karena keterbatasan dumber daya, pekerja rumahan tidak mempunyai ketrampilan selain yang dimilikinya. Dengan pendidikan rendah dan kemampuan financial yang sangat terbatas, mereka tidak mempunyai peluang menguasai teknologi yang mahal

§  Sulit memperoleh akses kapital
Baik sebagai perempuan maupun sebagai pekerja rumahan berskala mikro dan super mikro, mereka sama sekali tidak memiliki akses kredit dari lembaga keuangan

§  Selama proses produksi, pekerja rumahan ikut menanggung ongkos biaya
Pengusaha biasanya hanya memberikan barang yang harus dikerjakan, tidak memberikan bahan atau alat lain yang dibutuhkan dalam proses produksi. Sehingga, mau tidak mau pekerja rumahan harus menyediakan sendiri alat-alat/ bahan produksi lain untuk menyelesaikan pekerjaannya, misalkan: mesin, tempat kerja, alat-alat, listrik, air, dan lain-lain.
Peran dan fungsi lebih dari buruh, tanpa ada balas jasa dari pengusaha :
a.    Kontribusi biaya tetap
b.    Kontribusi biaya variable
c.    Biaya jangaka menengah (misalnya mesin)

§  Jam kerja panjang
Tidak ada kejelasan mereka harus bekerja dari jam berapa sampai jam berapa. Akan tetapi, secara umum, mereka bekerja dari pagi sampai sore, bahkan sampai malam hari (lembur). Serta, tidak ada waktu libur/ cuti yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai pekerja.

§  Tak ada upah lembur
Pekerja rumahan dibayar secara per unit atau borongan, sehingga pengusaha tidak membayar kelebihan waktu kerja yang dilakukan oleh pekerja rumahan

§  Ada tenaga kerja anak
Salah satu resiko yang harus ditanggung oleh perempuan pekerja rumahan adalah, baik secara langsung maupun tidak langsung, mengikut-sertakan anak dalam penyelesaian pekerjaannya. Alasan pertama adalah mendidik anak supaya tidak banyak bermain, dan, supaya anak dapat belajar mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Keputusan ini tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan hak anak.

§  Tidak ada keberlangsungan kerja
Karena hubungan yang dibangun antara pengusaha besar dengan buruh bersifat borongan, sehingga jika pekerjaan yang dilakukan oleh buruh telah selesai, maka pengusaha bisa dengan bebas langsung memutus hubungan kerja, karena dari awal memang tidak ada perjanjian bahwa pengusaha akan menggunakan jasa pekerja tersebut secara terus-menerus. Sehingga, jika pengusaha memutus hubungan kerja, maka buruh itupun akan menjadi pengangguran.

Kasus di Indonesia, situasi ini lebih diperburuk dengan meluapnya persediaan tenaga kerja dan tidak adanya kesempatan kerja lain bagi perempuan. Situasi ini menjadikan perempuan semakin tertinggal, khususnya bagi perempuan yang sudah menikah dan tidak mempunyai ketrampilan, dengan pilihan yang cukup sulit diantara bertahan sebagai isteri dan menerima upah rendah serta pekerjaan yang mengeksploitasinya sebagai pekerja rumahan.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, lebih dari 60% penduduk Indonesia bekerja di sektor informal dan lebih dari 50% dari jumlah tersebut diperkirakan hidup sebagai pekerja rumahan di semua sektor dan pekerjaan. Pada umumnya mereka hidup dalam kemiskinan dan tidak layak. Sudah sepatutnyalah, baik program pemerintah, kebijakan maupun bentuk program/perencanaan yang lain dapat diarahkan kepada pengembangan taraf hidup mereka yang dilakukan secara terpadu.


Apa yang bisa dilakukan ?

ILO, dalam penelitiannya di 8 kota Negara berkembang dunia ketiga (1972), mendefinisikan sektor informal sebagai pekerjaan dengan karakteristik mudah dimasuki, berstandard sumber daya lokal, usaha milik sendiri, beroperasi skala kecil, padat karya dan teknologi yang adaptif, memilki keahlian diluar system pendidikan formal, tidak terkena langsung regulasi, pasarnya kompetitif, lapangan kerja yang rentan dan tidak tercatat. Mereka antara lain pekerja rumahan (usaha mandiri dan putting-out system), pedagang kaki lima, pedagang tradisional dan jasa. Para pelaku umumnya berpendidikan rendah, miskin, tidak terampil, tanpa proteksi dan jaminan social. Motivasi kerja sekedar mencari makan, sebatas mempertahankan hidup, tidak memaksimalkan keuntungan, seluruh anggota keluarga harus ikut mencari nafkah, dan hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja. Di sisi lain, mereka adalah pekerja yang ulet, pemberani, gigih, kuat dalam bertahan hidup, mandiri dan memiliki kemampuan berwira-usaha tinggi.

Berdasar ciri-ciri sektor informal di atas, baik dari sisi positip dan negatipnya, MWPRI berupaya mencari peluang untuk lebih memajukan hidup mereka agar menjadi lebih baik. Berdayanya pekerja rumahan yang berkesetaraan gender di bidang ekonomi, politik, dan social, melalui penguatan organisasi dan jaringan mereka, perbaikan kondisi hidup dan kerja mereka, perolehan pendapatan yang layak dan keamanan kerja termasuk perlindungan social dan kepedulian pemerintah terhadap pekerja rumahan merupakan gerakan aksi yang perlu dilakukan secara bersama.

Upaya-upaya dilakukan dengan cara mendorong dan meningkatkan kemampuan pekerja rumahan untuk :
§  mengorganisasi diri secara demokratis dan berkesinambungan yang berkesetaraan jender
§  membentuk jaringan regional, nasional maupun internasional yang menjadikan kondisi kerja dan standar hidup mereka lebih baik,
§  membangun ekonomi yang berkesinambungan dalam kehidupan pekerja rumahan dan model perlindungan sosial untuk mencapai hak-hak ekonomi dan keamanan sebagai pekerja agar pendapatan mereka meningkat dan mendapatkan pekerjaan yang layak,
§  meningkatkan kapasitas mereka sebagai sumber daya manusia yang memiliki hak yang sama sebagai anggota masyarakat dan sebagai pekerja, yang merupakan sumber kekutan dalam mensukseskan pembangunan negara
§  mendaya-gunakan kepedulian pemerintah, lembaga internasional dan organisasi masyarakat sehingga mereka lebih “nampak” dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan yang berkesetaraan jender.

Meskipun kami sepakat akan pentingnya penciptaan lapangan kerja, kami berpendapat bahwa kualitas pekerjaan dan lapangan kerja yang aman menentukan sejauh mana kemiskinan bisa dientaskan. Pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan dan praktek yang berpihak pada fleksibilitas tenaga kerja secara langsung sering mengakibatkan lapangan kerja yang tidak aman dengan upah rendah, tidak pasti dan tidak sehat bagi pekerja, justru kebalikan dari pekerjaan berkualitas yang diperlukan untuk mengurangi angka kemiskinan yang tetap ada di negara kita.


*)  Cecilia Susiloretno adalah Sekretaris Jendral Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia/ Homenet Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar