Jaminan Sosial Bagi Pekerja Rumahan

Kajian Yuridis Normatif Terhadap Ketentuan Perundang-Undangan Indonesia


PENDAHULUAN

Sistem jaminan sosial di Indonesia mengalami perubahan yang cukup besar dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sistem yang baru ini bertujuan untuk agar sistem yang sekarang ini sudah ada dapat lebih efektif dalam melayani para penerima manfaat jaminan sosial, juga memperluas cakupan manfaat jaminan sosial kepada seluruh pekerja di Indonesia, baik pekerja di sektor formal maupun informal serta kalangan wiraswastawan. Program jaminan sosial yang sekarang ada dianggap kurang berhasil dalam tujuannya untuk memberikan manfaat yang cukup baik bagi para penerima manfaat, karena jumlah penerima manfaat, nilai manfaat, dan hasil investasi dana jaminan sosial dianggap masih relatif kecil, dan tata kelola dana jaminan sosial juga dianggap masih kurang baik.

Selama ini program jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah Indonesia baru menjangkau sebagian kecil kelompok masyarakat (pegawai negeri dan sebagian pegawai sektor formal) dengan manfaat yang sangat terbatas dan diselenggarakan oleh 4 (empat) badan penyelenggara berbeda yaitu PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT ASABRI dan PT TASPEN, dimana masing-masing penyelenggara jaminan sosial tersebut mendasarkan kepada landasan hukum dan regulasi yang berbeda-beda. Selain itu untuk masyarakat yang masuk kategori miskin, pemerintah juga memberikan jaminan kesehatan dalam bentuk asuransi kesehatan masyarakat miskin (askeskin) yang preminya dibayarkan secara penuh oleh pemerintah.

Sedangkan untuk pekerja sektor informal secara umum belum dapat menikmati jaminan sosial dalam bentuk apapun, walaupun sejak dikeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja, terdapat peluang bagi pekerja sektor informal untuk dapat menikmati jaminan sosial.

Di sisi lain angkatan kerja Indonesia dalam berbagai lapangan pekerjaan masih didominasi oleh pekerja sektor informal, sebagaimana data yang tersaji dalam tabel berikut:

Pekerja Sektor Formal dan Informal
PEKERJA
1998
2002
2007
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Formal
30.331.046
34,60
27.836.019
30,37
37.839.250
37,87
Informal
57.341.403
65,40
63.811.147
69,63
62.090.967
62.13
Jumlah
87.672.449
100,00
91.647.166
100,00
99.930.217
100,00
·         Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 1998, 2002 dan 2007; Badan Pusat Statistik (BPS)

Sudah banyak studi empiris mengenai pentingnya sektor informal sebagai sumber alternatif kesempatan kerja, bahkan sering dijuluki sebagai the last resort bagi banyak orang di Indonesia. Artinya, harapan atau pilihan terakhir bagi penduduk miskin atau pengangguran untuk mendapat penghasilan, walaupun sering kali penghasilan atau upahnya pas-pasan hanya untuk sekedar bertahan hidup. Dari jumlah pekerja informal tersebut diperkirakan setengahnya adalah pekerja rumahan yang bekerja kepada majikan/ pengusaha dengan standar upah jauh dibawah ketentuan Upah Minimum yang berlaku serta ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja maupun jaminan sosial.

Sedangkan ditinjau dari struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebanyak 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha[1].

Melihat kenyataan tersebut tentu menarik untuk melakukan kajian dan analisa dari aspek yuridis normatif ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, apakah Negara Indonesia sudah memberikan jaminan bagi terpenuhinya hak atas jaminan sosial bagi pekerja rumahan, jika sudah, seberapa jauh produk kebijakan yang ada tersebut dapat memberikan jaminan dipenuhinya hak atas jaminan sosial bagi pekerja rumahan.

PENGERTIAN JAMINAN SOSIAL

Jaminan sosial secara filosofis mencakup tidak hanya bagi buruh baik formal maupun infomal melainkan dilaksanakan dan memberi manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu pengertian  jaminan  sosial mencakup aspek hukum,  aspek politik dan aspek ekonomi.

Aspek hukum jaminan sosial berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk melaksanakan amanat Pasal 5 (2), Pasal 20, Pasal 28H (1), (2), (3), dan Pasal 34 (1) dan (2) UUD 1945; yaitu  sistem perlindungan dasar bagi masyarakat  terhadap  risiko-risiko  sosial ekonomi.

Aspek  politik  jaminan  sosial  adalah  upaya  pembentukan  negara  kesejahteraan (welfare state) yang merupakan keinginan politik dari pemerintah.

Aspek ekonomi jaminan sosial terkait dengan redistribusi pendapatan melalui mekanisme kepesertaan wajib dan  implementasi uji kebutuhan untuk keadilan. sistem  jaminan sosial diperlukan untuk ketahanan negara dan sekaligus peningkatan daya beli masyarakat agar terwujud keamanan ekonomi dalam  jangka panjang.

Sedangkan menurut ILO (1998), Jaminan Sosial diartikan sebagai:
Perlindungan yang diberikan oleh masyarakat untuk masyarakat melalui seperangkat kebijaksanaan publik terhadap tekanan ekonomi sosial bahwa jika tidak diadakan sistem jaminan sosial akan menimbulkan hilangnya sebagian pendapatan sebagai akibat sakit, persalinan, kecelakaan kerja, sementara tidak bekerja, cacat, hari tua dan kematian dini, perawatan medis termasuk pemberian subsidi bagi anggota keluarga yang membutuhkan”.

Pengertian jaminan sosial menurut ILO tersebut masih bersifat universal sehingga dalam implementasinya harus disesuaikan dengan berbagai pendekatan yang berlaku di setiap negara.

Menurut Purwoko (1999)[2], Pengertian jaminan sosial sangat beragam. Dilihat dari pendekatan asuransi sosial, maka berarti jaminan sosial sebagai teknik atau metoda penanganan risiko hubungan industrial yang berbasis pada hukum bilangan besar (law of large numbers). Dari sisi bantuan sosial, maka jaminan sosial berarti sebagai dukungan pendapatan bagi komunitas kurang beruntung untuk keperluan konsumsi. Karena itu, maka jaminan sosial berarti sebagai:
a.      salah satu faktor ekonomi seperti konsumsi, tabungan dan subsidi atau konsesi untuk redistribusi pendapatan;
b.      instrumen negara untuk redistribusi risiko sosial-ekonomi melalui tes kebutuhan (means-test application), yaitu tes apa yang telah dimiliki peserta baik berupa rekening tabungan maupun kekayaan ril;
c.      program pengentasan kemiskinan yang ditindak-lanjuti dengan pemberdayaan komunitas; dan
d.      sistem perlindungan dasar untuk penanggulangan hilangnya sebagai pendapatan pekerja sebagai konsekuensi risiko hubungan industrial.

Wujud kesejahteraan rakyat dapat dilihat dari potret kesehatan masyarakatnya, dan secara sistemik dapat dijadikan tolok ukur bagaimana Pemerintah memperhatikan masalah sosial dan kesehatan dan bagaimana penerapan Sistem Jaminan Sosial dimasing-masing negara dalam mengaplikasikannya secara Nasional.

Penerapan Sistim Jaminan Sosial di negara barat maupun timur selalu menjadi tolok ukur keberhasilan Pemerintah dalam melindungi rakyatnya mencapai kesejahteraan khususnya dalam lingkup kesehatan. Percontohan yang dilakukan oleh Jerman pada tahun 1883, Otto Von Bismarck sebagai pimpinan negara telah berfikir bagi rakyatnya dengan merintis sistim jaminan sosial. Pola ini banyak diitiru oleh negara lain, dengan penyesuaian kondisi dimasing-masing negara seluruhnya mengacu agar rakyat dapat sejahtera. Kendatipun Jepang merupakan negara yang tertutup waktu itu, negara ini telah menerapkan Sistim Jaminan Sosial pada tahun 1922 dan kemungkinan merupakan negara pertama di Asia yang berkesadaran untuk membuat sistim dalam mensejahterakan rakyatnya. Amerika Serikat dibawah Presiden Rosevelt di tahun 1935, memberlakukan “Social Security Act”, berupaya mensejahterakan rakyat yang sedang mengalami depresi ekonomi.[3]

Di Indonesia kebijakan tentang jaminan sosial yang diberlakukan untuk seluruh warga negara masih relatif baru, hal ini ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang sampai dengan ditulisnya laporan hasil penelitian ini belum dapat dimplementasikan dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia.

Menurut TR Reid[4], koresponden senior The Washington Post dan kritikus kebijakan health care, ada empat model dasar dalam kebijakan pelayanan kesehatan, sebagai bagian dari sistem jaminan sosial nasional yang diberlakukan di seluruh dunia, yaitu:

Pertama, model Beveridge, dinamai dari ekonom Inggris, William Beveridge, penemu Sistem Kesehatan Nasional (National Health Service/NHS). Dalam sistem ini, setiap warga negara berhak menggunakan layanan kesehatan dan tidak akan pernah menerima tagihan karena pembiayaannya didanai oleh pajak. Negara, sebagai pembayar tunggal (sole payer), menentukan pelayanan kesehatan yang bisa diberikan dokter dan harga yang dapat mereka tagihkan. Fasilitas kesehatan dan tenaga medis dimiliki oleh negara. Pihak swasta dapat menagih pelayanan yang mereka berikan langsung kepada pemerintah. Inggris, Spanyol, dan Selandia Baru adalah contoh negara yang menggunakan sistem ini.

Kedua, model Bismarck, dinamai dari Kanselir Jerman pertama, Otto von Bismarck. Sistem ini menggunakan asuransi kesehatan yang didanai oleh penyedia kerja dan karyawan melalui pemotongan gaji. Asuransi ini wajib melindungi seluruh warga negara dan tidak diperbolehkan mengambil keuntungan. Fasilitas kesehatan dan tenaga medis boleh dimiliki oleh swasta dan jumlah penyedia asuransi pun tidak dibatasi. Sekalipun model ini tidak menggunakan sistem pembayar tunggal, regulasi yang ketat dapat memberikan kewenangan yang besar bagi negara layaknya dalam model Beveridge. Kompetisi terjadi, baik di antara lembaga asuransi nirlaba maupun penyedia layanan kesehatan, karena didorong oleh motivasi manajemen untuk mendapatkan kompensasi yang meningkat seiring dengan meluasnya cakupan asuransi dan layanan kesehatan yang diberikan. Model Bismarck di antaranya digunakan di Jerman, Perancis, Belanda, dan Jepang.

Ketiga, model Asuransi Kesehatan Nasional (National Health Insurance) yang merupakan gabungan dari model Beveridge dan Bismarck. Sistem ini menggunakan pihak swasta sebagai penyedia layanan kesehatan, dengan pembayaran klaim yang didanai dari program asuransi nasional. Program asuransi ini dikelola pemerintah dan setiap warga negara wajib membayar premi. Dengan tidak adanya kebutuhan pemasaran dan perolehan keuntungan, program asuransi universal seperti ini cenderung lebih murah dalam biaya dan lebih mudah dalam administrasinya. Asuransi nasional sebagai pembayar tunggal punya kekuatan pasar yang besar untuk menegosiasikan harga yang lebih rendah kepada pihak swasta selaku penyedia layanan kesehatan. Sistem ini dapat ditemui di Kanada, Taiwan, dan Korea Selatan.

Keempat, model biaya sendiri. Sebagian besar penduduk dunia tidak mendapatkan akses layanan kesehatan karena sebagian besar negara di dunia terlalu miskin dan tidak terkoordinasi untuk menyediakan layanan medis secara massal.

Secara tekstual jaminan sosial yang berlaku di Indonesia belum memberikan perlindungan kepada pekerja rumahan, namun tentu perlu dilakukan kajian dan analisa bagaimana hukum perburuhan Indonesia melihat dan memandang pekerja rumahan, apakah hukum perburuhan Indonesia sudah dapat memberikan perlindungan ataukah memang diperlukan aturan yang lebih spesifik untuk mengatur permasalahan pekerja rumahan .


PEKERJA RUMAHAN  DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERBURUHAN INDONESIA

Istilah hukum perburuhan dalam penelitian ini mengacu kepada pendapat Moleenar yang menyatakan bahwa hukum perburuhan adalah:
“Bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa”.

Sedangkan menurut Imam Soepomo istilah hukum perburuhan didefinisikan sebagai:
”himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah”.[5]

Dari sudut pandang ini akan dilakukan analisa apakah permasalahan pekerja rumahan sudah merupakan peristiwa hukum dimana pekerja rumahan telah mempunyai hubungan kerja dengan para majikan yang menjadi ruang lingkup dari hukum perburuhan Indonesia ataukah permasalahan pekerja rumahan adalah permasalahan dari hukum ketenakerjaan kita. Ini menjadi penting karena definisi perburuhan seperti pendapat Soepomo.berbeda dengan definisi ketenagakerjaan sebagaimana dapat dilihat didalam pasal 1 angka 1 Undang-undang (UU) No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut:
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja”.

Sedangkan pada pasal 1 angka 2 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan:
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.

Definisi mengenai pekerja rumahan belum tertulis secara tekstual di dalam hukum positif kita, oleh karena itu Penulis menggunakan definisi yang ada di dalam Konvensi International Labour Organization Nomor: 177 Tahun 1996 tentang Pekerja Rumahan, dimana dalam konvensi tersebut pekerja rumahan didefinisikan sebagai:
(a)   Terminologi “pekerjaan rumahan”, adalah pekerjaan yang dikerjakan oleh seseorang pekerja rumahan dengan:
(i)     dikerjakan di rumah atau di tempat lain diluar tempat kerja pemberi kerja/ majikan,
(ii)    secara pribadi atau terpisah,
(iii)   yang menghasilkan produk atau jasa yang secara khusus diminta oleh pemberi kerja, tidak memperoleh upah untuk penggunaan peralatan, bahan baku atau berbagai masukan yang dipergunakan,
kecuali bila memiliki otonomi dan independensi ekonomi yang memadai sehingga layak disebut sebagai pekerja independen dibawah hukum nasional, peraturan atau keputusan pengadilan. 
(b)   Seseorang dengan status pekerja tidak termasuk sebagai pekerja rumahan seperti pada Konvensi bila secara sengaja memilih bekerja di rumah ketimbang bekerja di tempat bekerjanya,
Terminologi “pemberi kerja/ majikan” adalah seseorang, secara alamiah atau hukum, baik secara langsung atau melalui perantara yang berbadan hukum, memberi kerja berupa pekerjaan rumah sebagai bagian dari aktivitas usahanya.


Karakteristik Pekerja Rumahan
Karakteristik yang khas dari pola pekerja rumahan di dalam melakukan pekerjaan dan dalam hubungannya dengan para pengusaha atau majikan yang memang berbeda dengan kondisi hubungan kerja antara buruh dengan majikan di pabrik dan industri lain yang menggunakan tempat usaha di wilayah yang menjadi milik pengusaha, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
(1)    Pekerja rumahan yang bekerja di dalam rumah dengan mengambil pekerjaan dari majikan, karakteristik yang muncul dalam pola ini adalah:
ü tidak ada perjanjian kerja secara tertulis dengan majikan/ pengusaha.
ü sifat pekerjaan tidak tetap tapi berubah-ubah sesuai dengan kondisi pasar dari majikan dan tingkat persaingan diantara para pekerja rumahan sendiri. Siklus waktu satu pengambilan pekerjaan dari majikan sampai dengan dengan selesainya pekerjaan tersebut sangat pendek antara 1 hari sampai dengan 1 minggu, tetapi terus berulang sehingga menjadi pekerjaan yang rutin dan berlangsung terus menerus.
ü menerima upah berdasarkan borongan atau diupah berdasarkan volume pekerjaan atau satuan hasil kerja.
ü pengusaha yang secara absolut menentukan besarnya upah per satuan hasil kerja dan pekerja rumahan tidak mempunyai nilaitawar sama sekali dalam penentuan besarnya upah.
ü majikan menentukan kriteria dan standar mutu dari hasil pekerjaan dan menentukan apakah hasil pekerjaan dari pekerja rumahan dapat diterima oleh pengusaha atau tidak. Jika hasil pekerjaan diterima oleh majikan maka pekerja rumahan akan menerima upahnya dan jika hasil pekerjaan tidak diterima oleh majikan maka buruh tidak menerima upahnya dan hasil pekerjaan yang rusak tersebut menjadi tanggungan dari pekerja rumahan dan harus diganti/dibayar oleh pekerja rumahan. Didalam melakukan pekerjaannya, pekerja rumahan tidak mendapatkan supervisi dari majikan/ pengusaha karena aktifitas pekerjaan dilakukan di rumah pekerja dan bukan di tempat majikan.
ü Pekerja rumahan ikut menanggung biaya produksi dari produk yang dihasilkan   seperti: tempat usaha (rumah), listrik, alat-alat produksi (contoh dalam industri garmen pekerja rumahan harus menanggung dan membeli sendiri mesin jahit, benang, jarum, biaya perawatan mesin jahit, Seringkali untuk memperbesar upah yang diterima pekerja rumahan dalam melakukan pekerjaan juga melibatkan anggota keluarga yang lain untuk membantu pekerjaan tersebut, tetapi pihak yang membantu tidak menerima upah dari majikan.
ü Karena bersifat borongan tidak ada ketentuan jam kerja, lembur, istirahat mingguan, cuti haid, cuti hamil, cuti tahunan dll. sebagaimana yang berlaku di dalam hukum perburuhan kita.
ü Walaupun jam kerja yang dilalui oleh pekerja rumahan untuk menyelesaikan pekerjaan biasanya sangat panjang atau pasti melebihi waktu 7 jam dalam sehari dan 40 jam dalam waktu seminggu sebagaimana diatur dalam hukum perburuhan, tetapi upah yang diterima sangat kecil jauh dibawah ketentuan upah minimum kabupaten yang berlaku.
ü Tidak ada alat-alat keselamatan dan kesehatan kerja yang disediakan oleh majikan, tidak ada jaminan atas kesehatan dan kecelakaan kerja, serta tidak ada jaminan atas pensiun dan hari tua sebagaimana diamanatkan oleh peraturan mengenai jaminan sosial yang berlaku dalam hukum perburuhan.

(2)    Pekerja rumahan yang mempekerjakan orang lain dan atau ikut bekerja dengan mengambil pekerjaan dari majikan, karakteristik yang muncul dalam pola ini adalah:
ü Dalam kondisi order yang cukup banyak dimana pekerja rumahan tidak mampu memenuhi pesanan dari majikan dalam waktu yang di tentukan oleh majikan, biasanya pekerja rumahan akan merekrut orang lain untuk menyelesaikan order tersebut. Pekerja rumahan akan mengambil keuntungan sedikit dalam proses ini dengan jalan menurunkan harga per satuan unit yang ditetapkan oleh majikan kepada orang yang mengambil pekerjaan dari pemegang order.
ü Pekerja rumahan sebagai pemegang order harus menanggung setiap kesalahan atau kerusakan hasil produksi yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh majikan akibat dari hasil pekerjaan orang yang mengambil pekerjaan (sub pekerjaan).
Dalam banyak kasus pekerja rumahan dapat menjadi pemegang order jika dia mempunyai modal lebih untuk membeli beberapa alat-alat produksi dan atau bahan-bahan penunjang produksi yang akan dipergunakan oleh orang yang mengambil sub pekerjaan.
Secara umum kondisi dan sistem yang berlaku dalam melakukan pekerjaan sama dengan point no. 1.
ü Karena sifat pekerjaan yang berubah-ubah kontinuitasnya, begitu juga dengan posisi pekerja rumahan juga berubah-ubah diantara point no. 1 dan point no. 2 tergantung kondisi pasar dari majikan dan kondisi modal dari pekerja rumahan apakah mampu untuk membeli alat-alat dan atau bahan penunjang produksi bagi pekerja yang akan men-sub pekerjaan.

Sistem pekerja rumahan ini tidak terbatas dalam point no.1 dan no. 2 saja tergantung jenis dan sifat barang yang diproduksi, tetapi dapat lebih banyak banyak, misalnya: majikan - pemegang sub pekerjaan 1 sub pekerjaan 2, dst. Dan juga bisa memendek dan memanjang tergantung kondisi pasar dan modal kerja yang dipunyai oleh pekerja rumahan.[6] Point no. 1 dan no. 2 biasa dikenal istilah pekerja rumahan yang mempunyai sistem kerja putting out sistem (POS).

(3)    Pekerja rumahan yang bekerja secara mandiri dalam membuat produk barang dan memasarkan sendiri produk tersebut, karakteristik yang muncul dalam pola ini adalah:
ü Pekerja rumahan dalam membuat produk barang seringkali dibantu oleh anggota keluarga tanpa memperhitungkan mereka harus diberi upah.
ü Skala produksi yang sangat kecil karena memang modal yang sangat kecil, mutu yang rendah dan akses pasar yang minim, membuat tingkat upah sangat jauh dari ketentuan upah minimum kabupaten yang berlaku.
ü Jika pasar dalam kondisi ramai biasanya pekerja rumahan akan merekrut orang lain untuk membantu pekerjaan dengan memberi upah berdasarkan upah borongan, walaupun sangat murah.
ü Kondisi kerja dan tingkat kesejahteraan sama dengan point no. 1
Tipe pekerja rumahan ini juga dikenal dengan nama pekerja rumahan yang berciri self employment (SE).

Perlindungan Hukum Pekerja Rumahan Dalam Hukum Perburuhan Indonesia
Melihat karakteristik yang terjadi dalam pola hubungan kerja antara pekerja rumahan dengan majikannnya, memang merupakan pola yang khas yang berbeda dengan pola hubungan antara buruh dan majikan yang biasa kita temui di sektor industri maupun perusahaan yang memiliki badan hukum, pekerja rumahan yang memiliki ciri POS minimal terlihat beberapa aspek hukum seperti:
ü  perjanjian kerja untuk melakukan suatu pekerjaan antara pekerja rumahan dengan majikannya bersifat lisan dan mempunyai jangka waktu yang sangat pendek antara 1 hari sampai dengan 1 minggu. Tetapi terus berulang sehingga menjadi pekerjaan rutin yang berlangsung terus menerus.
ü  majikan tidak melakukan supervisi terhadap aktifitas pekerja rumahan dalam bekerja tetapi pengusaha melakukan kontrol terhadap mutu dan standarisasi hasil kerja. Pekerja rumahan tidak mempunyai bargaining positition dalam menentukan standar upah yang diberikan oleh majikan.
ü  walaupun ada beberapa pekerja rumahan yang mempekerjakan orang lain tetapi dia juga tidak mempunyai bargaining positition dengan majikan dalam menentukan tingkat upah yang harus diterimanya.

Dari ciri khas yang terjadi antara pekerja rumahan tipe POS dengan majikannya tersebut, tentu pertanyaan menarik adalah bagaimana hukum perburuhan Indonesia melihatnya, apakah pola hubungan semacam ini dapat masuk dan dilindungi oleh hukum perburuhan ataukah pola hubungan kerja semacam ini berada di luar sistem hukum perburuhan Indonesia.

Di dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di dalam pasal 1 angka 3 menyebutkan:
”pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Definisi ini konsisten juga dengan beberapa peraturan yang lain seperti pasal 1 angka 9 UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juncto pasal 1 angka 6 UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh serta beberapa peraturan lain mengenai perburuhan. Dari definisi di atas terlihat bahwa pekerja rumahan juga masuk dalam definisi ini karena pekerja rumahan juga melakukan pekerjaan dengan tujuan untuk memperoleh upah, begitu juga didalam pasal 1 angka 4 UU No. 3 tahun 2003 menyebutkan:
”Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lainnya”.

Di dalam pasal 1 angka 5 UU No. 13 tahun 2003 juga menyebutkan:
a.    “Pengusaha adalah: orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.    orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya”.
c.    orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Sedangkan di dalam pasal 1 angka 6 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan:
Perusahaan adalah:
a.    setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/ buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b.    usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Definisi di atas juga konsisten dengan beberapa aturan hukum yang lain misalnya pasal 1 angka 6 dan 7 UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juncto pasal 1 angka 7 dan 8 UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh juncto pasal 1 angka 3 dan 4 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan aturan-aturan hukum perburuhan yang lain.
Sehingga menjadi jelas bahwa pengusaha/majikan yang menjalankan perusahaan dari pekerja rumahan masuk dalam definisi di atas karena sifat aturan tersebut yang memberikan ruang baik berbadan hukum maupun tidak asal merupakan suatu bentuk usaha yang mempekerjakan orang lain dalam menjalankan proses produksi. Tetapi secara empiris biasanya para pengusaha tidak mengakui bahwa mereka mempekerjakan pekerja rumahan karena proses produksinya tidak dilakukan di tempat majikan tetapi di rumah pekerja rumahan.

Untuk menjawab masalah tersebut dapat kita lihat di dalam pasal 1 angka 14 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan:
”Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.

Pasal 1 angka 14 UU No. 13 tahun 2003 sebenarnya memperluas ruang lingkup hukum perburuhan karena menyebutkan bahwa perjanjian kerja tidak hanya dilakukan oleh buruh dengan pengusaha saja tetapi juga dengan pemberi kerja dimana terdapat perbedaan arti antara pengusaha yang harus memiliki perusahaan sedangkan pemberi kerja tidak harus memiliki perusahaan. Sehingga hubungan antara Pembantu Rumah Tangga (PRT) dengan majikannya dapat terlindungi oleh UU ini karena PRT berarti mempunyai hubungan kerja dengan pemberi kerja dan bukan dengan pengusaha. Tetapi pasal ini dianulir sendiri oleh pasal 1 angka 15 UU No. 13 tahun 2003 yang menyebutkan:
”Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja , yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.

Dan pasal 50 UU No. 13 tahun 2003 yang menyebutkan:
”Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/ buruh”.

Berdasarkan pasal-pasal dalam aturan di atas dapat disimpulkan bahwa baru terdapat hubungan kerja jika telah terdapat perjanjian kerja antara buruh dengan majikan, pertanyaannya adalah dalam kasus pekerja rumahan apakah telah terdapat perjanjian kerja sehingga kemudian terjadi hubungan kerja antara pekerja rumahan dengan majikannya. Untuk menjawab hal tersebut kita harus memulai dengan unsur-unsur yang terkandung di dalam perjanjian kerja, menurut Soepomo perjanjian kerja terjadi setelah buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan di mana majikan juga menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah, maka pada saat itulah telah terjadi hubungan kerja antara buruh dengan majikan.[7] Sedangkan perjanjian kerja itu sendiri dapat dibuat secara tertulis maupun tidak seperti yang tercantum di dalam pasal 51 ayat (1) UU no. 13 tahun 2003 yang berbunyi:
”Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan”.

Sedangkan unsur-unsur dari perjanjian kerja adalah:
1.    Penunaian Kerja
Penunaian kerja mempunyai maksud bahwa buruh melakukan suatu pekerjaan tertentu sebagaimana yang diperjanjikan oleh pihak majikan.[8]
Dalam kasus pekerja rumahan unsur ini terpenuhi karena memang ada suatu pekerjaan tertentu yang dilakukan oleh pekerja rumahan untuk kepentingan dari majikan.

2.    Ada orang di bawah pimpinan orang lain
Hubungan kerja ditandai dengan unsur paling dominan adalah adanya wewenang untuk memerintah dari pihak majikan terhadap pihak buruh, sebab tanpa adanya unsur ini maka hubungan tersebut bukanlah hubungan kerja. Artinya bahwa kedudukan antara buruh dan majikan tidaklah sejajar melainkan hubungan sub ordinasi, sedangkan jika hubungan kedua belah pihak adalah koordinasi seperti yang terjadi antara pemborong/kontraktor dengan pimpinan proyek (pimpro) bukanlah hubungan kerja tetapi adalah hubungan perjanjian pemborongan kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 1601b kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPa) yang berbunyi:
“perjanjian-pemborongan-pekerjaan adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan, dengan menerima bayaran tertentu”.
Di dalam hubungan antara pekerja rumahan dengan majikannya sebenarnya lebih condong kepada perjanjian pemborongan kerja, hal ini terlihat dari beberapa unsur seperti:
ü  Majikan tidak melakukan supervisi atau pengawasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh buruh.
ü  Majikan hanya melihat hasil akhir (karya) dari buruh saja sehingga sesuai dengan perjanjian jika hasilnya sesuai dengan standar yang telah disepakati maka majikan akan membayar upahnya dan jika hasilnya tidak sesuai dengan standar yang telah disepakati maka pekerja rumahan harus membayar kerusakannya tersebut.
Tetapi selain unsur-unsur yang mendekati perjanjian pemborongan pekerjaan yang tersebut di atas ada satu unsur dari perjanjian pemborongan pekerjaan yang tidak terpenuhi dalam kasus hubungan antara pekerja rumahan dengan majikannya, yaitu bahwa hubungan antara majikan dengan pekerja rumahan bukanlah hubungan koordinasi sebagaimana disyaratkan didalam perjanjian pemborongan kerja, karena pekerja rumahan tidak mempunyai nilai tawar sama sekali didalam menentukan besarnya nilai pembayaran terhadap karya yang dihasilkan oleh pekerja rumahan. Hal ini membuat hubungan antara pekerja rumahan bukanlah murni hubungan perjanjian pemborongan pekerjaan tetapi juga mengandung unsur perjanjian kerja yang menjadi landasan dari dimulainya hubungan kerja.
Pada kasus pekerja rumahan bahwasanya perjanjian untuk melakukan pekerjaan berlangsung dalam jangka waktu pendek dan terus diulang-ulang sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja rumahan adalah berlangsung terus dalam jangka waktu yang lama. Pada kasus semacam ini berdasarkan pasal 1601c ayat 2 KUHPa yang berbunyi:
”Jika suatu perjanjian-pemborongan-pekerjaan diikuti oleh beberapa perjanjian semacam itu, meskipun tiap kali dengan suatu waktu selang, atau jika pada waktu dibuatnya perjanjian-pemborongan-pekerjaan terang maksud kedua belah pihak adalah untuk membuat beberapa perjanjian lagi yang semacam sedemikian rupa sehingga semua perjanjian-pemborongan-pekerjaan itu bersama-sama dapat dianggap sebagai suatu perjanjian-kerja, maka yang berlaku adalah ketentuan mengenai perjanjian-kerja terhadap perjanjian-perjanjian tersebut kesemuanya dan terhadap tiap perjanjian itu sendiri, dengan pengecualian ketentuan dibagian Keenam BAB ini. Tetapi jika dalam hal yang sedemikian itu perjanjian yang pertama dibuat sebagai percobaan, perjanjian itu dianggap tetap memiliki sifatnya sebagai perjanjian-pemborongan-pekerjaan dan ketentuan di bagian Keenam akan berlaku baginya”.
Maka pola hubungan semacam ini sudah dapat dikategorikan masuk didalam hubungan kerja karena pola hubungan semacam ini telah mengandung unsur kepemimpinan atau wewenang untuk memerintah dari pihak majikan kepada pihak buruh[9], tentu dalam hal ini termasuk juga pekerja rumahan.

3.    Dalam Waktu Tertentu
Maksud dalam unsur ini adalah bahwa buruh dalam melakukan pekerjaannya mempunyai waktu tertentu, sehingga jika waktu melakukan pekerjaan telah selesai (misalnya karena jam kerja yang ditentukan oleh majikan ataupun oleh peraturan yang berlaku telah berakhir ataupun karena buruh telah pensiun ataupun telah keluar dari pekerjaan) maka buruh akan kembali menjadi pribadi seutuhnya sebagai manusia yang bebas dan merdeka, unsur ini penting untuk menghindari praktek perbudakan yang menghilangkan jati diri buruh sebagai manusia. Unsur inipun terpenuhi dalam kasus pekerja rumahan.

4.    Adanya upah
Yang dimaksud dengan upah menurut pasal 1 angka 30 UU No. 13 tahun 2003 adalah:
”Upah adalah pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”
Definisi upah didalam UU di atas kembali menunjukkan inkonsistensi karena turut serta menyebutkan pihak pemberi kerja sebagai pihak yang dapat memberikan upah kepada pekerja/ buruh, yang berarti dalam hal ini PRT masuk dalam lingkup hukum perburuhan, tetapi paling tidak dalam kasus pekerja rumahan yang berciri POS unsur ini terpenuhi.

Dari unsur-unsur perjanjian kerja di atas menjadi terang dan jelas bahwa pekerja rumahan yang berciri POS secara meyakinkan telah masuk dalam struktur perlindungan hukum perburuhan Indonesia, sedangkan pekerja rumahan berciri SE belum pola pekerjaannya belum dapat dikategorikan ke dalam pola hubungan kerja. Hal ini mempunyai konsekuensi bahwa pekerja rumahan berciri POS juga memiliki seluruh hak-haknya sebagai buruh yang di atur didalam seluruh peraturan perundang-undangan perburuhan yang berlaku, minimal pekerja rumahan berciri POS mempunyai hak dasar sebagai buruh diantaranya meliputi:

  1. hak untuk berserikat;
  2. hak untuk berunding secara kolektif,
  3. ak untuk mogok;
  4. hak atas upah minimum;
  5. hak atas jam kerja, libur mingguan, cuti haid, cuti hamil, cuti tahunan, dan cuti panjang
  6. tempat kerja yang aman;
  7. hak atas kesehatan dan resiko akibat hubungan kerja,
  8. hak atas jaminan sosial, dsb.
Mengingat hak pokok dari buruh adalah upah, karena tingkat upah mencerminkan tingkat kesejahteraan dari buruh tersebut, maka untuk pekerja rumahan  yang upahnya dibayar berdasarkan satuan hasil kerja berlaku pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-01/MEN/1999 yang menyebutkan:
“bagi pekerja dengan dengan sistem borongan atau berdasarkan satuan hasil yang dilaksanakan 1 (satu) bulan atau lebih, upah rata-rata sebulan serendah-rendahnya sebesar Upah Minimum di perusahaan yang bersangkutan”.

Yang dimaksud upah minimum dalam pasal di atas adalah
upah minimum propinsi, kabupaten, atau kota sesuai dengan domisili dari perusahaan di mana buruh bekerja. Begitu juga dengan hak-hak lainnya yang diatur didalam hukum perburuhan termasuk jaminan sosial yang harus diterima oleh pekerja rumahan, dan bahkan telah ada aturan yang secara khusus disediakan untuk buruh berstatus upah borongan, yaitu di dalam Keputusan Menteri Tenaga kerja No. Kep-150/MEN/1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Waktu Tertentu.

Sedangkan untuk pekerja rumahan yang berciri SE secara tekstual tidak dapat dimasukkan di dalam struktur perlindungan hukum perburuhan karena memang tidak memenuhi syarat unsur-unsur di dalam perburuhan.

Di dalam hukum ketenagakerjaan hanya jaminan sosial yang dapat dituntut dari negara karena memang telah ada UU yang mengaturnya, hal ini dapat dilihat di dalam pasal 3 ayat (2) UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang berbunyi:
”Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja”.

Dimana di dalam aturan pelaksanaan dari UU di atas badan penyelenggara program jaminan sosial tenaga kerja tersebut diserahkan kepada kewajibannya kepada PT. Jamsostek Tetapi didalam pasal 4 ayat (2) UU No. 3 tahun 1992 menyebutkan:
Program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.



SISTEM JAMINAN SOSIAL YANG BERLAKU SAAT INI

Selama ini program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah R.I hanya mencakup sebagian kecil dari jumlah penduduk saja. Dari 95 juta angkatan kerja, baru 24,6 juta jiwa memperoleh jaminan sosial, atau baru 12% dari jumlah penduduk. Sementara di Thailand dan Malaysia masing-masing mencapai 50% dan 40% dari total penduduk.[10] Sebagian besar rakyat masih harus melakukan segala daya upaya sendiri untuk melindungi diri dan anggota keluarganya dari segala macam kerentanan hidup.

Sedangkan 12% penduduk Indonesia yang telah memperoleh jaminan sosial tersebut, juga terbagi dalam beberapa kelas yang berbeda-beda dalam memperoleh manfaat dari jaminan sosial yang diikutinya, sesuai dengan kategori profesi yang digelutinya.

Program Asuransi Kesehatan (Askes)
Program Asuransi kesehatan yang berlaku di Indonesia pada saat ini dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu: pertama; asuransi kesehatan yang diperuntukkan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dikelola oleh PT. Askes. Kedua; adalah asuransi kesehatan yang diperuntukkan kepada pekerja swasta di sektor formal yang dikelola oleh PT. Jamsostek dan, ketiga;  adalah asuransi kesehatan bagi warga masyarakat miskin dalam bentuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatam Masyarakat (Jamkesmas) biasa disebut askeskin yang pengelolaannya diserahkan kepada Puskesmas, Rumah Sakit yang ditunjuk beserta jaringannya.

Menurut ILO[11], hanya sekitar 15%  penduduk Indonesia yang menjadi anggota salah satu asuransi kesehatan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun sektor swasta diluar program Jamkesmas, sedangkan jika ditambah program jamkesmas, total sekitar 40% jumlah penduduk Indonesia yang telah terlindungi dalam program asuransi kesehatan. Sehingga masih sekitar 60% penduduk Indonesia (didalamnya terdapat pekerja rumahan) yang belum terlindungi dalam jaminan kesehatan dalam bentuk apapun.

Pada tahun 2009, 15,1 juta orang atau sekitar 6,65% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2008 yang diperkirakan sebesar 227 juta jiwa[12] mendapatkan asuransi kesehatan melalui PT. Askes, sebuah BUMN yang mengelola asuransi kesehatan untuk PNS, pensiunan PNS, TNI dan pensiunan TNI serta anggota keluarga mereka.

Program Askes dibiayai melalui potongan gaji sebesar 2% dari gaji pokok mereka dan pembayaran klaim dibuat berdasarkan sistem anggaran kapitasi[13] dan paket benefit yang konsisten, diberikan melalui sebuah kelompok organisasi pemeliharan kesehatan (Health Maintenance Organization  atau HMO)[14] yang dirancang untuk memberikan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif

Program Asuransi Angkatan Bersenjata Respublik Indonesia (Asabri)
Program Asabri adalah sebuah asuransi yang memberikan dana pensiun kepada TNI dan Polri beserta anggota keluarganya, namun informasi publik tentang program ini sangat sulit diperoleh, Informasi yang diperoleh masih sebatas hanya kepada jumlah peserta program Asabri pada tahun 2009 berjumlah 1,124 juta orang[15], selebihnya tidak diperoleh informasi apapun, maka program ini tidak akan dibahas dalam penelitian ini, hanya sebatas informasi bahwa program tersebut ada dan manfaatnya telah dinikmati oleh pesertanya.

Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
Pada tahun 2009 peserta program Jamsostek berjumlah 26,63 juta orang, atau sebesar 11,73%[16] dari total jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2008 yang diperkirakan sebesar 227 juta jiwa, tetapi dari jumlah peserta Jamsostek tersebut tidak semuanya mengikuti program secara full paket, sehingga data tersebut masih perlu dilakukan klarifikasi berapa jumlah sebenarnya dari peserta Jamsostek yang telah menerima manfaat jaminan sosial secara penuh seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Karena program Jamsostek yang terdiri dari: Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pasal 2 ayat (3) disebutkan bahwa Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau  lebih,  atau  membayar  upah  paling  sedikit  Rp.1.000.000,00 (satu  juta rupiah)  sebulan, wajib mengikutsertakan  tenaga  kerjanya  dalam  program jaminan sosial tenaga kerja, sedangkan bagi pengusaha yang melanggarnya berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, diancam pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan kurungan atau denda setinggi-tingginya sebesar Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ketentuan ini sebenarnya cukup memberikan perlindungan kepada setiap tenaga kerja (baik formal maupun informal) untuk dapat menerima manfaat dari Jamsostek, namun kenyataannya pada tahun 2009[17], dari sekitar 33 juta pekerja formal hanya sebesar 26,63 juta pekerja formal yang mengikuti program jamsostek sedangkan pekerja informal yang berjumlah sekitar 67 juta (didalamnya terdapat pekerja rumahan baik berciri POS maupun SE) hampir seluruhnya belum terlindungi dalam program Jamsostek.

Padahal Berdasarkan pasal 3 ayat (2) UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial seluruh tenaga kerja baik formal maupun informal berhak atas perlindungan Jamsostek sebagaimana yang tercantum:
”Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja”.

Ketentuan di atas seharusnya memberikan harapan dan peluang kepada pekerja rumahan baik yang berciri POS maupun SE untuk menerima manfaat program Jamsostek, namun ketentuan di atas tidak dapat serta merta dilaksanakan karena berdasarkan pasal 4 ayat (2) UU No. 3 tahun 1992 menyebutkan:
Program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

Sedangkan aturan pelaksanaan dari pasal tersebut diatas baru diterbitkan 13 (tiga belas tahun) kemudian dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja.

Berdasarkan PP Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja diatur bahwa program Jamsostek bagi pekerja formal memberikan kewajiban kepada pengusaha dan pekerja/ buruh untuk secara bersama menanggung biaya premi dari program Jamsostek sebagaimana tabel berikut:

Iuran Premi Program Jamsostek
(% dari upah take home pay sebulan)
PROGRAM
TARIF PREMI
TOTAL
Majikan/ pengusaha
Pekerja/ buruh
Program Jaminan Kecelakaan Kerja
0,24 – 1,74
(5 golongan)
-
0,24 – 1,74
Program Jaminan Kematian
0,3
-
0,3
Program Jaminan Hari Tua
3,7
2
5,7
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
3-6
-
3-6
Total
7,24 – 11,74
2
9,24 – 13,74

Program Jamsostek bagi pekerja formal di atas hanya memberikan kewajiban kepada pekerja/ buruh untuk membayar iuran sebesar 2% dari upah yang diterima selama sebulan untuk memperoleh 4 (empat) jaminan yang disediakan oleh Jamsostek secara penuh, standar yang biasa dipergunakan untuk upah adalah upah minimum regional maupun sektoral yang diberlakukan pada masing-masing kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Selama ini pekerja/ buruh sama sekali tidak keberatan dengan tarif sebesar 2% dari upah per bulan untuk menjadi peserta program Jamsostek secara full paket, permasalahan yang seringkali terjadi adalah ketidakpatuhan dari para pengusaha/majikan untuk mengikutsertakan pekerja/ buruhnya didalam program Jamsostek, dikarenakan iuran/premi yang harus ditanggung oleh pihak pengusaha dianggap sebagai tambahan biaya produksi yang seharusnya tidak dibayarkan oleh pihak pengusaha. Kasus yang seringkali terjadi adalah pengusaha seringkali memanipulasi jumlah buruh yang sebenarnya harus dibayarkan ke program Jamsostek menjadi lebih sedikit dari jumlah yang sebenarnya atau dengan jalan mengecilkan jumlah upah yang sebenarnya diterima oleh buruh sehingga pengusaha dapat mengurangi jumlah premi yang harus dibayarkan atau dengan jalan tidak mengikutsertakan pekerja/ buruhnya secara full paket didalam program Jamsostek.

Pekerja/ buruh selama ini mengeluh dengan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh penyelenggara layanan kesehatan yang bekerjasama dengan PT. Jamsostek karena pembayaran klaim dibuat berdasarkan sistem anggaran kapitasi dan paket benefit yang konsisten, diberikan melalui sebuah kelompok organisasi pemeliharan kesehatan (Health Maintenance Organization atau HMO) yang dirancang untuk memberikan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Serta birokrasi yang masih berbelit-belit dan masih kecilnya nilai manfaat yang diterima oleh pekerja/ buruh dalam hal jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian dan jaminan hari tua.

Program Jamsostek juga masih menyisakan tata kelola perusahaan BUMN PT. Jamsostek yang masih buruk, ditandai dengan tidak transparannya pengelolaan dana investasi perusahaan yang nota bene berasal dari keringat buruh dan tidak adanya laporan perusahaan yang akuntabel yang dapat diperoleh secara terbuka oleh publik.[18]

Program Jamsostek juga belum menyediakan program pensiun bagi pekerja/ buruh yang telah memasuki usia pensiun sehingga program ini sebenarnya belum dapat dikatakan memenuhi standar program jaminan sosial nasional.

Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) Sektor Informal

Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja pada tanggal 1 Juni 2006, sebenarnya terdapat peluang bagi pekerja rumahan baik yang berciri POS maupun SE yang termasuk didalam bagian sektor informal untuk dapat memperoleh manfaat jaminan sosial yang disediakan oleh PT. Jamsostek, namun kenyataannya pada tahun 2009, dari sekitar 67 juta pekerja sektor informal, hanya sekitar 200.000 ribu pekerja saja[19] yang mengikuti program Jamsostek sektor informal ini atau hanya sekitar 0,29% saja dari keseluruhan jumlah pekerja informal.

Rendahnya tingkat keikutsertaan pekerja informal kepada program Jamsostek sektor informal dikarenakan beban pembayaran iuran untuk mengikuti program ini secara keseluruhan dibebankan kepada pihak pekerja saja dan tanpa sharing dengan pihak majikan informal dan/atau subsidi pembayaran iuran dari pihak pemerintah, sedangkan tarif premi asuransi program ini masih menggunakan tolok ukur upah minimum regional (UMR) dari masing-masing kabupaten/kota dimana pekerja informal berada. Tentu saja hal ini sangat memberatkan pekerja informal untuk mengikuti program ini dikarenakan tidak hanya pekerja rumahan harus menanggung keseluruhan beban biaya pembayaran premi asuransi dari program ini, juga dikeranakan tingkat upah dari pekerja rumahan/pekerja informal rata-rata nasional masih sekitar 20 – 70% dari UMR yang berlaku saat ini.

Sedangkan tarif premi dari program Jamsostek sektor informal ini masih sama mengacu kepada program Jamsostek sektor formal, sebagaimana tersaji dalam tabel berikut:

Iuran Premi Program Jamsostek (% dari UMR yang berlaku)

PROGRAM
TARIF PREMI
(Ditanggung Pekerja)
Keterangan
Program Jaminan Kecelakaan Kerja
1

Program Jaminan Kematian
0,3

Program Jaminan Hari Tua
2

Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
3 – 6
3% untuk pekerja lajang dan 6% bagi yang sudah berkeluarga
Total
6,3 – 9,3


Semakin jelas terlihat mengapa tingkat keikutsertaan pekerja rumahan/ informal untuk mengikuti program ini sangat rendah selain karena terdapat kesenjangan beban yang harus ditanggung dalam program ini, dimana pekerja formal yang tingkat kesejahteraannya jauh lebih baik (upah sesuai dengan UMR dan mendapatkan hak-hak normatif lainnya) hanya diberi beban sebesar 2% dari upah sebulan yang diterima oleh pekerja formal dan sisanya ditanggung oleh pengusaha/majikan, sedangkan untuk pekerja sektor informal dimana tingkat kesejahteraannya jauh dibawah pekerja formal (upah berkisar 20 – 70% UMR dan tidak memperoleh hak-hak normatif lainnya) harus menanggung keseluruhan beban pembayarannya premi asuransi program ini berkisar antara 6,3 – 9,3% dari tarif UMR yang berlaku (bukan berdasarkan pendapatan riil dari pekerja rumahan/ informal).

Program Jamsostek sektor informal juga belum menyediakan program pensiun bagi pekerja/ buruh yang telah memasuki usia pensiun sehingga program ini sebenarnya belum dapat dikatakan memenuhi standar program jaminan sosial nasional.

Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)

Awalnya program kesehatan untuk masyarakat miskin bermula di era tahun 1970-an ketika Pemerintah mencanangkan program dana sehat di tingkat desa, dana ini merupakan pengganti alokasi dana APBN di sektor kesehatan yang cenderung berkurang setelah penghasilan pemerintah dari sektor minyak dan gas berkurang. Tujuan program ini adalah masyarakat lokal dapat membiayai pelayanan kesehatan mereka sendiri dan menjadi mandiri dalam membiayai pelayanan kesehatan pokok mereka.[20]

Namun, dalam prakteknya penduduk Indonesia peserta dana kesehatan masyarakat jumlahnya sangat kecil. Diperkirakan pada tahun 1998, hanya 1,87% dari penduduk Indonesia menjadi peserta program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)[21]. Sejak terjadi krisis moneter di era tahun 1997/1998 Pemerintah meluncurkan program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang berjalan sampai dengan tahun 2001, kemudian pada tahun 2001 diganti menjadi Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE), serta tahun 2002 – 2004 diganti lagi menjadi program Kompensasi Kompensasi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM). Program ini secara khusus memberikan subsidi dalam bentuk bantuan sosial kepada masyarakat miskin untuk memperoleh hak atas layanan kesehatan dasar yang diberikan melalui Puskesmas dan rumah sakit beserta jaringannya.

Pada tahun 2005 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 56 Tahun 2005 diluncurkan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM) dan setahun kemudian berdasarkan Kepmenkes Nomor 332 Tahun 2006 berubah menjadi program Jaminan Pemeliharaam Kesehatan Masyarakat Miskin yang disingkat Askeskin. Dan tahun 2008 berdasarkan Kepmenkes Nomor 125 Tahun 2008 dirubah lagi menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang berlaku sampai dengan tahun 2009.

Secara umum program Jamkesmas masih merupakan program bantuan sosial kepada masyarakat miskin untuk memperoleh hak atas layanan kesehatan dasar yang diberikan melalui Puskesmas dan srumah sakit beserta jaringannya. Untuk tahun 2008 diperuntukkan bagi 76,4 juta masyarakat miskin hasil survey dari Badan Pusat Statistik (BPS). Saat ini program Jamkesmas dikelola langsung antara pemerintah pusat sebagai penyandang dana dengan pihak Puskesmas dan rumah sakit pemerintah dan atau yang melakukan kerjasama dengan pemerintah selaku penyedia pelayanan kesehatan, berbeda degan tahun 2006 pada saat pengelolaan keuangan program Askeskin diserahkan kepada PT. Askes.

Setiap warga miskin yang menjadi peserta Jamkesmas mempunyai hak mendapat pelayanan kesehatan dasar meliputi pelayanan kesehatan rawat  jalan (RJ) dan rawat inap (RI), serta pelayanan kesehatan rujukan rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL), rawat inap tingkat lanjutan (RITL) dan pelayanan gawat darurat.

Program ini sebenarnya cukup baik untuk memberikan perlindungan kepada warga yang benar-benar tidak mampu untuk mengakses pelayanan kesehatan yang cenderung mahal, dan secara teoritis dapat diakses oleh buruh rumahan yang sebagian besar masuk kategori miskin, namun terdapat beberapa kelemahan dari program ini, yaitu:

Pertama; pendataan masyarakat miskin yang dilakukan oleh BPS dengan melakukan rekruiting tenaga pencacah dari aparat Pemerintahan Desa/Kelurahan setempat dengan menggunakan kriteria kemiskinan dari BPS (daftar pertanyaan yang disediakan) sebagai berikut:
1.      Jumlah keluarga
2.      Luas lantai tempat tinggal
3.      Jenis lantai bangunan
4.      Jenis dinding bangunan
5.      Fasilitas tempat BAB
6.      Sumber air minum
7.      Sumber penerangan utama
8.      Jenis bahan bakar untuk memasak
9.      Berapa kali dalam seminggu membeli daging/ayam/susu
10.   Berapa kali makan dalam sehari
11.   Berapa stel membeli pakaian dalam setahun
12.   Jika sakit apakah mampu berobat ke puskesmas/klinik
13.   Pekerjaan utama kepala rumah tangga
14.   Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga
15.   Apakah memiliki barang berharga
16.   Adakah balita (0-4) tahun
17.   Adakah anak usia 7-18 tahun
18.   Adakah wanita umur 10-49 tahun
19.   Apakah pernah menerima kredit usaha setahun lalu[22]

Akibat kurangnya pelatihan yang diberikan kepada aparat Pemerintahan Desa/Kelurahan (hanya berkisar 3 hari pelatihan) maka yang terjadi adalah Aparat Pemerintahan Desa/Kelurahan tidak melakukan pendataan dan pencacahan secara langsung dengan melakukan interview dengan responden, melainkan langsung memutuskan siapa yang berhak untuk memperoleh kartu Jamkesmas berdasarkan hubungan kedekatan secara pribadi dan sosial saja. Sehingga banyak warga (didalamnya termasuk pekerja rumahan) yang seharusnya masuk dalam kriteria miskin tidak terdaftar dalam program Jamkesmas.
Kedua; Pendataan warga miskin dilakukan dengan berbasis kepada data kependudukan dari masing-masing kabupaten/kota yang bersangkutan, sehingga tidak mempertimbangkan penduduk urban di masing-masing kota termasuk kota metropolitan, sehingga masyarakat urban (buruh, pemulung, pengemis, gelandangan, dll) tidak masuk dalam program ini, walaupun secara empiris bisa jadi merekalah yang paling membutuhkan program ini.

Ketiga; Bagi warga miskin yang tidak terdata sebagai peserta Jamkesmas, program ini memberikan kewajiban kepada pemerintah daerah (kabupaten/kota dan provinsi) untuk menanggung keseluruhan pembiayaan bagi mereka dengan menganggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing. Ketentuan ini menyebabkan tidak semua Pemerintah Daerah bersedia untuk mengalokasikan anggaran untuk menanggung warga miskin yang tidak terdata oleh BPS.

Keempat; Tidak ada kewajiban kepada setiap penyedia pelayanan kesehatan (Puskemas dan Rumah Sakit) untuk melayani setiap peserta Jamkesmas, hanya terdapat kewajiban bahwa penyedia pelayanan kesehatan harus melayani peserta Jamkesmas dalam standar pelayanan Kelas III (paling rendah), sehingga banyak penyedia pelayanan kesehatan yang menolak pasien Jamkesmas dengan alasan tidak tersedia ruang pelayanan Kelas III, dikarenakan pihak penyedia pelayanan kesehatan melakukan strategi dengan mengurangi jumlah ruang pelayanan Kelas III dan memperbanyak kelas yang lebih tinggi untuk mendapatkan profit yang lebih besar.

Kelima; Masih terdapat biaya kesehatan yang ditanggung oleh pasien peserta Jamkesmas, dikarenakan kurangnya informasi atas jenis obat-obatan dan alat kesehatan yang seharusnya dapat diperoleh oleh peserta Jamkesmas, hal ini disebabkan karena banyak tenaga medis (Dokter) yang enggan untuk meresepkan obat-obatan yang masuk dalam daftar program Jamkesmas dikarenakan tidak tersedianya fee sebagaimana jika dokter meresepkan obat-obatan dan alat kesehatan branded.



SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL, SEBUAH PERUBAHAN MENUJU NEGARA KESEJAHTERAAN

Sejak diberlakukannya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk pertamakalinya Indonesia mempunyai produk kebijakan jaminan sosial yang berlaku untuk seluruh warga negara, tidak seperti program yang selama ini ada yang bersifat parsial berlaku sebagian saja (untuk PNS, TNI dan Polri, sebagian pekerja formal dan sebagian wiraswastawan). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 yang berbunyi:
“Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Menurut Pemerintah SJSN sudah menganut sistem “tiga pilar” yang disarankan oleh Bank Dunia dan ILO[23] sebagai sistem modern yang banyak dianut oleh negara-negara maju, adapun tiga pilar tersebut adalah:

Pilar Pertama, menggunakan mekanisme bantuan sosial (social assistance) kepada penduduk yang kurang mampu, baik dalam bentuk bantuan uang tunai maupun pelayanan tertentu untuk memenuhi kebutuhan dasar layak. Pembiayaan bantuan sosial dapat bersumber  dari angaran negara atau dari masyarakat. Mekanisme bantuan sosial biasanya diberikan kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yaitu masyarakat yang benar-benar membutuhkan, seperti penduduk miskin, sakit, lanjut usia atau ketika terpaksa menganggur.

Pilar Kedua, menggunakan mekanisme asuransi sosial atau tabungan sosial yang bersifat wajib atau compulsory insurance, yang dibiayai dari kontribusi atau iuran yang dibayarkan oleh peserta. Dengan kewajiban menjadi peserta, sistem ini dapat terselenggara secara luas bagi seluruh rakyat dan terjamin kesinambungannya dan profesionalisme penyelenggaraannya.

Mekanisme asuransi sosial merupakan tulang punggung pendanaan jaminan sosial di hampir semua negara. Mekanisme ini merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal penduduk dengan mengikut-sertakan mereka secara aktif melalui pembayaran iuran.

Di berbagai negara yang telah menerapkan sistem jaminan sosial dengan baik, perluasan cakupan peserta dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintah serta kesiapan penyelenggaranya. Tahapan biasanya dimulai dari tenaga kerja di sektor formal, selanjuatnya diperluas kepada tenaga kerja di sektor informal, untuk kemudian mencapai tahapan cakupan seluruh penduduk.

Pilar ketiga, menggunakan mekanisme asuransi sukarela (voluntary insurance) atau mekanisme tabungan sukarela yang iurannya atau preminya dibayar oleh peserta sesuai dengan tingkat resiko dan manfaat yang diinginkan. Pilar ketiga ini adalah jenis asuransi yang sifatnya komersial, dan sebagai tambahan setelah peserta yang bersangkutan menjadi peserta asuransi sosial.

UU SJSN juga membawa angin segar dikarenakan memberikan jaminan akan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak tidak hanya bagi peserta SJSN melainkan juga bagi anggota keluarganya sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 3 yang berbunyi:
“Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya”.

Sedangkan didalam penjelasan umum UU SJSN ini disebutkan bahwa jaminan sosial ini diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia yang karena sesuatu hal telah mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Ketentuan ini merupakan lompatan yang luar biasa karena pada saat yang sama ribuan buruh di berbagai wilayah sedang memperjuangkan tuntutan disahkannya atau dilakukan revisi penetapan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak mengingat berdasarkan  Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, penentuan upah minimum berdasarkan KHL tidak diberlakukan secara seketika melainkan secara bertahap sesuai dengan pentahapan yang akan diputuskan oleh Gubernur.

Dalam Permenakertrans yang dimaksud dengan standar kebutuhan hidup layak disebutkan yang dijadikan sebagai acuan penentuan upah minimum adalah:
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/ buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan, meliputi 7 (tujuh) komponen, yaitu:
a.   Makanan dan minuman;
b.   Sandang;
c.   Perumahan;
d.   Pendidikan;
e.   Kesehatan;
f.    Transportasi; dan
g.   Rekreasi dan Tabungan.

Dari definisi Kebutuhan Hidup Layak tersebut dapat dilihat bahwa ketentuan yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN kualitasnya jauh di atas Permenakertrans, hal ini dapat dilihat paling tidak dari aspek penentuan upah minimum, berdasarkan Permenakertrans didasarkan hanya pada kebutuhan hidup layak dari seorang buruh lajang, sedangkan UU SJSN sudah memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan hidup layak untuk peserta program ini beserta anggota keluarganya, artinya adalah tingkat upah/kesejahteraan dari seorang buruh yang aktif bekerja nilainya masih jauh lebih rendah jika buruh tersebut memperoleh klaim yang dia terima melalui program SJSN jika yang bersangkutan mengalami hal-hal seperti sakit, di-PHK, dll yang diatur oleh UU SJSN, atau dengan kata lain seorang buruh yang mengikuti program SJSN ini jauh lebih sejahtera jika dalam kondisi sakit atau ter-PHK, karena kebutuhan hidup secara layak dirinya beserta anggota keluarganya ditanggung sepenuhnya oleh Negara melalui program SJSN.

UU SJSN ini seharusnya juga mengakhiri dikotomi apakah pekerja rumahan masuk dalam kategori formal ataukah informal, mengingat UU SJSN ini berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia dan kepesertaannya tidak dibatasi dengan golongan tertentu, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 8 yang berbunyi:
“Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran”.

Jadi syarat menjadi peserta SJSN ini adalah hanya membayar iuran kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang kemudian Badan ini wajib memberikan nomor identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya. Dalam kasus pekerja rumahan yang upahnya sangat jauh di bawah upah minimum, apakah mampu membayar iuran yang nanti ditetapkan, Pasal 13 dan 14 UU SJSN memberikan kepastian bahwa setiap orang dapat menjadi peserta program jaminan sosial ini, yaitu:
1.      Bagi seseorang yang bekerja, maka pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan wajib membayar iuran dari pekerjanya berdasarkan persentase yang ditentukan antara persentase yang wajib dibayar oleh pemberi kerja dan persentase  yang wajib dibayar oleh pekerjanya. Hal ini bisa dilakukan oleh buruh rumahan POS, seberapa kecil upahnya nanti akan dipotong untuk membayar iuran SJSN ini, dan jika ternyata tidak mencukupi, maka
2.      Pemerintah memberikan bantuan iuran kepada fakir miskin dan orang tidak mampu, sehingga semua rakyat pada akhirnya akan menjadi peserta dari program SJSN ini. Hal ini juga membuka peluang bagi pekerja rumahan mandiri karena dapat membayar iuran semampunya dan kekurangannya akan ditanggung oleh Pemerintah.

Penjelasan UU SJSN, Sistim Jaminan Sosial ini dilaksanakan dengan Azas “Kemanusiaan, Manfaat, dan Keadilan” dengan tujuan untuk melaksanakan amanat UUD’45 (Ps 28H dan Ps 34). Prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional, sudah tentu tidak dapat terlepas dari prinsip-prinsip universal yaitu;
1.      Prinsip kegotong-royongan atau solidaritas diantara peserta sistem jaminan sosial. Prinsip ini, diwujudkan dengan besaran iuran yang ditetapkan berdasar prosentase upah/ penghasilan, sehingga dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan (JK), terjadi kegotong-royongan antara yang sehat/ sakit, antara yang tua/ muda serta antara yang berisiko sakit tinggi dan rendah dan antara yang kaya dan miskin.
2.      Nirlaba, yang berarti, bahwa penyelenggaraan sistem jaminan sosial tidak dimaksudkan untuk mencari untung dan harus melaksanakan optimal bagi kepentingan peserta. Perlu didukung dengan memperoleh fasilitas bebas dari pajak untuk memperkecil pembebanan keikutsertaan.
3.      Kepesertaan besifat wajib, sesuai dengan kelayakan dan pentahapan perluasan kepesertaan dan jenis jaminan sosial. Meskipun bersifat wajib, tidak berarti merupakan suatu paksaan, penerapan dilakukan berdasar kemampuan tetapi merupakan kebutuhan untuk ikut serta dalam Sistem jaminan Sosial Nasional hingga tercapai mencakup seluruh rakyat.
4.      Dana amanat, berarti dana yang berasal dari iuran peserta merupakan milik peserta yang peruntukannya telah ditentukan, yaitu untuk memperoleh jaminan sosial sesuai dengan program yang diikutinya dan digunakan secara optimal bagi peserta
5.      Kehati-hatian, dalam pengelolaan sistem jaminan sosial, pengelolaan dana terkumpul dilakukan secara cermat dan teliti serta tertib dalam penggunaannya
6.      Transparansi, dana yang yang diperoleh dalam sistim jaminan sosial merupakan dana yang dikumpulkan bersama dan milik peserta, sudah selayaknya sistim laporan harus benar, jelas, lengkap dan akses informasi harus terbuka dan mudah.
7.      Akuntabilitas dalam pengelolaan sistem jaminan sosial, pengelolaan dana dilakukan secara cermat dan teliti sehingga terjamin keamanan, solvabilitas dan likuiditas pengelolaan dana jaminan sosial serta dapat dipertanggungjawabkan.
8.      Portabilitas, bahwa peserta jaminan sosial diberikan jaminan berkelanjutan artinya sistem jaminan sosial tidak terhenti, disebabkan oleh perpindahan tempat kerja, sehingga kelangsungan kepesertaan pada prinsipnya menjadi seumur hidup, sesuai dengan ketentuan program yang diikutinya.
9.      Hasil Olah Dana. Sistim jaminan sosial yang dilaksanakan melalui sistim iuran sebagaimana saham dalam perusahaan, oleh karenanya apapun perolehan keuntungan dari hasil olah dana jaminan sosial harus dikembalikan kepada peserta jaminan sosial.

Dengan prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan diatas, peserta sistem jaminan sosial nantinya dapat menikmati seluruh hasil pengembangan dana, oleh karena hasil pengembangan dana itu akan dikembalikan untuk manfaat peserta. Demikian juga kemananan dana juga lebih terjamin, oleh karena prinsip pengelolaan yang penuh dengan keberhati-hatian dan tranparasi serta pengawasan yang ketat.

Program SJSN ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk terpenuhi kebutuhan dasar di bidang kesehatan, jaminan kecelakaan, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. UU SJSN ini memberikan kesetaraan dan jaminan sosial yang sama dengan yang diperoleh oleh Pegawai Negeri Sipil bagi seluruh rakyat Indonesia. UU SJSN menyatakan bahwa pada tahap pertama Pemerintah akan memberikan bantuan iuran untuk jaminan kesehatan dan bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib untuk menyesuaikan dengan UU SJSN ini paling lambat 5 (lima) tahun ke depan.

Namun sampai dengan saat ini UU SJSN sama sekali belum ada tanda-tanda untuk dilaksanakan, padahal batas waktu yang diamanatkan oleh UU ini adalah sampai dengan tanggal 19 Oktober 2009, Pemerintah masih sebatas membentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional yang bertugas untuk mensikronisasi berbagai macam ketentuan perundang-undangan tentang jaminan sosial yang sekarang ini ada untuk dilebur kedalam ketentuan dalam SJSN termasuk keharusan melebur beberapa perusahaan BUMN yang mengurusi jaminan sosial saat kedalam holding company tunggal sesuai dengan amanat UU SJSN.

Adapun jaminan sosial yang diselenggarakan oleh UU SJSN seharusnya memberikan manfaat kepada peserta, secara terperinci adalah sebagai berikut:
1.      Jaminan Kesehatan (JK) merupakan program dengan tujuan memberikan jaminan kesehata dan diberikan sesuai dengan kebutuhan medik bagi peserta dan anggota keluarga. Aturan rinci harus dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintan atau Permenkes sesuai dengan makna UU SJSN. Penyelenggaraannya dapat dilakukan melalui mekanisme asuransi sosial. Bagi pekerja, iuran ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
2.      Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), merupakan program dengan tujuan memberikan kepada peserta (pekerja) yang memperoleh kecelakaan kerja, yaitu kecelakaan sejak berangkat kerumah, ditempat kerja hingga tiba di rumah, maupun berbagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan berupa jaminan kesehatan pemulihan kesehatan dan santunan uang. Iuran peserta ditanggung oleh pemberi kerja. JKK diselengarakan berdasar mekanisme asuransi sosial.
3.      Jaminan Hari Tua (JHT), merupakan program yang ditujukan untuk memberikan bekal kepada peserta yaitu jaminan yang diberikan beberapa tahun sebelum pensiun. Jaminan ini, pada dasarnya jaminan untuk persiapan pensiun, merupakan tabungan peserta. Iuran menjadi beban pekerja dan pemberi kerja.
4.      Jaminan Pensiun (JP), merupakan program yang disiapkan berdasarkan sistim asuransi untuk menjamin kebutuhan hidup layak ketika menjalani pensiun dan diberikan kepada pekerja, janda / duda dan anak sesuai dengan ketentuan ini yang telah memasuki masa pension. Jaminan Pensiun diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial dan tabungan. Premi menjadi beban pekerja dan pemberi kerja.
5.      Jaminan Kematian (JK), program ini disiapkan kepada peserta yang meninggal dunia secara alamiyah. Diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial, diberikan kepada peserta yang meninggal bukan oleh kecelakaan kerja. Iuran ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.[24]

UU SJSN ini merupakan kebijakan yang sangat ditunggu oleh pekerja rumahan, karena memberikan harapan akan terpenuhinya hak atas jaminan sosial dan terpenuhinya hak dasar untuk mempunyai kehidupan layak, namun mengingat sampai dengan sekarang UU SJSN ini masih belum dapat diimplementasikan, tentu harus dilihat perkembangan ke depan apakah terdapat keseriusan dari pihak Pemerintah untuk mengimplementasikan UU SJSN ini ataukah hanya menjadi jargon dan janji semata.





[1] Tambunan, 2002 dalam Bambang Ismawan, Jurnal Ekonomi Rakyat (2006).
[2] Bambang Purwoko, 1999: Jaminan Sosial dan Sistem Penyelenggaraannya: gagasan dan pandangan
[3] Buddy Nataatmadja, http://isnet.org/buddy, 2008
[4] Dikutip dari Yoga prakarsa, http://www.madani-ri.com, 2008
[5] Prof.Imam Soepomo: Pengantar Hukum Perburuhan (1985:1-3)
[6] Baca Arianti Ina R. Hunga: Pemberdayaan Home Workers Melalui Pendekatan Riset Aksi}
[7] Soepomo Opcit; (1985:53)
[8] F.X Djumialdji, S.H., Perjanjian Kerja; (2001:18-20); lihat juga DR. H. Koko Kosidin, S.H.MH., Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan, dan Peraturan Perusahaan
[9] Prof. Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja; (1983:2-3)
[10] Yaumil Ch. Agoes Achir; Jaminan Sosial Nasional Indonesia: dalam Jurnal Ekonomi Rakyat; Artikel - Th. I - No. 7 - September 2002]
[11] International labour Organization; Social Security and Coverage for All: Restructuring the Social Security Scheme In Indonesia – Issues and Option, Jakarta; 2003, lihat juga Yoga prakarsa; opcit
[12] Hotbonar Sinaga, Rakyat Sangat Butuh Jaminan Sosial,  http://www.jamsostek.co.id/info/berita;2009, lihat juga:Alex Arifianto; Reformasi Sistem Jaminan Sosial di Indonesia: Sebuah Analisis Atas Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional (RUU Jamsosnas); Lembaga Penelitian Smeru; 2004
[13] Pembayaran  klaim dengan sistem kapitasi adalah sebuah sistempembayaran pelayanan kesehatan di mana pemberi jasa kesehatan menerima pembayaran berjumlah tetap secara rutin untuk setiap pasien yang dilayani oleh mereka, tanpa mempedulikan pelayanan apa saja yang sebenarnya diberikan kepada pasien tersebut , dikutip dari Rosen Harvey; Public Finance, Edisi ke Lima, New York: Mc Graw Hill Inc., 1999, 209.
[14] Organisasi Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance Organization (HMO)) adalah sebuah pemberi
jasa kesehatan yang menawarkan pelayanan kesehatan komprehensif yang dapat diberikan oleh beberapa pelayan jasa kesehatan (dokter, bidan, dll) yang menandatangani kontrak kerja dengan organisasi tersebut, mereka umumnya menerima pembayaran dengan memakai sistem pembayaran kapitasi (Rosen, opcit 533). Karakteristik dari organisasi ini antara lain: keanggotaan peserta bersifat sukarela, pelayanan kesehatan yang komprehensif, memakai sistem  community rating, dan sistem pelayanan tertutup (ILO, opcit 203).
[15] Hotbonar Sinaga, opcit
[16] idem
[17] idem
[18] Alex Arifianto, opcit
[19] Hotbonar Sinaga, opcit
[20] Ilo, opcit
[21] Alex Arifianto, opcit
[22] Formulir pendataan yang dikeluarkan oleh BPS dalam menentukan kriteria kemiskinan warga negara Indonesia
[23] Pernyataan Menko Kesra dalam www.tkpkri.org , lihat juga Alex Arifianto, opcit
[24] Buddy Nataatmadja, opcit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar