Kajian Yuridis Normatif
Terhadap Ketentuan Perundang-Undangan Indonesia
PENDAHULUAN
|
Sistem jaminan sosial di Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sistem yang baru ini bertujuan untuk agar sistem yang sekarang ini sudah ada dapat lebih efektif dalam melayani para penerima manfaat jaminan sosial, juga memperluas cakupan manfaat jaminan sosial kepada seluruh pekerja di Indonesia, baik pekerja di sektor formal maupun informal serta kalangan wiraswastawan. Program jaminan sosial yang sekarang ada dianggap kurang berhasil dalam tujuannya untuk memberikan manfaat yang cukup baik bagi para penerima manfaat, karena jumlah penerima manfaat, nilai manfaat, dan hasil investasi dana jaminan sosial dianggap masih relatif kecil, dan tata kelola dana jaminan sosial juga dianggap masih kurang baik.
Selama ini program
jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah Indonesia baru menjangkau sebagian
kecil kelompok masyarakat (pegawai negeri dan sebagian pegawai sektor formal)
dengan manfaat yang sangat terbatas dan diselenggarakan oleh 4 (empat) badan
penyelenggara berbeda yaitu PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI dan PT TASPEN,
dimana masing-masing penyelenggara jaminan sosial tersebut mendasarkan kepada
landasan hukum dan regulasi yang berbeda-beda. Selain itu untuk masyarakat yang
masuk kategori miskin, pemerintah juga memberikan jaminan kesehatan dalam
bentuk asuransi kesehatan masyarakat miskin (askeskin) yang preminya dibayarkan
secara penuh oleh pemerintah.
Sedangkan untuk pekerja
sektor informal secara umum belum dapat menikmati jaminan sosial dalam bentuk
apapun, walaupun sejak dikeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang
Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja, terdapat peluang bagi
pekerja sektor informal untuk dapat menikmati jaminan sosial.
Pekerja Sektor Formal dan Informal
PEKERJA
|
1998
|
2002
|
2007
|
|||
Jml
|
%
|
Jml
|
%
|
Jml
|
%
|
|
Formal
|
30.331.046
|
34,60
|
27.836.019
|
30,37
|
37.839.250
|
37,87
|
Informal
|
57.341.403
|
65,40
|
63.811.147
|
69,63
|
62.090.967
|
62.13
|
Jumlah
|
87.672.449
|
100,00
|
91.647.166
|
100,00
|
99.930.217
|
100,00
|
·
Survey
Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 1998, 2002 dan 2007; Badan Pusat
Statistik (BPS)
Sudah banyak studi
empiris mengenai pentingnya sektor informal sebagai sumber alternatif
kesempatan kerja, bahkan sering dijuluki sebagai the last resort bagi banyak orang di Indonesia. Artinya, harapan
atau pilihan terakhir bagi penduduk miskin atau pengangguran untuk mendapat
penghasilan, walaupun sering kali penghasilan atau upahnya pas-pasan hanya
untuk sekedar bertahan hidup. Dari jumlah pekerja informal tersebut
diperkirakan setengahnya adalah pekerja rumahan yang
bekerja kepada majikan/ pengusaha dengan standar upah jauh dibawah ketentuan
Upah Minimum yang berlaku serta ketiadaan perlindungan kesehatan dan
keselamatan kerja maupun jaminan sosial.
Sedangkan ditinjau
dari struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta
unit usaha yang ada, sebanyak 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi
rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dan bila
kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab
berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha[1].
Melihat kenyataan
tersebut tentu menarik untuk melakukan kajian dan analisa dari aspek yuridis
normatif ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
apakah Negara Indonesia sudah memberikan jaminan bagi terpenuhinya hak atas jaminan
sosial bagi pekerja rumahan, jika sudah, seberapa jauh produk kebijakan yang
ada tersebut dapat memberikan jaminan dipenuhinya hak atas jaminan sosial bagi
pekerja rumahan.
PENGERTIAN JAMINAN SOSIAL
|
Jaminan sosial secara filosofis mencakup tidak hanya bagi buruh baik formal maupun infomal melainkan dilaksanakan dan memberi manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu pengertian jaminan sosial mencakup aspek hukum, aspek politik dan aspek ekonomi.
Aspek hukum jaminan sosial berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk melaksanakan
amanat Pasal 5 (2), Pasal 20, Pasal 28H (1), (2), (3), dan Pasal 34 (1) dan (2)
UUD 1945; yaitu sistem perlindungan
dasar bagi masyarakat terhadap risiko-risiko
sosial ekonomi.
Aspek politik jaminan
sosial adalah upaya
pembentukan negara kesejahteraan (welfare state) yang merupakan keinginan politik dari pemerintah.
Aspek ekonomi jaminan sosial terkait dengan redistribusi pendapatan melalui mekanisme
kepesertaan wajib dan implementasi uji
kebutuhan untuk keadilan. sistem jaminan
sosial diperlukan untuk ketahanan negara dan sekaligus peningkatan daya beli
masyarakat agar terwujud keamanan ekonomi dalam
jangka panjang.
Sedangkan menurut ILO (1998), Jaminan Sosial diartikan sebagai:
“Perlindungan yang diberikan oleh masyarakat untuk masyarakat melalui
seperangkat kebijaksanaan publik terhadap tekanan ekonomi sosial bahwa jika
tidak diadakan sistem jaminan sosial akan menimbulkan hilangnya sebagian
pendapatan sebagai akibat sakit, persalinan, kecelakaan kerja, sementara
tidak bekerja, cacat, hari tua dan kematian dini, perawatan medis termasuk
pemberian subsidi bagi anggota keluarga yang membutuhkan”.
|
Pengertian jaminan
sosial menurut ILO tersebut masih bersifat universal sehingga dalam
implementasinya harus disesuaikan dengan berbagai pendekatan yang berlaku di
setiap negara.
Menurut Purwoko (1999)[2], Pengertian jaminan sosial sangat beragam. Dilihat dari pendekatan
asuransi sosial, maka berarti jaminan sosial sebagai teknik atau metoda
penanganan risiko hubungan industrial yang berbasis pada hukum bilangan besar (law of large numbers). Dari sisi bantuan
sosial, maka jaminan sosial berarti sebagai dukungan pendapatan bagi komunitas
kurang beruntung untuk keperluan konsumsi. Karena itu, maka jaminan sosial
berarti sebagai:
a.
salah satu faktor ekonomi seperti konsumsi, tabungan dan
subsidi atau konsesi untuk redistribusi pendapatan;
b.
instrumen negara untuk redistribusi risiko sosial-ekonomi
melalui tes kebutuhan (means-test
application), yaitu tes apa yang telah dimiliki peserta baik berupa
rekening tabungan maupun kekayaan ril;
c.
program pengentasan kemiskinan yang ditindak-lanjuti
dengan pemberdayaan komunitas; dan
d.
sistem perlindungan dasar untuk penanggulangan hilangnya
sebagai pendapatan pekerja sebagai konsekuensi risiko hubungan industrial.
Wujud kesejahteraan
rakyat dapat dilihat dari potret kesehatan masyarakatnya, dan secara sistemik
dapat dijadikan tolok ukur bagaimana Pemerintah memperhatikan masalah sosial
dan kesehatan dan bagaimana penerapan Sistem Jaminan Sosial dimasing-masing
negara dalam mengaplikasikannya secara Nasional.
Penerapan Sistim Jaminan
Sosial di negara barat maupun timur selalu menjadi tolok ukur keberhasilan
Pemerintah dalam melindungi rakyatnya mencapai kesejahteraan khususnya dalam
lingkup kesehatan. Percontohan yang dilakukan oleh Jerman pada tahun 1883, Otto
Von Bismarck sebagai pimpinan negara telah berfikir bagi rakyatnya dengan
merintis sistim jaminan sosial. Pola ini banyak diitiru oleh negara lain,
dengan penyesuaian kondisi dimasing-masing negara seluruhnya mengacu agar
rakyat dapat sejahtera. Kendatipun Jepang merupakan negara yang tertutup waktu
itu, negara ini telah menerapkan Sistim Jaminan Sosial pada tahun 1922 dan
kemungkinan merupakan negara pertama di Asia yang berkesadaran untuk membuat
sistim dalam mensejahterakan rakyatnya. Amerika Serikat dibawah Presiden
Rosevelt di tahun 1935, memberlakukan “Social
Security Act”, berupaya mensejahterakan rakyat yang sedang mengalami depresi
ekonomi.[3]
Di Indonesia kebijakan
tentang jaminan sosial yang diberlakukan untuk seluruh warga negara masih
relatif baru, hal ini ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang sampai dengan
ditulisnya laporan hasil penelitian ini belum dapat dimplementasikan dan
dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia.
Menurut TR Reid[4], koresponden senior The Washington Post dan kritikus kebijakan health care, ada empat model dasar dalam
kebijakan pelayanan kesehatan, sebagai bagian dari sistem jaminan sosial
nasional yang diberlakukan di seluruh dunia, yaitu:
Pertama, model Beveridge, dinamai dari
ekonom Inggris, William Beveridge, penemu Sistem Kesehatan Nasional (National Health Service/NHS). Dalam
sistem ini, setiap warga negara berhak menggunakan layanan kesehatan dan tidak
akan pernah menerima tagihan karena pembiayaannya didanai oleh pajak. Negara,
sebagai pembayar tunggal (sole payer),
menentukan pelayanan kesehatan yang bisa diberikan dokter dan harga yang dapat
mereka tagihkan. Fasilitas kesehatan dan tenaga medis dimiliki oleh negara.
Pihak swasta dapat menagih pelayanan yang mereka berikan langsung kepada
pemerintah. Inggris, Spanyol, dan Selandia Baru adalah contoh negara yang
menggunakan sistem ini.
Kedua, model Bismarck, dinamai dari
Kanselir Jerman pertama, Otto von Bismarck. Sistem ini menggunakan asuransi
kesehatan yang didanai oleh penyedia kerja dan karyawan melalui pemotongan
gaji. Asuransi ini wajib melindungi seluruh warga negara dan tidak
diperbolehkan mengambil keuntungan. Fasilitas kesehatan dan tenaga medis boleh
dimiliki oleh swasta dan jumlah penyedia asuransi pun tidak dibatasi. Sekalipun
model ini tidak menggunakan sistem pembayar tunggal, regulasi yang ketat dapat
memberikan kewenangan yang besar bagi negara layaknya dalam model Beveridge. Kompetisi terjadi, baik di
antara lembaga asuransi nirlaba maupun penyedia layanan kesehatan, karena
didorong oleh motivasi manajemen untuk mendapatkan kompensasi yang meningkat
seiring dengan meluasnya cakupan asuransi dan layanan kesehatan yang diberikan.
Model Bismarck di antaranya digunakan
di Jerman, Perancis, Belanda, dan Jepang.
Ketiga, model Asuransi Kesehatan Nasional (National
Health Insurance) yang merupakan gabungan dari model Beveridge dan Bismarck. Sistem
ini menggunakan pihak swasta sebagai penyedia layanan kesehatan, dengan
pembayaran klaim yang didanai dari program asuransi nasional. Program asuransi
ini dikelola pemerintah dan setiap warga negara wajib membayar premi. Dengan
tidak adanya kebutuhan pemasaran dan perolehan keuntungan, program asuransi
universal seperti ini cenderung lebih murah dalam biaya dan lebih mudah dalam
administrasinya. Asuransi nasional sebagai pembayar tunggal punya kekuatan
pasar yang besar untuk menegosiasikan harga yang lebih rendah kepada pihak
swasta selaku penyedia layanan kesehatan. Sistem ini dapat ditemui di Kanada,
Taiwan, dan Korea Selatan.
Keempat, model biaya sendiri. Sebagian besar penduduk dunia tidak mendapatkan akses
layanan kesehatan karena sebagian besar negara di dunia terlalu miskin dan
tidak terkoordinasi untuk menyediakan layanan medis secara massal.
Secara tekstual jaminan
sosial yang berlaku di Indonesia belum memberikan perlindungan kepada pekerja
rumahan, namun tentu perlu dilakukan kajian dan analisa bagaimana hukum
perburuhan Indonesia melihat dan memandang pekerja rumahan, apakah hukum
perburuhan Indonesia sudah dapat memberikan perlindungan ataukah memang
diperlukan aturan yang lebih spesifik untuk mengatur permasalahan pekerja
rumahan .
PEKERJA
RUMAHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PERBURUHAN INDONESIA
|
Istilah hukum perburuhan
dalam penelitian ini mengacu kepada pendapat Moleenar yang menyatakan bahwa hukum
perburuhan adalah:
“Bagian dari hukum
yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan
majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa”.
|
Sedangkan menurut Imam
Soepomo istilah hukum perburuhan didefinisikan sebagai:
”himpunan peraturan,
baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang
bekerja pada orang lain dengan menerima upah”.[5]
|
Dari sudut pandang ini akan dilakukan analisa apakah permasalahan pekerja rumahan sudah merupakan peristiwa hukum dimana pekerja rumahan telah mempunyai hubungan kerja dengan para majikan yang menjadi ruang lingkup dari hukum perburuhan Indonesia ataukah permasalahan pekerja rumahan adalah permasalahan dari hukum ketenakerjaan kita. Ini menjadi penting karena definisi perburuhan seperti pendapat Soepomo.berbeda dengan definisi ketenagakerjaan sebagaimana dapat dilihat didalam pasal 1 angka 1 Undang-undang (UU) No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut:
”Ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama, dan sesudah masa kerja”.
|
Sedangkan pada pasal 1
angka 2 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan:
”Tenaga kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
|
Definisi mengenai pekerja rumahan belum tertulis secara tekstual di dalam hukum positif kita, oleh karena itu Penulis menggunakan definisi yang ada di dalam Konvensi International Labour Organization Nomor: 177 Tahun 1996 tentang Pekerja Rumahan, dimana dalam konvensi tersebut pekerja rumahan didefinisikan sebagai:
(a) Terminologi
“pekerjaan rumahan”, adalah pekerjaan yang dikerjakan oleh seseorang pekerja
rumahan dengan:
(i) dikerjakan
di rumah atau di tempat lain diluar tempat kerja pemberi kerja/ majikan,
(ii) secara
pribadi atau terpisah,
(iii) yang
menghasilkan produk atau jasa yang secara khusus diminta oleh pemberi kerja,
tidak memperoleh upah untuk penggunaan peralatan, bahan baku atau berbagai
masukan yang dipergunakan,
kecuali
bila memiliki otonomi dan independensi ekonomi yang memadai sehingga layak
disebut sebagai pekerja independen dibawah hukum nasional, peraturan atau
keputusan pengadilan.
(b) Seseorang
dengan status pekerja tidak termasuk sebagai pekerja rumahan seperti pada
Konvensi bila secara sengaja memilih bekerja di rumah ketimbang bekerja di
tempat bekerjanya,
Terminologi “pemberi kerja/ majikan” adalah seseorang, secara alamiah atau
hukum, baik secara langsung atau melalui perantara yang berbadan hukum,
memberi kerja berupa pekerjaan rumah sebagai bagian dari aktivitas usahanya.
|
Karakteristik Pekerja Rumahan
Karakteristik yang khas
dari pola pekerja rumahan di dalam melakukan pekerjaan dan dalam hubungannya
dengan para pengusaha atau majikan yang memang berbeda dengan kondisi hubungan
kerja antara buruh dengan majikan di pabrik dan industri lain yang menggunakan
tempat usaha di wilayah yang menjadi milik pengusaha, yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
(1) Pekerja rumahan yang bekerja di dalam rumah dengan mengambil pekerjaan dari
majikan, karakteristik yang muncul dalam pola ini adalah:
ü tidak ada perjanjian kerja secara tertulis dengan majikan/ pengusaha.
ü sifat pekerjaan tidak tetap tapi berubah-ubah sesuai dengan kondisi pasar
dari majikan dan tingkat persaingan diantara para pekerja rumahan sendiri. Siklus
waktu satu pengambilan pekerjaan dari majikan sampai dengan dengan selesainya
pekerjaan tersebut sangat pendek antara 1 hari sampai dengan 1 minggu, tetapi
terus berulang sehingga menjadi pekerjaan yang rutin dan berlangsung terus
menerus.
ü menerima upah berdasarkan borongan atau diupah berdasarkan volume pekerjaan
atau satuan hasil kerja.
ü pengusaha yang secara absolut menentukan besarnya upah per satuan hasil
kerja dan pekerja rumahan tidak mempunyai nilaitawar sama sekali dalam
penentuan besarnya upah.
ü majikan menentukan kriteria dan standar mutu dari hasil pekerjaan dan
menentukan apakah hasil pekerjaan dari pekerja rumahan dapat diterima oleh
pengusaha atau tidak. Jika hasil pekerjaan diterima oleh majikan maka pekerja
rumahan akan menerima upahnya dan jika hasil pekerjaan tidak diterima oleh
majikan maka buruh tidak menerima upahnya dan hasil pekerjaan yang rusak tersebut
menjadi tanggungan dari pekerja rumahan dan harus diganti/dibayar oleh pekerja
rumahan. Didalam melakukan pekerjaannya, pekerja rumahan tidak mendapatkan
supervisi dari majikan/ pengusaha karena aktifitas pekerjaan dilakukan di rumah
pekerja dan bukan di tempat majikan.
ü Pekerja rumahan ikut menanggung biaya produksi dari produk yang dihasilkan seperti: tempat usaha (rumah), listrik,
alat-alat produksi (contoh dalam industri garmen pekerja rumahan harus
menanggung dan membeli sendiri mesin jahit, benang, jarum, biaya perawatan
mesin jahit, Seringkali untuk memperbesar upah yang diterima pekerja rumahan
dalam melakukan pekerjaan juga melibatkan anggota keluarga yang lain untuk
membantu pekerjaan tersebut, tetapi pihak yang membantu tidak menerima upah
dari majikan.
ü Karena bersifat borongan tidak ada ketentuan jam kerja, lembur, istirahat
mingguan, cuti haid, cuti hamil, cuti tahunan dll. sebagaimana yang berlaku di
dalam hukum perburuhan kita.
ü Walaupun jam kerja yang dilalui oleh pekerja rumahan untuk menyelesaikan
pekerjaan biasanya sangat panjang atau pasti melebihi waktu 7 jam dalam sehari
dan 40 jam dalam waktu seminggu sebagaimana diatur dalam hukum perburuhan,
tetapi upah yang diterima sangat kecil jauh dibawah ketentuan upah minimum
kabupaten yang berlaku.
ü Tidak ada alat-alat keselamatan dan kesehatan kerja yang disediakan oleh
majikan, tidak ada jaminan atas kesehatan dan kecelakaan kerja, serta tidak ada
jaminan atas pensiun dan hari tua sebagaimana diamanatkan oleh peraturan
mengenai jaminan sosial yang berlaku dalam hukum perburuhan.
(2) Pekerja rumahan yang mempekerjakan orang lain dan atau ikut bekerja dengan
mengambil pekerjaan dari majikan, karakteristik yang muncul dalam pola ini
adalah:
ü Dalam kondisi order yang cukup banyak dimana pekerja rumahan tidak mampu
memenuhi pesanan dari majikan dalam waktu yang di tentukan oleh majikan,
biasanya pekerja rumahan akan merekrut orang lain untuk menyelesaikan order
tersebut. Pekerja rumahan akan mengambil keuntungan sedikit dalam proses ini
dengan jalan menurunkan harga per satuan unit yang ditetapkan oleh majikan
kepada orang yang mengambil pekerjaan dari pemegang order.
ü Pekerja rumahan sebagai pemegang order harus menanggung setiap kesalahan
atau kerusakan hasil produksi yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh majikan akibat dari hasil pekerjaan orang yang mengambil pekerjaan (sub
pekerjaan).
Dalam banyak kasus pekerja rumahan dapat menjadi pemegang order jika dia mempunyai modal lebih untuk membeli beberapa alat-alat produksi dan atau bahan-bahan penunjang produksi yang akan dipergunakan oleh orang yang mengambil sub pekerjaan.
Secara umum kondisi dan sistem yang berlaku dalam melakukan pekerjaan sama dengan point no. 1.
Dalam banyak kasus pekerja rumahan dapat menjadi pemegang order jika dia mempunyai modal lebih untuk membeli beberapa alat-alat produksi dan atau bahan-bahan penunjang produksi yang akan dipergunakan oleh orang yang mengambil sub pekerjaan.
Secara umum kondisi dan sistem yang berlaku dalam melakukan pekerjaan sama dengan point no. 1.
ü Karena sifat pekerjaan yang berubah-ubah kontinuitasnya, begitu juga dengan
posisi pekerja rumahan juga berubah-ubah diantara point no. 1 dan point no. 2
tergantung kondisi pasar dari majikan dan kondisi modal dari pekerja rumahan
apakah mampu untuk membeli alat-alat dan atau bahan penunjang produksi bagi
pekerja yang akan men-sub pekerjaan.
Sistem pekerja rumahan
ini tidak terbatas dalam point no.1 dan no. 2 saja tergantung jenis dan sifat
barang yang diproduksi, tetapi dapat lebih banyak banyak, misalnya: majikan -
pemegang sub pekerjaan 1 sub pekerjaan 2, dst. Dan juga bisa memendek dan
memanjang tergantung kondisi pasar dan modal kerja yang dipunyai oleh pekerja
rumahan.[6]
Point no. 1 dan no. 2 biasa dikenal istilah pekerja rumahan yang mempunyai
sistem kerja putting out sistem (POS).
(3) Pekerja rumahan yang bekerja secara mandiri dalam membuat produk barang dan
memasarkan sendiri produk tersebut, karakteristik yang muncul dalam pola ini
adalah:
ü Pekerja rumahan dalam membuat produk barang seringkali dibantu oleh anggota
keluarga tanpa memperhitungkan mereka harus diberi upah.
ü Skala produksi yang sangat kecil karena memang modal yang sangat kecil,
mutu yang rendah dan akses pasar yang minim, membuat tingkat upah sangat jauh
dari ketentuan upah minimum kabupaten yang berlaku.
ü Jika pasar dalam kondisi ramai biasanya pekerja rumahan akan merekrut orang
lain untuk membantu pekerjaan dengan memberi upah berdasarkan upah borongan,
walaupun sangat murah.
ü Kondisi kerja dan tingkat kesejahteraan sama dengan point no. 1
Tipe pekerja rumahan ini juga dikenal dengan nama pekerja rumahan yang berciri self employment (SE).
Tipe pekerja rumahan ini juga dikenal dengan nama pekerja rumahan yang berciri self employment (SE).
Perlindungan Hukum Pekerja Rumahan Dalam Hukum Perburuhan Indonesia
Melihat karakteristik yang terjadi dalam pola hubungan kerja antara pekerja rumahan dengan majikannnya, memang merupakan pola yang khas yang berbeda dengan pola hubungan antara buruh dan majikan yang biasa kita temui di sektor industri maupun perusahaan yang memiliki badan hukum, pekerja rumahan yang memiliki ciri POS minimal terlihat beberapa aspek hukum seperti:
Melihat karakteristik yang terjadi dalam pola hubungan kerja antara pekerja rumahan dengan majikannnya, memang merupakan pola yang khas yang berbeda dengan pola hubungan antara buruh dan majikan yang biasa kita temui di sektor industri maupun perusahaan yang memiliki badan hukum, pekerja rumahan yang memiliki ciri POS minimal terlihat beberapa aspek hukum seperti:
ü perjanjian kerja untuk melakukan suatu pekerjaan antara pekerja rumahan
dengan majikannya bersifat lisan dan mempunyai jangka waktu yang sangat pendek antara
1 hari sampai dengan 1 minggu. Tetapi terus berulang sehingga menjadi pekerjaan
rutin yang berlangsung terus menerus.
ü majikan tidak melakukan supervisi terhadap aktifitas pekerja rumahan dalam
bekerja tetapi pengusaha melakukan kontrol terhadap mutu dan standarisasi hasil
kerja. Pekerja rumahan tidak mempunyai bargaining positition dalam menentukan
standar upah yang diberikan oleh majikan.
ü walaupun ada beberapa pekerja rumahan yang mempekerjakan orang lain tetapi
dia juga tidak mempunyai bargaining positition dengan majikan dalam menentukan
tingkat upah yang harus diterimanya.
Dari ciri khas yang terjadi antara pekerja rumahan tipe POS dengan majikannya tersebut, tentu pertanyaan menarik adalah bagaimana hukum perburuhan Indonesia melihatnya, apakah pola hubungan semacam ini dapat masuk dan dilindungi oleh hukum perburuhan ataukah pola hubungan kerja semacam ini berada di luar sistem hukum perburuhan Indonesia.
Di dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di dalam pasal 1
angka 3 menyebutkan:
”pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain”.
|
Definisi ini konsisten juga dengan beberapa peraturan yang lain seperti
pasal 1 angka 9 UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial juncto pasal 1 angka 6 UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh serta beberapa peraturan lain mengenai perburuhan. Dari definisi di atas
terlihat bahwa pekerja rumahan juga masuk dalam definisi ini karena pekerja
rumahan juga melakukan pekerjaan dengan tujuan untuk memperoleh upah, begitu
juga didalam pasal 1 angka 4 UU No. 3 tahun 2003 menyebutkan:
”Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lainnya”.
|
Di dalam pasal 1 angka 5 UU No. 13 tahun 2003 juga menyebutkan:
a. “Pengusaha adalah: orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya”.
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
|
Sedangkan di dalam pasal 1 angka 6 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan:
Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/ buruh dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
|
Definisi di atas juga konsisten dengan beberapa aturan hukum yang lain misalnya pasal 1 angka 6 dan 7 UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juncto pasal 1 angka 7 dan 8 UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh juncto pasal 1 angka 3 dan 4 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan aturan-aturan hukum perburuhan yang lain.
Sehingga menjadi jelas bahwa pengusaha/majikan yang menjalankan perusahaan dari pekerja rumahan masuk dalam definisi di atas karena sifat aturan tersebut yang memberikan ruang baik berbadan hukum maupun tidak asal merupakan suatu bentuk usaha yang mempekerjakan orang lain dalam menjalankan proses produksi. Tetapi secara empiris biasanya para pengusaha tidak mengakui bahwa mereka mempekerjakan pekerja rumahan karena proses produksinya tidak dilakukan di tempat majikan tetapi di rumah pekerja rumahan.
Untuk menjawab masalah tersebut dapat kita lihat di dalam pasal 1 angka 14 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan:
”Perjanjian kerja
adalah perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja
yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.
|
Pasal 1 angka 14 UU No. 13 tahun 2003 sebenarnya memperluas ruang lingkup hukum perburuhan karena menyebutkan bahwa perjanjian kerja tidak hanya dilakukan oleh buruh dengan pengusaha saja tetapi juga dengan pemberi kerja dimana terdapat perbedaan arti antara pengusaha yang harus memiliki perusahaan sedangkan pemberi kerja tidak harus memiliki perusahaan. Sehingga hubungan antara Pembantu Rumah Tangga (PRT) dengan majikannya dapat terlindungi oleh UU ini karena PRT berarti mempunyai hubungan kerja dengan pemberi kerja dan bukan dengan pengusaha. Tetapi pasal ini dianulir sendiri oleh pasal 1 angka 15 UU No. 13 tahun 2003 yang menyebutkan:
”Hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja
, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.
|
Dan pasal 50 UU No. 13
tahun 2003 yang menyebutkan:
”Hubungan kerja
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/ buruh”.
|
Berdasarkan pasal-pasal
dalam aturan di atas dapat disimpulkan bahwa baru terdapat hubungan kerja jika
telah terdapat perjanjian kerja antara buruh dengan majikan, pertanyaannya
adalah dalam kasus pekerja rumahan apakah telah terdapat perjanjian kerja
sehingga kemudian terjadi hubungan kerja antara pekerja rumahan dengan
majikannya. Untuk menjawab hal tersebut kita harus memulai dengan unsur-unsur
yang terkandung di dalam perjanjian kerja, menurut Soepomo perjanjian kerja
terjadi setelah buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan
dengan menerima upah dan di mana majikan juga menyatakan kesanggupannya untuk
mempekerjakan buruh dengan membayar upah, maka pada saat itulah telah terjadi
hubungan kerja antara buruh dengan majikan.[7] Sedangkan
perjanjian kerja itu sendiri dapat dibuat secara tertulis maupun tidak seperti
yang tercantum di dalam pasal 51 ayat (1) UU no. 13 tahun 2003 yang berbunyi:
”Perjanjian kerja
dibuat secara tertulis atau lisan”.
|
Sedangkan unsur-unsur dari perjanjian kerja adalah:
1. Penunaian Kerja
Penunaian kerja mempunyai maksud bahwa buruh melakukan suatu pekerjaan
tertentu sebagaimana yang diperjanjikan oleh pihak majikan.[8]
Dalam kasus pekerja rumahan unsur ini terpenuhi karena memang ada suatu pekerjaan tertentu yang dilakukan oleh pekerja rumahan untuk kepentingan dari majikan.
Dalam kasus pekerja rumahan unsur ini terpenuhi karena memang ada suatu pekerjaan tertentu yang dilakukan oleh pekerja rumahan untuk kepentingan dari majikan.
2. Ada orang di bawah pimpinan orang lain
Hubungan kerja ditandai dengan unsur paling dominan adalah adanya wewenang
untuk memerintah dari pihak majikan terhadap pihak buruh, sebab tanpa adanya
unsur ini maka hubungan tersebut bukanlah hubungan kerja. Artinya bahwa
kedudukan antara buruh dan majikan tidaklah sejajar melainkan hubungan sub
ordinasi, sedangkan jika hubungan kedua belah pihak adalah koordinasi seperti
yang terjadi antara pemborong/kontraktor dengan pimpinan proyek (pimpro)
bukanlah hubungan kerja tetapi adalah hubungan perjanjian pemborongan kerja
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1601b kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPa) yang berbunyi:
“perjanjian-pemborongan-pekerjaan adalah suatu perjanjian di mana pihak
yang satu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu
bagi pihak yang lain, yang memborongkan, dengan menerima bayaran tertentu”.
|
Di dalam hubungan antara pekerja rumahan dengan majikannya sebenarnya lebih
condong kepada perjanjian pemborongan kerja, hal ini terlihat dari beberapa
unsur seperti:
ü Majikan tidak melakukan supervisi atau pengawasan terhadap pekerjaan yang
dilakukan oleh buruh.
ü Majikan hanya melihat hasil akhir (karya) dari buruh saja sehingga sesuai
dengan perjanjian jika hasilnya sesuai dengan standar yang telah disepakati
maka majikan akan membayar upahnya dan jika hasilnya tidak sesuai dengan
standar yang telah disepakati maka pekerja rumahan harus membayar kerusakannya
tersebut.
Tetapi selain unsur-unsur yang mendekati perjanjian pemborongan pekerjaan
yang tersebut di atas ada satu unsur dari perjanjian pemborongan pekerjaan yang
tidak terpenuhi dalam kasus hubungan antara pekerja rumahan dengan majikannya,
yaitu bahwa hubungan antara majikan dengan pekerja rumahan bukanlah hubungan
koordinasi sebagaimana disyaratkan didalam perjanjian pemborongan kerja, karena
pekerja rumahan tidak mempunyai nilai tawar sama sekali didalam menentukan
besarnya nilai pembayaran terhadap karya yang dihasilkan oleh pekerja rumahan.
Hal ini membuat hubungan antara pekerja rumahan bukanlah murni hubungan
perjanjian pemborongan pekerjaan tetapi juga mengandung unsur perjanjian kerja
yang menjadi landasan dari dimulainya hubungan kerja.
Pada kasus pekerja rumahan bahwasanya perjanjian untuk melakukan pekerjaan
berlangsung dalam jangka waktu pendek dan terus diulang-ulang sehingga
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja rumahan adalah berlangsung terus dalam
jangka waktu yang lama. Pada kasus semacam ini berdasarkan pasal 1601c ayat 2
KUHPa yang berbunyi:
”Jika suatu perjanjian-pemborongan-pekerjaan
diikuti oleh beberapa perjanjian semacam itu, meskipun tiap kali dengan suatu
waktu selang, atau jika pada waktu dibuatnya perjanjian-pemborongan-pekerjaan
terang maksud kedua belah pihak adalah untuk membuat beberapa perjanjian lagi
yang semacam sedemikian rupa sehingga semua perjanjian-pemborongan-pekerjaan
itu bersama-sama dapat dianggap sebagai suatu perjanjian-kerja, maka yang
berlaku adalah ketentuan mengenai perjanjian-kerja terhadap
perjanjian-perjanjian tersebut kesemuanya dan terhadap tiap perjanjian itu
sendiri, dengan pengecualian ketentuan dibagian Keenam BAB ini. Tetapi jika
dalam hal yang sedemikian itu perjanjian yang pertama dibuat sebagai
percobaan, perjanjian itu dianggap tetap memiliki sifatnya sebagai
perjanjian-pemborongan-pekerjaan dan ketentuan di bagian Keenam akan berlaku
baginya”.
|
Maka pola hubungan semacam ini sudah dapat dikategorikan masuk didalam
hubungan kerja karena pola hubungan semacam ini telah mengandung unsur
kepemimpinan atau wewenang untuk memerintah dari pihak majikan kepada pihak buruh[9],
tentu dalam hal ini termasuk juga pekerja rumahan.
3. Dalam Waktu Tertentu
Maksud dalam unsur ini adalah bahwa buruh dalam melakukan pekerjaannya
mempunyai waktu tertentu, sehingga jika waktu melakukan pekerjaan telah selesai
(misalnya karena jam kerja yang ditentukan oleh majikan ataupun oleh peraturan
yang berlaku telah berakhir ataupun karena buruh telah pensiun ataupun telah
keluar dari pekerjaan) maka buruh akan kembali menjadi pribadi seutuhnya
sebagai manusia yang bebas dan merdeka, unsur ini penting untuk menghindari
praktek perbudakan yang menghilangkan jati diri buruh sebagai manusia. Unsur
inipun terpenuhi dalam kasus pekerja rumahan.
4. Adanya upah
Yang dimaksud dengan upah menurut pasal 1 angka 30 UU No. 13 tahun 2003
adalah:
”Upah adalah pekerja/ buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi
kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau
jasa yang telah atau akan dilakukan.”
|
Definisi upah didalam UU di atas kembali menunjukkan inkonsistensi karena
turut serta menyebutkan pihak pemberi kerja sebagai pihak yang dapat memberikan
upah kepada pekerja/ buruh, yang berarti dalam hal ini PRT masuk dalam lingkup
hukum perburuhan, tetapi paling tidak dalam kasus pekerja rumahan yang berciri
POS unsur ini terpenuhi.
Dari unsur-unsur perjanjian kerja di atas menjadi terang dan jelas bahwa pekerja rumahan yang berciri POS secara meyakinkan telah masuk dalam struktur perlindungan hukum perburuhan Indonesia, sedangkan pekerja rumahan berciri SE belum pola pekerjaannya belum dapat dikategorikan ke dalam pola hubungan kerja. Hal ini mempunyai konsekuensi bahwa pekerja rumahan berciri POS juga memiliki seluruh hak-haknya sebagai buruh yang di atur didalam seluruh peraturan perundang-undangan perburuhan yang berlaku, minimal pekerja rumahan berciri POS mempunyai hak dasar sebagai buruh diantaranya meliputi:
- hak untuk berserikat;
- hak untuk berunding secara kolektif,
- ak untuk mogok;
- hak atas upah minimum;
- hak atas jam kerja, libur mingguan, cuti haid, cuti hamil, cuti tahunan, dan cuti panjang
- tempat kerja yang aman;
- hak atas kesehatan dan resiko akibat hubungan kerja,
- hak atas jaminan sosial, dsb.
Mengingat hak pokok dari
buruh adalah upah, karena tingkat upah mencerminkan tingkat kesejahteraan dari
buruh tersebut, maka untuk pekerja rumahan yang upahnya dibayar berdasarkan satuan hasil
kerja berlaku pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
Per-01/MEN/1999 yang menyebutkan:
“bagi pekerja dengan
dengan sistem borongan atau berdasarkan satuan hasil yang dilaksanakan 1
(satu) bulan atau lebih, upah rata-rata sebulan serendah-rendahnya sebesar
Upah Minimum di perusahaan yang bersangkutan”.
|
Yang dimaksud upah minimum dalam pasal di atas adalah
upah minimum propinsi, kabupaten, atau kota sesuai dengan domisili dari perusahaan di mana buruh bekerja. Begitu juga dengan hak-hak lainnya yang diatur didalam hukum perburuhan termasuk jaminan sosial yang harus diterima oleh pekerja rumahan, dan bahkan telah ada aturan yang secara khusus disediakan untuk buruh berstatus upah borongan, yaitu di dalam Keputusan Menteri Tenaga kerja No. Kep-150/MEN/1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Waktu Tertentu.
Sedangkan untuk pekerja rumahan yang berciri SE secara tekstual tidak dapat dimasukkan di dalam struktur perlindungan hukum perburuhan karena memang tidak memenuhi syarat unsur-unsur di dalam perburuhan.
Di dalam hukum
ketenagakerjaan hanya jaminan sosial yang dapat dituntut dari negara karena
memang telah ada UU yang mengaturnya, hal ini dapat dilihat di dalam pasal 3
ayat (2) UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang berbunyi:
”Setiap tenaga kerja
berhak atas jaminan sosial tenaga kerja”.
|
Dimana di dalam aturan pelaksanaan dari UU di atas badan penyelenggara program jaminan sosial tenaga kerja tersebut diserahkan kepada kewajibannya kepada PT. Jamsostek Tetapi didalam pasal 4 ayat (2) UU No. 3 tahun 1992 menyebutkan:
Program jaminan sosial
tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan
kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.
|
SISTEM JAMINAN
SOSIAL YANG BERLAKU SAAT INI
|
Selama ini program
jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah R.I hanya mencakup sebagian
kecil dari jumlah penduduk saja. Dari 95 juta angkatan kerja, baru 24,6 juta
jiwa memperoleh jaminan sosial, atau baru 12% dari jumlah penduduk. Sementara
di Thailand dan Malaysia masing-masing mencapai 50% dan 40% dari total
penduduk.[10] Sebagian besar rakyat masih harus melakukan segala daya upaya sendiri
untuk melindungi diri dan anggota keluarganya dari segala macam kerentanan
hidup.
Sedangkan 12% penduduk
Indonesia yang telah memperoleh jaminan sosial tersebut, juga terbagi dalam beberapa
kelas yang berbeda-beda dalam memperoleh manfaat dari jaminan sosial yang
diikutinya, sesuai dengan kategori profesi yang digelutinya.
Program Asuransi Kesehatan (Askes)
Program Asuransi kesehatan yang berlaku di Indonesia pada saat ini dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu: pertama; asuransi kesehatan yang diperuntukkan kepada Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dikelola oleh PT.
Askes. Kedua; adalah asuransi
kesehatan yang diperuntukkan kepada pekerja swasta di sektor formal yang
dikelola oleh PT. Jamsostek dan, ketiga; adalah asuransi kesehatan bagi warga
masyarakat miskin dalam bentuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatam Masyarakat (Jamkesmas)
biasa disebut askeskin yang pengelolaannya diserahkan kepada Puskesmas, Rumah
Sakit yang ditunjuk beserta jaringannya.
Menurut ILO[11], hanya sekitar 15% penduduk
Indonesia yang menjadi anggota salah satu asuransi kesehatan baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun sektor swasta diluar program Jamkesmas,
sedangkan jika ditambah program jamkesmas, total sekitar 40% jumlah penduduk
Indonesia yang telah terlindungi dalam program asuransi kesehatan. Sehingga
masih sekitar 60% penduduk Indonesia (didalamnya terdapat pekerja rumahan) yang
belum terlindungi dalam jaminan kesehatan dalam bentuk apapun.
Pada tahun 2009, 15,1 juta orang atau sekitar 6,65% dari total penduduk
Indonesia pada tahun 2008 yang diperkirakan sebesar 227 juta jiwa[12] mendapatkan asuransi kesehatan melalui PT. Askes, sebuah BUMN yang
mengelola asuransi kesehatan untuk PNS, pensiunan PNS, TNI dan pensiunan TNI serta
anggota keluarga mereka.
Program Askes dibiayai melalui potongan gaji sebesar 2% dari gaji pokok
mereka dan pembayaran klaim dibuat berdasarkan sistem anggaran kapitasi[13] dan paket benefit yang konsisten, diberikan melalui sebuah kelompok
organisasi pemeliharan kesehatan (Health
Maintenance Organization atau HMO)[14] yang dirancang untuk memberikan pelayanan kesehatan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif
Program Asuransi Angkatan Bersenjata
Respublik Indonesia (Asabri)
Program Asabri adalah sebuah asuransi yang memberikan dana pensiun kepada
TNI dan Polri beserta anggota keluarganya, namun informasi publik tentang
program ini sangat sulit diperoleh, Informasi yang diperoleh masih sebatas hanya
kepada jumlah peserta program Asabri pada tahun 2009 berjumlah 1,124 juta orang[15], selebihnya tidak diperoleh informasi apapun, maka program ini tidak akan
dibahas dalam penelitian ini, hanya sebatas informasi bahwa program tersebut
ada dan manfaatnya telah dinikmati oleh pesertanya.
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek)
Pada tahun 2009 peserta program Jamsostek berjumlah 26,63 juta orang, atau
sebesar 11,73%[16] dari total jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2008 yang diperkirakan
sebesar 227 juta jiwa, tetapi dari jumlah peserta Jamsostek tersebut tidak
semuanya mengikuti program secara full
paket, sehingga data tersebut masih perlu dilakukan klarifikasi berapa jumlah sebenarnya
dari peserta Jamsostek yang telah menerima manfaat jaminan sosial secara penuh
seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Karena program Jamsostek yang terdiri
dari: Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pasal 2 ayat (3) disebutkan
bahwa Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau lebih,
atau membayar upah
paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga
kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja,
sedangkan bagi pengusaha yang melanggarnya berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU
Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, diancam pidana kurungan selama-lamanya 6
(enam) bulan kurungan atau denda setinggi-tingginya sebesar Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ketentuan ini
sebenarnya cukup memberikan perlindungan kepada setiap tenaga kerja (baik
formal maupun informal) untuk dapat menerima manfaat dari Jamsostek, namun
kenyataannya pada tahun 2009[17], dari sekitar 33 juta pekerja formal hanya sebesar 26,63 juta pekerja
formal yang mengikuti program jamsostek sedangkan pekerja informal yang
berjumlah sekitar 67 juta (didalamnya terdapat pekerja rumahan baik berciri POS
maupun SE) hampir seluruhnya belum terlindungi dalam program Jamsostek.
Padahal Berdasarkan
pasal 3 ayat (2) UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial seluruh tenaga
kerja baik formal maupun informal berhak atas perlindungan Jamsostek
sebagaimana yang tercantum:
”Setiap tenaga kerja
berhak atas jaminan sosial tenaga kerja”.
|
Ketentuan di atas seharusnya memberikan harapan dan peluang kepada pekerja rumahan baik yang berciri POS maupun SE untuk menerima manfaat program Jamsostek, namun ketentuan di atas tidak dapat serta merta dilaksanakan karena berdasarkan pasal 4 ayat (2) UU No. 3 tahun 1992 menyebutkan:
Program jaminan sosial
tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan
kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.
|
Sedangkan aturan pelaksanaan dari pasal tersebut diatas baru diterbitkan 13
(tiga belas tahun) kemudian dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang
Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja.
Berdasarkan PP Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja diatur bahwa program Jamsostek bagi pekerja formal memberikan
kewajiban kepada pengusaha dan pekerja/ buruh untuk secara bersama menanggung
biaya premi dari program Jamsostek sebagaimana tabel berikut:
Iuran Premi
Program Jamsostek
(% dari upah take home pay sebulan)
PROGRAM
|
TARIF PREMI
|
TOTAL
|
|
Majikan/ pengusaha
|
Pekerja/ buruh
|
||
Program Jaminan Kecelakaan
Kerja
|
0,24 – 1,74
(5 golongan)
|
-
|
0,24 – 1,74
|
Program Jaminan
Kematian
|
0,3
|
-
|
0,3
|
Program Jaminan Hari
Tua
|
3,7
|
2
|
5,7
|
Program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan
|
3-6
|
-
|
3-6
|
Total
|
7,24 – 11,74
|
2
|
9,24 – 13,74
|
Program Jamsostek bagi pekerja formal di atas hanya memberikan kewajiban
kepada pekerja/ buruh untuk membayar iuran sebesar 2% dari upah yang diterima
selama sebulan untuk memperoleh 4 (empat) jaminan yang disediakan oleh
Jamsostek secara penuh, standar yang biasa dipergunakan untuk upah adalah upah
minimum regional maupun sektoral yang diberlakukan pada masing-masing
kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Selama ini pekerja/ buruh sama sekali tidak keberatan dengan tarif sebesar
2% dari upah per bulan untuk menjadi peserta program Jamsostek secara full paket, permasalahan yang seringkali
terjadi adalah ketidakpatuhan dari para pengusaha/majikan untuk
mengikutsertakan pekerja/ buruhnya didalam program Jamsostek, dikarenakan
iuran/premi yang harus ditanggung oleh pihak pengusaha dianggap sebagai
tambahan biaya produksi yang seharusnya tidak dibayarkan oleh pihak pengusaha.
Kasus yang seringkali terjadi adalah pengusaha seringkali memanipulasi jumlah
buruh yang sebenarnya harus dibayarkan ke program Jamsostek menjadi lebih
sedikit dari jumlah yang sebenarnya atau dengan jalan mengecilkan jumlah upah
yang sebenarnya diterima oleh buruh sehingga pengusaha dapat mengurangi jumlah
premi yang harus dibayarkan atau dengan jalan tidak mengikutsertakan pekerja/
buruhnya secara full paket didalam
program Jamsostek.
Pekerja/ buruh selama ini mengeluh dengan kualitas pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh penyelenggara layanan kesehatan yang bekerjasama dengan PT.
Jamsostek karena pembayaran klaim dibuat berdasarkan sistem anggaran kapitasi
dan paket benefit yang konsisten, diberikan melalui sebuah kelompok organisasi
pemeliharan kesehatan (Health Maintenance
Organization atau HMO) yang dirancang untuk memberikan pelayanan kesehatan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Serta birokrasi yang masih
berbelit-belit dan masih kecilnya nilai manfaat yang diterima oleh pekerja/
buruh dalam hal jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan hari
tua.
Program Jamsostek juga masih menyisakan tata kelola perusahaan BUMN PT.
Jamsostek yang masih buruk, ditandai dengan tidak transparannya pengelolaan
dana investasi perusahaan yang nota bene berasal dari keringat buruh dan tidak
adanya laporan perusahaan yang akuntabel yang dapat diperoleh secara terbuka
oleh publik.[18]
Program Jamsostek juga belum menyediakan program pensiun bagi pekerja/
buruh yang telah memasuki usia pensiun sehingga program ini sebenarnya belum
dapat dikatakan memenuhi standar program jaminan sosial nasional.
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek) Sektor Informal
Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan
Kerja pada tanggal 1 Juni 2006, sebenarnya terdapat peluang
bagi pekerja rumahan baik yang berciri POS maupun SE yang termasuk didalam
bagian sektor informal untuk dapat memperoleh manfaat jaminan sosial yang
disediakan oleh PT. Jamsostek, namun kenyataannya pada tahun 2009, dari sekitar
67 juta pekerja sektor informal, hanya sekitar 200.000 ribu pekerja saja[19] yang mengikuti program Jamsostek sektor informal ini atau hanya sekitar
0,29% saja dari keseluruhan jumlah pekerja informal.
Rendahnya tingkat keikutsertaan pekerja informal kepada program Jamsostek
sektor informal dikarenakan beban pembayaran iuran untuk mengikuti program ini
secara keseluruhan dibebankan kepada pihak pekerja saja dan tanpa sharing dengan pihak majikan informal
dan/atau subsidi pembayaran iuran dari pihak pemerintah, sedangkan tarif premi
asuransi program ini masih menggunakan tolok ukur upah minimum regional (UMR)
dari masing-masing kabupaten/kota dimana pekerja informal berada. Tentu saja
hal ini sangat memberatkan pekerja informal untuk mengikuti program ini
dikarenakan tidak hanya pekerja rumahan harus menanggung keseluruhan beban
biaya pembayaran premi asuransi dari program ini, juga dikeranakan tingkat upah
dari pekerja rumahan/pekerja informal rata-rata nasional masih sekitar 20 – 70%
dari UMR yang berlaku saat ini.
Sedangkan tarif premi dari program Jamsostek sektor informal ini masih sama
mengacu kepada program Jamsostek sektor formal, sebagaimana tersaji dalam tabel
berikut:
Iuran Premi
Program Jamsostek (% dari UMR yang berlaku)
PROGRAM
|
TARIF PREMI
(Ditanggung Pekerja)
|
Keterangan
|
Program Jaminan
Kecelakaan Kerja
|
1
|
|
Program Jaminan
Kematian
|
0,3
|
|
Program Jaminan Hari
Tua
|
2
|
|
Program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan
|
3 – 6
|
3% untuk pekerja
lajang dan 6% bagi yang sudah berkeluarga
|
Total
|
6,3 – 9,3
|
Semakin jelas terlihat mengapa tingkat keikutsertaan pekerja rumahan/
informal untuk mengikuti program ini sangat rendah selain karena terdapat
kesenjangan beban yang harus ditanggung dalam program ini, dimana pekerja
formal yang tingkat kesejahteraannya jauh lebih baik (upah sesuai dengan UMR
dan mendapatkan hak-hak normatif lainnya) hanya diberi beban sebesar 2% dari
upah sebulan yang diterima oleh pekerja formal dan sisanya ditanggung oleh
pengusaha/majikan, sedangkan untuk pekerja sektor informal dimana tingkat
kesejahteraannya jauh dibawah pekerja formal (upah berkisar 20 – 70% UMR dan
tidak memperoleh hak-hak normatif lainnya) harus menanggung keseluruhan beban
pembayarannya premi asuransi program ini berkisar antara 6,3 – 9,3% dari tarif
UMR yang berlaku (bukan berdasarkan pendapatan riil dari pekerja rumahan/
informal).
Program Jamsostek sektor informal juga belum menyediakan program pensiun
bagi pekerja/ buruh yang telah memasuki usia pensiun sehingga program ini
sebenarnya belum dapat dikatakan memenuhi standar program jaminan sosial
nasional.
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
Awalnya program kesehatan untuk masyarakat miskin bermula di era tahun
1970-an ketika Pemerintah mencanangkan program dana sehat di tingkat desa, dana
ini merupakan pengganti alokasi dana APBN di sektor kesehatan yang cenderung berkurang
setelah penghasilan pemerintah dari sektor minyak dan gas berkurang. Tujuan
program ini adalah masyarakat lokal dapat membiayai pelayanan kesehatan mereka
sendiri dan menjadi mandiri dalam membiayai pelayanan kesehatan pokok mereka.[20]
Namun, dalam prakteknya penduduk Indonesia peserta dana kesehatan
masyarakat jumlahnya sangat kecil. Diperkirakan pada tahun 1998, hanya 1,87%
dari penduduk Indonesia menjadi peserta program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM)[21]. Sejak terjadi krisis moneter di era tahun 1997/1998 Pemerintah
meluncurkan program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang berjalan sampai dengan
tahun 2001, kemudian pada tahun 2001 diganti menjadi Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE), serta tahun 2002 – 2004 diganti lagi menjadi program Kompensasi Kompensasi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM). Program ini secara khusus
memberikan subsidi dalam bentuk bantuan sosial kepada masyarakat miskin untuk
memperoleh hak atas layanan kesehatan dasar yang diberikan melalui Puskesmas
dan rumah sakit beserta jaringannya.
Pada tahun 2005 berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 56 Tahun 2005 diluncurkan Program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM) dan setahun kemudian
berdasarkan Kepmenkes Nomor 332 Tahun 2006 berubah menjadi program Jaminan
Pemeliharaam Kesehatan Masyarakat Miskin yang disingkat Askeskin. Dan tahun
2008 berdasarkan Kepmenkes Nomor 125 Tahun 2008 dirubah lagi menjadi Program
Jaminan Kesehatan Masyarakat yang berlaku sampai dengan tahun 2009.
Secara umum program Jamkesmas masih merupakan
program bantuan sosial kepada masyarakat miskin untuk memperoleh hak atas
layanan kesehatan dasar yang diberikan melalui Puskesmas dan srumah sakit
beserta jaringannya. Untuk tahun 2008 diperuntukkan bagi 76,4 juta masyarakat
miskin hasil survey dari Badan Pusat Statistik (BPS). Saat ini program
Jamkesmas dikelola langsung antara pemerintah pusat sebagai penyandang dana
dengan pihak Puskesmas dan rumah sakit pemerintah dan atau yang melakukan
kerjasama dengan pemerintah selaku penyedia pelayanan kesehatan, berbeda degan
tahun 2006 pada saat pengelolaan keuangan program Askeskin diserahkan kepada
PT. Askes.
Setiap warga miskin yang menjadi peserta
Jamkesmas mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan dasar meliputi pelayanan
kesehatan rawat jalan (RJ) dan rawat
inap (RI), serta pelayanan kesehatan rujukan rawat jalan tingkat lanjutan
(RJTL), rawat inap tingkat lanjutan (RITL) dan pelayanan gawat darurat.
Program ini sebenarnya cukup baik untuk
memberikan perlindungan kepada warga yang benar-benar tidak mampu untuk
mengakses pelayanan kesehatan yang cenderung mahal, dan secara teoritis dapat
diakses oleh buruh rumahan yang sebagian besar masuk kategori miskin, namun
terdapat beberapa kelemahan dari program ini, yaitu:
Pertama; pendataan masyarakat miskin yang dilakukan oleh
BPS dengan melakukan rekruiting tenaga pencacah dari aparat Pemerintahan
Desa/Kelurahan setempat dengan menggunakan kriteria kemiskinan dari BPS (daftar
pertanyaan yang disediakan) sebagai berikut:
1. Jumlah keluarga
2. Luas lantai tempat tinggal
3. Jenis lantai bangunan
4. Jenis dinding bangunan
5. Fasilitas tempat BAB
6. Sumber air minum
7. Sumber penerangan utama
8. Jenis bahan bakar untuk memasak
9. Berapa kali dalam seminggu membeli
daging/ayam/susu
10. Berapa kali makan dalam sehari
11. Berapa stel membeli pakaian dalam setahun
12. Jika sakit apakah mampu berobat ke
puskesmas/klinik
13. Pekerjaan utama kepala rumah tangga
14. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga
15. Apakah memiliki barang berharga
16. Adakah balita (0-4) tahun
17. Adakah anak usia 7-18 tahun
18. Adakah wanita umur 10-49 tahun
Akibat kurangnya pelatihan yang diberikan kepada
aparat Pemerintahan Desa/Kelurahan (hanya berkisar 3 hari pelatihan) maka yang
terjadi adalah Aparat Pemerintahan Desa/Kelurahan tidak melakukan pendataan dan
pencacahan secara langsung dengan melakukan interview dengan responden, melainkan langsung memutuskan
siapa yang berhak untuk memperoleh kartu Jamkesmas berdasarkan hubungan
kedekatan secara pribadi dan sosial saja. Sehingga banyak warga (didalamnya
termasuk pekerja rumahan) yang seharusnya masuk dalam kriteria miskin tidak
terdaftar dalam program Jamkesmas.
Kedua; Pendataan warga miskin dilakukan dengan berbasis
kepada data kependudukan dari masing-masing kabupaten/kota yang bersangkutan,
sehingga tidak mempertimbangkan penduduk urban di masing-masing kota termasuk
kota metropolitan, sehingga masyarakat urban (buruh, pemulung, pengemis,
gelandangan, dll) tidak masuk dalam program ini, walaupun secara empiris bisa
jadi merekalah yang paling membutuhkan program ini.
Ketiga; Bagi warga miskin yang tidak terdata sebagai
peserta Jamkesmas, program ini memberikan kewajiban kepada pemerintah daerah
(kabupaten/kota dan provinsi) untuk menanggung keseluruhan pembiayaan bagi
mereka dengan menganggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
masing-masing. Ketentuan ini menyebabkan tidak semua Pemerintah Daerah bersedia
untuk mengalokasikan anggaran untuk menanggung warga miskin yang tidak terdata
oleh BPS.
Keempat; Tidak ada kewajiban kepada setiap penyedia
pelayanan kesehatan (Puskemas dan Rumah Sakit) untuk melayani setiap peserta
Jamkesmas, hanya terdapat kewajiban bahwa penyedia pelayanan kesehatan harus
melayani peserta Jamkesmas dalam standar pelayanan Kelas III (paling rendah),
sehingga banyak penyedia pelayanan kesehatan yang menolak pasien Jamkesmas
dengan alasan tidak tersedia ruang pelayanan Kelas III, dikarenakan pihak penyedia
pelayanan kesehatan melakukan strategi dengan mengurangi jumlah ruang pelayanan
Kelas III dan memperbanyak kelas yang lebih tinggi untuk mendapatkan profit
yang lebih besar.
Kelima; Masih terdapat biaya kesehatan yang ditanggung
oleh pasien peserta Jamkesmas, dikarenakan kurangnya informasi atas jenis
obat-obatan dan alat kesehatan yang seharusnya dapat diperoleh oleh peserta
Jamkesmas, hal ini disebabkan karena banyak tenaga medis (Dokter) yang enggan
untuk meresepkan obat-obatan yang masuk dalam daftar program Jamkesmas
dikarenakan tidak tersedianya fee sebagaimana jika dokter meresepkan
obat-obatan dan alat kesehatan branded.
SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL, SEBUAH
PERUBAHAN MENUJU NEGARA KESEJAHTERAAN
|
Sejak diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk pertamakalinya Indonesia
mempunyai produk kebijakan jaminan sosial yang berlaku untuk seluruh warga
negara, tidak seperti program yang selama ini ada yang bersifat parsial berlaku
sebagian saja (untuk PNS, TNI dan Polri, sebagian pekerja formal dan sebagian
wiraswastawan). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 yang berbunyi:
“Sistem
Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas
manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
|
Menurut Pemerintah SJSN sudah menganut sistem
“tiga pilar” yang disarankan oleh Bank Dunia dan ILO[23] sebagai sistem modern yang banyak dianut oleh
negara-negara maju, adapun tiga pilar tersebut adalah:
Pilar Pertama, menggunakan mekanisme bantuan sosial (social assistance) kepada penduduk yang
kurang mampu, baik dalam bentuk bantuan uang tunai maupun pelayanan tertentu
untuk memenuhi kebutuhan dasar layak. Pembiayaan bantuan sosial dapat
bersumber dari angaran negara atau dari
masyarakat. Mekanisme bantuan sosial biasanya diberikan kepada penyandang
masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yaitu masyarakat yang benar-benar
membutuhkan, seperti penduduk miskin, sakit, lanjut usia atau ketika terpaksa
menganggur.
Pilar Kedua, menggunakan mekanisme asuransi sosial atau
tabungan sosial yang bersifat wajib atau compulsory
insurance, yang dibiayai dari kontribusi atau iuran yang dibayarkan oleh
peserta. Dengan kewajiban menjadi peserta, sistem ini dapat terselenggara
secara luas bagi seluruh rakyat dan terjamin kesinambungannya dan profesionalisme
penyelenggaraannya.
Mekanisme asuransi sosial merupakan tulang
punggung pendanaan jaminan sosial di hampir semua negara. Mekanisme ini
merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal penduduk dengan
mengikut-sertakan mereka secara aktif melalui pembayaran iuran.
Di berbagai negara yang telah menerapkan sistem
jaminan sosial dengan baik, perluasan cakupan peserta dilakukan secara bertahap
sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintah serta kesiapan
penyelenggaranya. Tahapan biasanya dimulai dari tenaga kerja di sektor formal,
selanjuatnya diperluas kepada tenaga kerja di sektor informal, untuk kemudian
mencapai tahapan cakupan seluruh penduduk.
Pilar ketiga, menggunakan mekanisme asuransi sukarela (voluntary insurance) atau mekanisme
tabungan sukarela yang iurannya atau preminya dibayar oleh peserta sesuai
dengan tingkat resiko dan manfaat yang diinginkan. Pilar ketiga ini adalah
jenis asuransi yang sifatnya komersial, dan sebagai tambahan setelah peserta
yang bersangkutan menjadi peserta asuransi sosial.
UU SJSN juga membawa
angin segar dikarenakan memberikan jaminan akan terpenuhinya kebutuhan dasar
hidup yang layak tidak hanya bagi peserta SJSN melainkan juga bagi anggota
keluarganya sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 3 yang berbunyi:
“Sistem
Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota
keluarganya”.
|
Sedangkan didalam
penjelasan umum UU SJSN ini disebutkan bahwa jaminan sosial ini diberikan
kepada seluruh rakyat Indonesia yang karena sesuatu hal telah mengakibatkan
hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita sakit, mengalami
kecelakaan, kehilangan pekerjaan,
memasuki usia lanjut, atau pensiun. Ketentuan ini merupakan lompatan yang luar
biasa karena pada saat yang sama ribuan buruh di berbagai wilayah sedang
memperjuangkan tuntutan disahkannya atau dilakukan revisi penetapan upah
minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak mengingat berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Permenakertrans) No. PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan
Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, penentuan upah minimum
berdasarkan KHL tidak diberlakukan secara seketika melainkan secara bertahap
sesuai dengan pentahapan yang akan diputuskan oleh Gubernur.
Dalam Permenakertrans
yang dimaksud dengan standar kebutuhan hidup layak disebutkan yang dijadikan
sebagai acuan penentuan upah minimum adalah:
Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang
pekerja/ buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik
dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan, meliputi 7 (tujuh) komponen,
yaitu:
a. Makanan
dan minuman;
b. Sandang;
c. Perumahan;
d. Pendidikan;
e. Kesehatan;
f. Transportasi;
dan
g.
Rekreasi dan Tabungan.
|
Dari definisi
Kebutuhan Hidup Layak tersebut dapat dilihat bahwa ketentuan yang diatur dalam
UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN kualitasnya jauh di atas Permenakertrans, hal
ini dapat dilihat paling tidak dari aspek penentuan upah minimum, berdasarkan
Permenakertrans didasarkan hanya
pada kebutuhan hidup layak dari seorang
buruh lajang, sedangkan UU SJSN sudah memberikan jaminan terpenuhinya
kebutuhan hidup layak untuk peserta
program ini beserta anggota keluarganya, artinya adalah tingkat
upah/kesejahteraan dari seorang buruh yang aktif bekerja nilainya masih jauh
lebih rendah jika buruh tersebut memperoleh klaim yang dia terima melalui
program SJSN jika yang bersangkutan mengalami hal-hal seperti sakit, di-PHK,
dll yang diatur oleh UU SJSN, atau dengan kata lain seorang buruh yang
mengikuti program SJSN ini jauh lebih sejahtera jika dalam kondisi sakit atau
ter-PHK, karena kebutuhan hidup secara layak dirinya beserta anggota
keluarganya ditanggung sepenuhnya oleh Negara melalui program SJSN.
UU SJSN ini seharusnya
juga mengakhiri dikotomi apakah pekerja rumahan masuk dalam kategori formal
ataukah informal, mengingat UU SJSN ini berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia
dan kepesertaannya tidak dibatasi dengan golongan tertentu, seperti dapat
dilihat dalam Pasal 1 angka 8 yang berbunyi:
“Peserta adalah
setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan
di Indonesia, yang telah membayar iuran”.
|
Jadi syarat menjadi
peserta SJSN ini adalah hanya membayar iuran kepada Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial yang kemudian Badan ini wajib memberikan nomor identitas tunggal kepada
setiap peserta dan anggota keluarganya. Dalam kasus pekerja rumahan yang
upahnya sangat jauh di bawah upah minimum, apakah mampu membayar iuran yang
nanti ditetapkan, Pasal 13 dan 14 UU SJSN memberikan kepastian bahwa setiap
orang dapat menjadi peserta program jaminan sosial ini, yaitu:
1.
Bagi seseorang yang bekerja, maka pemberi
kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial dan wajib membayar iuran dari pekerjanya berdasarkan persentase
yang ditentukan antara persentase yang wajib dibayar oleh pemberi kerja dan
persentase yang wajib dibayar oleh
pekerjanya. Hal ini bisa dilakukan oleh buruh rumahan POS, seberapa kecil
upahnya nanti akan dipotong untuk membayar iuran SJSN ini, dan jika ternyata
tidak mencukupi, maka
2.
Pemerintah memberikan bantuan iuran kepada
fakir miskin dan orang tidak mampu, sehingga semua rakyat pada akhirnya akan
menjadi peserta dari program SJSN ini. Hal ini juga membuka peluang bagi
pekerja rumahan mandiri karena dapat membayar iuran semampunya dan
kekurangannya akan ditanggung oleh Pemerintah.
Penjelasan UU SJSN, Sistim Jaminan Sosial ini dilaksanakan dengan Azas
“Kemanusiaan, Manfaat, dan Keadilan” dengan tujuan untuk melaksanakan amanat
UUD’45 (Ps 28H dan Ps 34). Prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional,
sudah tentu tidak dapat terlepas dari prinsip-prinsip universal yaitu;
1.
Prinsip kegotong-royongan atau solidaritas diantara
peserta sistem jaminan sosial. Prinsip ini, diwujudkan dengan besaran iuran
yang ditetapkan berdasar prosentase upah/ penghasilan, sehingga dalam
penyelenggaraan Jaminan Kesehatan (JK), terjadi kegotong-royongan antara yang
sehat/ sakit, antara yang tua/ muda serta antara yang berisiko sakit tinggi dan
rendah dan antara yang kaya dan miskin.
2.
Nirlaba, yang berarti, bahwa penyelenggaraan sistem
jaminan sosial tidak dimaksudkan untuk mencari untung dan harus melaksanakan
optimal bagi kepentingan peserta. Perlu didukung dengan memperoleh fasilitas
bebas dari pajak untuk memperkecil pembebanan keikutsertaan.
3.
Kepesertaan besifat wajib, sesuai dengan kelayakan dan
pentahapan perluasan kepesertaan dan jenis jaminan sosial. Meskipun bersifat
wajib, tidak berarti merupakan suatu paksaan, penerapan dilakukan berdasar
kemampuan tetapi merupakan kebutuhan untuk ikut serta dalam Sistem jaminan
Sosial Nasional hingga tercapai mencakup seluruh rakyat.
4.
Dana amanat, berarti dana yang berasal dari iuran peserta
merupakan milik peserta yang peruntukannya telah ditentukan, yaitu untuk
memperoleh jaminan sosial sesuai dengan program yang diikutinya dan digunakan
secara optimal bagi peserta
5.
Kehati-hatian, dalam pengelolaan sistem jaminan sosial,
pengelolaan dana terkumpul dilakukan secara cermat dan teliti serta tertib
dalam penggunaannya
6.
Transparansi, dana yang yang diperoleh dalam sistim
jaminan sosial merupakan dana yang dikumpulkan bersama dan milik peserta, sudah
selayaknya sistim laporan harus benar, jelas, lengkap dan akses informasi harus
terbuka dan mudah.
7.
Akuntabilitas dalam pengelolaan sistem jaminan sosial,
pengelolaan dana dilakukan secara cermat dan teliti sehingga terjamin keamanan,
solvabilitas dan likuiditas pengelolaan dana jaminan sosial serta dapat
dipertanggungjawabkan.
8.
Portabilitas, bahwa peserta jaminan sosial diberikan
jaminan berkelanjutan artinya sistem jaminan sosial tidak terhenti, disebabkan
oleh perpindahan tempat kerja, sehingga kelangsungan kepesertaan pada
prinsipnya menjadi seumur hidup, sesuai dengan ketentuan program yang diikutinya.
9.
Hasil Olah Dana. Sistim jaminan sosial yang dilaksanakan
melalui sistim iuran sebagaimana saham dalam perusahaan, oleh karenanya apapun
perolehan keuntungan dari hasil olah dana jaminan sosial harus dikembalikan
kepada peserta jaminan sosial.
Dengan prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan diatas, peserta sistem
jaminan sosial nantinya dapat menikmati seluruh hasil pengembangan dana, oleh
karena hasil pengembangan dana itu akan dikembalikan untuk manfaat peserta.
Demikian juga kemananan dana juga lebih terjamin, oleh karena prinsip pengelolaan
yang penuh dengan keberhati-hatian dan tranparasi serta pengawasan yang ketat.
Program
SJSN ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk terpenuhi kebutuhan dasar di
bidang kesehatan, jaminan kecelakaan, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan
jaminan kematian. UU SJSN ini memberikan kesetaraan dan jaminan sosial yang
sama dengan yang diperoleh oleh Pegawai Negeri Sipil bagi seluruh rakyat
Indonesia. UU SJSN menyatakan bahwa pada tahap pertama Pemerintah akan memberikan
bantuan iuran untuk jaminan kesehatan dan bagi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial wajib untuk menyesuaikan dengan UU SJSN ini paling lambat 5 (lima) tahun
ke depan.
Namun sampai dengan saat ini UU SJSN sama sekali belum ada tanda-tanda
untuk dilaksanakan, padahal batas waktu yang diamanatkan oleh UU ini adalah
sampai dengan tanggal 19 Oktober 2009, Pemerintah masih sebatas membentuk Dewan
Jaminan Sosial Nasional yang bertugas untuk mensikronisasi berbagai macam
ketentuan perundang-undangan tentang jaminan sosial yang sekarang ini ada untuk
dilebur kedalam ketentuan dalam SJSN termasuk keharusan melebur beberapa
perusahaan BUMN yang mengurusi jaminan sosial saat kedalam holding company tunggal sesuai dengan amanat UU SJSN.
Adapun jaminan sosial yang diselenggarakan oleh UU SJSN seharusnya
memberikan manfaat kepada peserta, secara terperinci adalah sebagai berikut:
1.
Jaminan Kesehatan (JK)
merupakan program dengan tujuan memberikan jaminan kesehata dan diberikan
sesuai dengan kebutuhan medik bagi peserta dan anggota keluarga. Aturan rinci
harus dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintan atau Permenkes sesuai dengan
makna UU SJSN. Penyelenggaraannya dapat dilakukan melalui mekanisme asuransi
sosial. Bagi pekerja, iuran ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
2.
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK),
merupakan program dengan tujuan memberikan kepada peserta (pekerja) yang
memperoleh kecelakaan kerja, yaitu kecelakaan sejak berangkat kerumah, ditempat
kerja hingga tiba di rumah, maupun berbagai penyakit yang berhubungan dengan
pekerjaan berupa jaminan kesehatan pemulihan kesehatan dan santunan uang. Iuran
peserta ditanggung oleh pemberi kerja. JKK diselengarakan berdasar mekanisme
asuransi sosial.
3.
Jaminan Hari Tua (JHT),
merupakan program yang ditujukan untuk memberikan bekal kepada peserta yaitu
jaminan yang diberikan beberapa tahun sebelum pensiun. Jaminan ini, pada
dasarnya jaminan untuk persiapan pensiun, merupakan tabungan peserta. Iuran
menjadi beban pekerja dan pemberi kerja.
4.
Jaminan Pensiun (JP), merupakan
program yang disiapkan berdasarkan sistim asuransi untuk menjamin kebutuhan
hidup layak ketika menjalani pensiun dan diberikan kepada pekerja, janda / duda
dan anak sesuai dengan ketentuan ini yang telah memasuki masa pension. Jaminan
Pensiun diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial dan tabungan. Premi
menjadi beban pekerja dan pemberi kerja.
5.
Jaminan Kematian (JK), program
ini disiapkan kepada peserta yang meninggal dunia secara alamiyah.
Diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial, diberikan kepada peserta
yang meninggal bukan oleh kecelakaan kerja. Iuran ditanggung bersama oleh
pekerja dan pemberi kerja.[24]
UU SJSN ini merupakan kebijakan yang sangat
ditunggu oleh pekerja rumahan, karena memberikan harapan akan terpenuhinya hak
atas jaminan sosial dan terpenuhinya hak dasar untuk mempunyai kehidupan layak,
namun mengingat sampai dengan sekarang UU SJSN ini masih belum dapat
diimplementasikan, tentu harus dilihat perkembangan ke depan apakah terdapat
keseriusan dari pihak Pemerintah untuk mengimplementasikan UU SJSN ini ataukah
hanya menjadi jargon dan janji semata.
[8]
F.X Djumialdji, S.H., Perjanjian Kerja; (2001:18-20);
lihat juga DR. H. Koko Kosidin, S.H.MH., Perjanjian Kerja, Perjanjian
Perburuhan, dan Peraturan Perusahaan
[10]
Yaumil Ch. Agoes Achir; Jaminan Sosial Nasional Indonesia:
dalam Jurnal Ekonomi Rakyat; Artikel - Th. I - No. 7 - September 2002]
[11]
International labour Organization; Social Security and
Coverage for All: Restructuring the Social Security Scheme In Indonesia –
Issues and Option, Jakarta; 2003, lihat juga Yoga
prakarsa; opcit
[12]
Hotbonar Sinaga, Rakyat Sangat Butuh
Jaminan Sosial, http://www.jamsostek.co.id/info/berita;2009, lihat juga:Alex Arifianto; Reformasi Sistem Jaminan
Sosial di Indonesia: Sebuah Analisis Atas Rancangan Undang-Undang Jaminan
Sosial Nasional (RUU Jamsosnas); Lembaga Penelitian Smeru; 2004
[13]
Pembayaran klaim
dengan sistem kapitasi adalah sebuah sistempembayaran pelayanan kesehatan di
mana pemberi jasa kesehatan menerima pembayaran berjumlah tetap secara rutin
untuk setiap pasien yang dilayani oleh mereka, tanpa mempedulikan pelayanan apa
saja yang sebenarnya diberikan kepada pasien tersebut , dikutip dari Rosen
Harvey; Public Finance, Edisi ke Lima, New York: Mc Graw Hill Inc., 1999, 209.
[14]
Organisasi Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance Organization (HMO))
adalah sebuah pemberi
jasa kesehatan yang menawarkan
pelayanan kesehatan komprehensif yang dapat diberikan oleh beberapa pelayan
jasa kesehatan (dokter, bidan, dll) yang menandatangani kontrak kerja dengan
organisasi tersebut, mereka umumnya menerima pembayaran dengan memakai sistem
pembayaran kapitasi (Rosen, opcit 533).
Karakteristik dari organisasi ini antara lain: keanggotaan peserta bersifat
sukarela, pelayanan kesehatan yang komprehensif, memakai sistem community rating, dan sistem pelayanan
tertutup (ILO, opcit 203).
[22]
Formulir pendataan yang dikeluarkan oleh BPS dalam
menentukan kriteria kemiskinan warga negara Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar