“PRAKTEK PERBUDAKAN PADA
BURUH RUMAHAN”
Sebuah Potret Belum Adanya
Perlindungan dari Penyelenggara Negara
Ratno Cahyadi Sembodo*
“Sejak kapan kalimat menjadikan manusia sebagai
budak? Padahal saat lahir dari rahim para ibunya, mereka ada dalam keadaan merdeka?”
(Umar ibn Khattab)
PENDAHULUAN
Selama ini Pemerintah enggan mengakui bahwa buruh
rumahan adalah termasuk buruh yang dilindungi dalam struktur hukum perburuhan
Indonesia, tidak kurang Depnakertrans sendiri menyebut buruh rumahan sebagai
orang yang melakukan aktifitas pekerjaan informal[1],
karena sudah terdapat anggapan umum bahwa buruh yang dapat dilindungi dalam
struktur hukum perburuhan kita adalah buruh yang bekerja dalam atribut-atribut
formal seperti bekerja dengan memakai seragam kerja, memliki kartu tanda
pengenal, dibayar dengan upah minimum, dst. Begitu juga perusahaannya memiliki
sejumlah identitas formal seperti SIUPP, nama perusahaan, NPWP, memiliki kantor
dan pabrik, dst. Walaupun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I (Dr. Ir. Erman
Suparno, MBA, M.Si) sendiri mengakui bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan baik kepada buruh formal maupun
informal yang mempunyai hubungan kerja dengan majikan/pengusaha[2].
Cara pandang dan ambivalensi seperti ini sebenarnya lebih terlihat sebagai
upaya pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap kewajiban untuk
memberikan perlindungan kepada buruh rumahan, sehingga secara empiris buruh
rumahan harus dibiarkan bertarung sendiri dengan kekuatan kapital dari para
majikan/pengusaha serta kekuatan pasar yang selalu menginginkan tersedianya
buruh murah bagi kelangsungan proses produksi barang/jasa.
Disisi lain angkatan kerja kita dalam berbagai
lapangan pekerjaan masih didominasi oleh pekerja sektor informal, hal ini tentu
saja berkorelasi dengan ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan lapangan
pekerjaan formal bagi rakyatnya, sebagaimana data yang tersaji dalam tabel
berikut :
Pekerja Sektor Formal dan Informal
PEKERJA
|
1998
|
2002
|
2007
|
|||
Jml
|
%
|
Jml
|
%
|
Jml
|
%
|
|
Formal
|
30.331.046
|
34,60
|
27.836.019
|
30,37
|
37.839.250
|
37,87
|
Informal
|
57.341.403
|
65,40
|
63.811.147
|
69,63
|
62.090.967
|
62.13
|
Jumlah
|
87.672.449
|
100,00
|
91.647.166
|
100,00
|
99.930.217
|
100,00
|
·
Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 1998, 2002 dan 2007;
Badan Pusat Statistik (BPS)
Sudah banyak studi empiris mengenai pentingnya
sektor informal sebagai sumber alternatif kesempatan kerja, bahkan sering
dijuluki sebagai the last resort bagi
banyak orang di Indonesia. Artinya, harapan atau pilihan terakhir bagi penduduk
miskin atau pengangguran untuk mendapat penghasilan, walaupun sering kali penghasilan
atau upahnya pas-pasan hanya untuk sekedar bertahan hidup. Dari jumlah pekerja
informal tersebut diperkirakan setengahnya adalah buruh rumahan yang bekerja
kepada majikan/pengusaha dengan standar upah jauh dibawah ketentuan Upah
Minimum yang berlaku serta ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan
kerja maupun jaminan sosial, sehingga buruh rumahan adalah bagian dari warga
negara Indonesia yang masih bergelut dengan kemiskinan akibat dari proses
pemiskinan struktural yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara.
Sedangkan ditinjau dari struktur konfigurasi
ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada,
sebanyak 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut
usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam
lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit
usaha atau 39 juta usaha[3].
Hal ini semakin mengukuhkan fakta bahwa pemerintah telah ‘salah urus’ dalam
bidang ekonomi, yaitu tidak berpihaknya pemerintah kepada ekonomi kerakyatan melainkan
kepada sistem ekonomi pasar yang mengakibatkan perputaran kue ekonomi hanya
berkisar kepada para pengusaha besar dan trans nasional saja, sedangkan
sebagian besar rakyat hanya sebagai penonton di negerinya sendiri.
DEFINISI BURUH RUMAHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERBURUHAN INDONESIA
Melihat kenyataan bahwa lebih dari 60% angkatan
kerja kita adalah pekerja informal, maka dalam bahasa sederhana sebenarnya
dapat diartikan bahwa pekerja informallah yang selama ini menjadi bemper
terhadap kegagalan pemerintah untuk memberdayakan sektor formal yang cenderung
lebih baik nasib dan perlindungannya dibandingkan dengan pekerja informal,
tentu menarik untuk melihat lebih jauh apakah buruh rumahan sebagai bagan dari
pekerja informal sebenarnya sudah terlindungi didalam sistem hukum perburuhan
kita ataukah belum, untuk itu perlu dilihat bagaimana pola hubungan kerja yang
dilakukan oleh buruh rumahan dengan majikan/pengusahanya dalam melakukan
pekerjaannya dan kemudian dibandingkan dengan peraturan Perundang-udangan yang
berlaku untuk melihat syarat minimal apakah yang harus dimiliki oleh seorang
buruh yang bekerja pada orang lain, sehingga buruh tersebut dapat memiliki
hak-hak yang diatur oleh hukum perburuhan kita.
Secara tekstual seluruh hukum perburuhan kita belum
mendefinisikan siapa yang dimaksud dengan buruh rumahan, namun secara
internasional buruh rumahan dan segenap permasalahannya telah mendapatkan
pengakuan atas eksistensinya, hal ini dapat dilihat pada Konvensi International Labour Organization Nomor
: 177 Tahun 1996 tentang Pekerja Rumahan, dimana dalam konvensi tersebut pekerja
rumahan didefinisikan sebagai :
(a)
Terminologi
“pekerjaan rumahan”, adalah pekerjaan yang dikerjakan oleh seseorang pekerja
rumahan dengan:
(i)
dikerjakan
di rumah atau di tempat lain diluar tempat kerja pemberi kerja/majikan,
(ii)
secara
pribadi atau terpisah,
(iii)
yang
menghasilkan produk atau jasa yang secara khusus diminta oleh pemberi kerja,
tidak memperoleh upah untuk penggunaan peralatan, bahan baku atau berbagai
masukan yang dipergunakan,
kecuali bila memiliki otonomi dan
independensi ekonomi yang memadai sehingga layak disebut sebagai pekerja
independen dibawah hukum nasional, peraturan atau keputusan pengadilan.
(b)
Seseorang
dengan status pekerja tidak termasuk sebagai pekerja rumahan seperti pada
Konvensi bila secara sengaja memilih bekerja di rumah ketimbang bekerja di
tempat bekerjanya,
(c) Terminologi “pemberi kerja/majikan” adalah seseorang, secara alamiah atau hukum,
baik secara langsung atau melalui perantara yang berbadan hukum, memberi kerja
berupa pekerjaan rumah sebagai bagian dari aktivitas usahanya.
Dari konvensi tersebut dapat dilihat terdapat
karakteristik yang khas yang terdapat pada buruh rumahan dan tidak terdapat
pada buruh pada umumnya, yaitu :
§
Buruh rumahan bekerja didalam rumah atau di tempat
lain di luar lain di luar tempat kerja pemberi kerja/majikan;
§
Buruh rumahan bekerja secara pribadi atau terpisah
dari buruh rumahan lainnya, tidak berkumpul dalam satu tempat seperti di pabrik
atau kantor;
§
Menerima upah berdasarkan borongan atau diupah
berdasarkan volume pekerjaan atau satuan hasil kerja (putting out system)
§
Buruh rumahan tidak memperoleh upah untuk
penggunaan peralatan, bahan baku atau berbagai masukan yang dipergunakan
(seperti penggunaan rumah, listrik, mesin, alat, bahan pendukung produk/jasa,
dll).
§
Proses pembuatan produk barang/jasa
dilakukan bersama-sama dengan anggota keluarga (suami, istri, anak dan/atau
saudara) tetapi mereka tidak dibayar karena upah yang diterima berdasarkan borongan;
§
Pemberi kerja/majikan menentukan produk/barang/jasa
yang harus dikerjakan oleh buruh rumahan secara lisan (perjanjian kerja lisan);
§
Buruh rumahan tidak mempunyai otonomi dan
indepensi untuk menentukan upah dan syarat-syarat kerja lainnya dengan pemberi
kerja/majikan.
Dari pola hubungan kerja yang dilakukan buruh
rumahan tersebut kemudian dapat kita analisa apakah pola hubungan semacam ini dapat
masuk dan dilindungi oleh hukum perburuhan ataukah berada di luar sistem hukum
perburuhan kita. Dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan vide
pasal 1 angka 3 menyebutkan :
“pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain”.
Dari definisi ini mudah kita lihat bahwa buruh
rumahan dalam definisi konvensi ILO Nomor 177 Tahun 1996 atau biasa disebut
dengan buruh rumahan putting out system (POS)
masuk dalam definisi pekerja/buruh menurut ketentuan di atas. Begitu juga
didalam pasal 1 angka 4, 5 dan 6 UU No. 3 tahun 2003 menyebutkan :
“Pemberi
kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain”.
“Pengusaha
adalah :
a. orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri;
b. orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia”.
“Perusahaan
adalah :
a. setiap
bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
b. usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Dari definisi di atas terlihat bahwa pengusaha
tidak harus berbadan hukum, orang perseorangan juga dapat disebut pengusaha
asalkan memiliki sebuah perusahaan yang memiliki usaha baik untuk mencari
keuntungan maupun tidak, serta perusahaan tersebut tidak harus berbadan hukum
ataupun memiliki atribut-atribut formal. Dalam hal ini menjadi jelas bahwa buruh
rumahan POS terlingkupi oleh ketentuan di atas.
Dalam hukum perburuhan hal mendasar yang menjadi
syarat minimal seorang buruh yang bekerja pada pengusaha dapat terlindungi
hak-hak dasarnya adalah apabila hubungan antara buruh dengan pengusaha adalah
dalam status hubungan kerja dan bukan hubungan kemitraan, sedangkan definisi
hubungan kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 vide pasal 1 angka 15 adalah
:
“Hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.
Jadi dimulainya hubungan kerja antara buruh dengan
pengusaha jika terdapat perjanjian kerja, sedangkan perjanjian kerja menurut UU
No. 13 Tahun 2003 vide pasal 51 dapat dibuat secara tertulis maupun
lisan sehingga dalam kasus buruh rumahan POS bentuk perjanjian kerja yang
dilakukan dengan pengusaha yang biasanya berbentuk lisan sebenarnya tidak
mengurangi nilainya untuk dapat masuk dalam ketentuan di atas. Yang harus
dibuktikan adalah apakah perjanjian kerja yang dilakukan oleh buruh rumahan POS
memenuhi unsur-unsur : terdapat pekerjaan, upah dan perintah. Untuk itu perlu
diperjelas apa yang dimaksud dengan unsur-unsur tersebut.
Menurut Soepomo perjanjian kerja terjadi setelah
buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah
dan di mana majikan juga menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh
dengan membayar upah, maka pada saat itulah telah terjadi hubungan kerja antara
buruh dengan majikan[4],
sedangkan jika dilihat lebih jauh unsur-unsur dari perjanjian kerja adalah :
1.
Penunaian Kerja[5]
Penunaian
kerja mempunyai maksud bahwa buruh melakukan suatu pekerjaan tertentu
sebagaimana yang diperjanjikan oleh pihak majikan/pengusaha. Dalam kasus buruh rumahan
POS unsur ini terpenuhi karena memang ada suatu pekerjaan tertentu yang
dilakukan oleh buruh rumahan untuk kepentingan dari majikan/pengusaha.
2.
Ada orang di bawah pimpinan orang lain atau adanya
perintah
Hubungan
kerja ditandai dengan unsur paling dominan adalah adanya wewenang untuk
memerintah dari pihak majikan terhadap pihak buruh, sebab tanpa adanya unsur
ini maka hubungan tersebut bukanlah hubungan kerja. Artinya bahwa kedudukan
antara buruh dan majikan tidaklah sejajar melainkan hubungan sub ordinasi,
sedangkan jika hubungan kedua belah pihak adalah koordinasi/kemitraan seperti
yang terjadi antara pemborong/kontraktor dengan pimpinan proyek (pimpro)
bukanlah hubungan kerja tetapi adalah hubungan perjanjian pemborongan kerja
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1601b kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPa) yang berbunyi :
“Perjanjian-pemborongan-pekerjaan
adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu, pemborong, mengikatkan diri
untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan,
dengan menerima bayaran tertentu”.
Pada
kasus buruh rumahan bahwasanya perjanjian untuk melakukan pekerjaan berlangsung
dalam jangka waktu pendek dan terus diulang-ulang sehingga pekerjaan yang
dilakukan oleh buruh rumahan adalah berlangsung terus dalam jangka waktu yang
lama dan pihak buruh tidak mempunyai bargaining positition untuk
menentukan berapa besar upah yang harus dibayarkan sebagaimana disyaratkan oleh
perjanjian pemborongan kerja (pola koordinasi/kemitraan bukan sub ordinasi),
sehingga pola hubungan yang terjadi antara buruh rumahan POS dapat
dikategorikan sebagai pola hubungan kerja.
Tetapi
jika masih terdapat keragu-raguan terhadap pola hubungan ini maka dapat dilihat
dari pasal 1601c ayat 2 KUHPa yang berbunyi :
“Jika
suatu perjanjian-pemborongan-pekerjaan diikuti oleh beberapa perjanjian semacam
itu, meskipun tiap kali dengan suatu waktu selang, atau jika pada waktu
dibuatnya perjanjian-pemborongan-pekerjaan terang maksud kedua belah pihak
adalah untuk membuat beberapa perjanjian lagi yang semacam sedemikian rupa
sehingga semua perjanjian-pemborongan-pekerjaan itu bersama-sama dapat dianggap
sebagai suatu perjanjian-kerja, maka yang berlaku adalah ketentuan mengenai
perjanjian-kerja terhadap perjanjian-perjanjian tersebut kesemuanya dan
terhadap tiap perjanjian itu sendiri, ...”.
Artinya
jika pola hubungan buruh rumahan berciri POS dengan pengusaha tetap dipaksakan
sebagai jenis perjanjian pemborongan kerja, tetapi karena dilakukan dalam
jangka waktu pendek dan terus diulang-ulang sehingga pekerjaan yang dilakukan
oleh buruh rumahan adalah berlangsung terus dalam jangka waktu yang lama, maka
pola ini berdasarkan ketentuan 1601c ayat 2 KUHP telah dapat disebut sebagai
hubungan kerja karena telah mengandung unsur kepemimpinan atau wewenang untuk
memerintah dari pihak majikan/pengusaha kepada pihak buruh.[6].
Dari
unsur ini dapat dibuktikan bahwa buruh rumahan berciri POS telah memenuhi unsur
perintah ini.
3.
Adanya upah
Yang
dimaksud dengan upah menurut UU No. 13 tahun 2003 vide pasal 1 angka 30 adalah :
“Upah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.
Dari
definisi di atas terbukti bahwa buruh rumahan POS memenuhi unsur tersebut.
Dari unsur-unsur perjanjian kerja di atas menjadi
terang dan jelas bahwa buruh rumahan yang berciri POS secara meyakinkan telah
masuk dalam struktur perlindungan hukum perburuhan Indonesia. Hal ini mempunyai
konsekuensi bahwa buruh rumahan berciri POS juga memiliki seluruh hak-haknya
sebagai buruh yang di atur didalam seluruh peraturan perundang-undangan
perburuhan yang berlaku.
Sehingga seharusnya menjadi kewajiban dari
pemerintah dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi beserta
seluruh jajarannya baik di pusat maupun di daerah untuk dapat berperan aktif
memberikan perlindungan kepada buruh rumahan dan melakukan law enforcement kepada para pemberi kerja/majikan yang tidak
mengindahkan atau melanggar hak-hak normatif dari buruh rumahan.
PRAKTEK PERBUDAKAN PADA BURUH RUMAHAN
Lahirnya UU NO. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenanagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial,
sebenarnya menunjukkan wajah kebijakan penyelenggara negara kita untuk semakin
memperkecil tingkat intervensi negara di bidang perburuhan, hal ini minimal
dapat dilihat dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketentuan-ketentuan tentang
perjanjian waktu tertentu (buruh kontrak) dan lembaga penyalur tenaga kerja (out sourching), sebelum diterbitkannya
UU ini ketentuan tentang buruh kontrak hanya diatur dalam peraturan setingkat
menteri, bahkan out sourching sama
sekali tidak diatur, tetapi UU No. 13 tahun 2003 justru memasukkan permasalahan
ini secara eksplisit, walaupun ketentuan tentang buruh kontrak dan out sourching masih dibingkai dengan
beberapa persyaratan yang harus dilakukan apabila pengusaha akan memberlakukan
kontrak maupun memberlakukan out sourching.
Secara empiris data dari Forum Pendamping Buruh
Nasional (FPBN) menunjukkan selama kurun tahun 2003 sampai dengan 2004 banyak
sekali perusahaan yang melakukan restrukturisasi buruhnya dari buruh tetap
menjadi buruh kontrak dengan melakukan pelanggaran persyaratan yang seharusnya
ditaati berdasarkan UU No. 13 tahun 2003[7],
hal ini dilakukan dengan satu alasan jika buruh dalam status kontrak,
perusahaan tidak dibebani biaya untuk membayar uang pesangon jika buruh kontrak
tersebut tidak diperpanjang kontraknya, dan secara empiris buruh kontrak juga
seringkali tidak mendapatkan hak-hak normatif seperti cuti haid maupun tahunan,
jaminan sosial, dll sebagaimana diperoleh buruh tetap.
Trend yang dilakukan perusahaan ini sebenarnya
dapat dirunut juga dengan kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah, minimal
dapat dilihat dari Ringkasan Eksekutif mengenai Kebijakan Pasar Kerja untuk
Memperluas Pasar Kerja yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) pada akhir tahun 2003[8],
salah satunya mengungkapkan :
“Fleksibiltas
pasar kerja diartikan sebagai kemudahan upah riil dan tingkat kesempatan kerja
untuk menyesuaikan dengan perubahan kondisi dan gejolak dalam perekonomian. Hal
ini bergantung pada kemampuan perusahaan untuk merekrut dan memecat pekerja
dengan biaya yang relatif rendah, dan pada kemampuan untuk menyesuaikan
upah. Dimensi lain dari fleksibilitas pasar kerja adalah kemudahan yang
memungkinkan bagi pekerja untuk pindah dari satu perusahaan ke perusahaan yang
lain, dari satu industri ke industri yang lain, dan dari satu daerah ke daerah
yang lain. Hal tersebut ditentukan oleh akses terhadap informasi mengenai
alternatif-alternatif kesempatan kerja, biaya perpindahan, fleksibilitas upah
dan tingkat pendidikan pekerja”.
Lebih jauh Bappenas dalam Ringkasan Eksekutif yang
sama melakukan penilaian terhadap Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yaitu :
“...Namun,
nuansa ikut campur pemerintah tampaknya masih terlihat pada
bidang-bidang yang biasanya akan lebih baik bila dipecahkan melalui negosiasi
bipartite antara pemberi kerja dan pekerja. Ini terlihat dari keinginan untuk
mengatur secara rinci berbagai ketentuan mengenai kondisi yang sebetulnya akan
jauh lebih baik bila dihasilkan melalui perundingan kolektif. Disamping itu
pemerintah masih banyak ikut campur dalam proses pemutusan hubungan kerja (PHK)
dan penyelesaian perselisihan, padahal saat ini praktek internasional lebih
mendorong pelaksanaan proses-proses pada tingkat perusahaan”.
Hal ini menunjukkan bahwa arah kebijakan pemerintah
dalam bidang perburuhan jelas akan memperkecil peran negara dalam urusan
hubungan kerja antara buruh dengan pengusaha/pemilik modal. Politik perburuhan
yang mendesain supaya buruh gampang direkrut dan gampang dipecat inilah yang
disebut sebagai legalized modern slavery,
atau perbudakan modern yang dilegalkan[9].
Jelas aturan itu bertentangan dengan konstitusi kita yang berasas kekeluargaan
dan kebersamaan atau ekonomi kerakyatan.
Jika buruh yang bekerja dalam atribut formal saja
mengalami pergeseran menuju informalisasi hubungan kerja dan menjurus kepada
praktek legalized modern slavery,
maka dampak terburuk dari kebijakan Informalisasi hubungan kerja ini tentu
sangat dirasakan oleh buruh rumahan POS, cukup banyak data yang menunjukkan
bahwa pola hubungan kerja yang sangat fleksibel dari buruh rumahan membuat buruh
dalam sektor ini tidak hanya mereka tidak mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai
buruh bahkan keberadaan mereka luput dari perhatian maupun perlindungan dari
institusi penyelenggara negara.
Definisi Perbudakan dan Praktek Serupa Dengan Perbudakan
Untuk melihat sejauh mana praktek perbudakan telah
terjadi dan dialami oleh buruh rumahan POS, terlebih dahulu harus dikaji secara
mendalam terminologi dari perbudakan itu sendiri, mengingat permasalahan
perbudakan merupakan sejarah kelam peradaban manusia yang sudah berlangsung
selama ribuan tahun dan masih terus berlangsung sampai dengan saat ini.
Keprihatinan internasional pada perbudakan dan
penindasannya menjadi tema dari banyak perjanjian, deklarasi serta konvensi
pada abad kesembilanbelas dan duapuluh. Konvensi pertama dari tiga konvensi
modern yang langsung berhubungan dengan masalah ini adalah Konvensi Perbudakan
1926 yang dirumuskan Liga Bangsa-Bangsa. Dengan persetujuan Majelis Umum, pada
1953 PBB secara resmi menggantikan Liga Bangsa-Bangsa untuk melaksanakan
Konvensi Menentang Perbudakan. Begitu juga dengan Konvensi Suplementer PBB
tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak dan Praktik Perbudakan dan
Praktik-Praktik Serupa dengan Perbudakan tahun 1956.[10]
Secara tradisional perbudakan diartikan sebagai
kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Saat ini kata “perbudakan”
mencakup segala macam pelanggaran hak asasi manusia. Di samping perbudakan tradisional
dan perdagangan budak, pelanggaran-pelanggaran ini meliputi jual-beli anak,
pelacuran anak, pornografi anak, eksploitasi buruh dan buruh anak-anak,
pemotongan kelamin anak perempuan, penggunaan anak-anak dalam konflik bersenjata, penghambaan sebagai
penebus hutang, perdagangan manusia dan perdagangan organ tubuh manusia,
eksploitasi pelacur dan praktek-praktek tertentu di bawah rezim apartheid dan
penjajahan.
Dalam konteks perburuhan di Indonesia, menurut
Lotte Kejser selaku wakil dari International
Labour Organization (ILO) dilaporkan bahwa masih terdapat sektor-sektor
tertentu yang melibatkan praktek kerja paksa, terutama di sektor informal,
misalnya kalangan pekerja musiman, buruh migran, buruh bangunan, perempuan dan
anak-anak, kaum miskin, pekerja rumah tangga dan pekerjaan yang melibatkan anak
jalanan. Praktek kerja paksa tersebut memang tidak dilakukan secara terbuka dan
ekstrim tetapi walaupun terselubung tetap saja dapat diindikasikan sebagai
kerja paksa, misalnya di banyak kasus seringkali terjadi di mana posisi pekerja
sangat tergantung pada majikan dan pekerja tidak punya posisi tawar dengan
majikan sehingga majikan dapat dengan semena-mena mengambil keuntungan dari
pekerja, ada juga kasus tentang kontrak kerja yang dibuat sedemikian hingga
pekerja tidak berhubungan langsung dengan majikan melainkan melalui perantara[11].
Salah satu hal yang mengakibatkan praktek yang menjurus ke arah kerja paksa
adalah karena di Indonesia tidak semua sektor pekerjaan di Indonesia terjangkau
oleh hukum perburuhan diantaranya adalah sektor buruh rumahan.
Studi Kasus Praktek Serupa Perbudakan Pada Buruh Rumahan
Untuk menguji apakah telah terjadi praktek serupa
perbudakan dialami oleh buruh rumahan, Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia
(MWPRI) telah melakukan studi kasus yang mendalam terhadap buruh rumahan diberbagai
lapangan pekerjaan seperti sektor industri, pertanian, listrik, manufaktur,
perdagangan, angkutan, dll diberbagai wilayah seperti Jawa timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat, DKI Jakarta, Palembang, dll. Untuk itu akan dicuplik studi kasus
yang terjadi di Kabupaten Malang, salah satunya adalah kasus yang terjadi
kepada buruh rumahan yang memproduksi Sepatu merk “Modello”. Penelitian
dilakukan pada tahun 2008 dan data di perbaharui dengan kondisi terbaru pada
tahun 2009, sebagai berikut :
Profil Perusahaan
UD. Sepatu Sani beralamat di Jln Abdul Rachman
Saleh No. 17 Desa Asrikaton Kecamatan Pakis Kabupaten Malang, No. Telp. (0341)
792222, perusahaan ini memproduksi sepatu dengan merek : Modello, Choix, Scholl
dan Rohde dengan tujuan ekspor ke negara Malaysia, Singapura, Jerman dan Dubai.[12]
Menurut Sdr. Josua Sembayong selaku Direktur Utama
UD. Sepatu Sani, perusahaan ini memiliki 600 orang buruh kontrak dan 90%-nya
adalah perempuan, produk sepatu perusahaan ini dijual dengan harga antara
Rp.200.000,00 s/d Rp.1.000.000,00, untuk sepatu dengan merek “Modello” dijual
dengan harga berkisar Rp.300.000,00.[13]
Perusahaan ini juga memproduksi sandal, tas, ikat pinggang dan dompet dengan
merek “Modello”. Dari hasil penelurusan menggunakan jaringan internet diperoleh
data-data dari pasar internasional pada bulan Maret 2009 sebagai berikut :
§
Sepatu dengan merek “Modello” dijual dengan harga
berkisar US $154,99 atau sekitar Rp.1.859.880,00 dengan kurs Rp.12.000,00 per 1
US $[14];
§
Sandal dengan merek “Scholl” dijual dengan harga
berkisar £34,99 s/d £44,99 atau sekitar Rp.591.331,00 s/d Rp.760.331,00 dengan
kurs Rp.16.900,00 per 1 £[15];
§
Sepatu dan sandal dengan merek “Rohde” dijual
dengan harga berkisar £25 s/d £65 atau sekitar Rp.422.500,00 s/d
Rp.1.098.500,00 dengan kurs Rp.16.900,00 per 1 £.[16]
Profil Buruh Rumahan
No.
|
KONDISI BURUH RUMAHAN
|
KETENTUAN YANG DILANGGAR
|
1.
|
Status Buruh Rumahan informal
§ Sebagian besar adalah perempuan mantan buruh di
pabrik dari UD. Sepatu Sani, perusahaan tidak mengakui adanya buruh rumahan
karena tidak terdaftar di perusahaan, buruh rumahan hanya dipekerjakan jika
perusahaan mendapatkan order yang tidak dapat diselesaikan oleh buruh
pabriknya.
|
§ Ketentuan out
Sourching dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
mensyaratkan bahwa out Sourching dapat
dilakukan dengan tetap melakukan perjanjian kerja secara formal;
§ Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
|
2.
|
Upah yang diterima dibawah UMK
§ Upah diberikan borongan sebesar Rp.2.200,00 s/d
Rp.2.850,00 per pasang;
§ Buruh dapat menyelesaikan pekerjaan sebanyak 10
s/d 15 pasang per hari;
§ Rata-rata upah per minggu sebesar Rp.2.325,00 per
pasang x 13 pasang/hari x 6 hari/minggu = Rp.181.350,00 per minggu atau Rp.725.400,00 per bulan
|
§ SK GUB. No. 188/40/KPTS/013/2009 tentang UMK di
Jatim 2009 yang menetapkan Upah Minimum Kab. Malang Tahun 2009 sebesar Rp.954.500,00
per bulan;
|
3.
|
Terdapat Buruh yang tidak dibayar
§ Buruh rumahan dapat menyelesaikan pekerjaan
sebanyak 10 s/d 15 pasang sepatu karena dikerjakan oleh 2 s/d 4 orang
(seluruh anggota keluarga) rata-rata dikerjakan oleh 3 orang, tetapi yang
memperoleh upah dihitung tetap 1 orang, sehingga rata-rata 2 orang buruh
tidak memperoleh upah.
|
§ Konvensi Liga Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan
Perbudakan Tahun 1926 dan Konvensi Suplementer PBB tentang Penghapusan
Perbudakan, Perdagangan Budak dan Praktik Perbudakan dan Praktik-Praktik
Serupa dengan Perbudakan tahun 1956;
§ UU No. 19 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi
ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa;
§ UU no. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
§ UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
|
4.
|
Buruh Anak tidak dibayar
§ Terdapat buruh anak yang turut bekerja membantu
menyelesaikan pembuatan sepatu tetapi tidak memperoleh upah.
|
§ Idem;
§ UU No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi
ILO No. 138 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja;
§ UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak.
|
5.
|
Upah lembur tidak dibayar
§ Alokasi waktu untuk menyelesaikan pembuatan 10
s/d 15 pasang sepatu melebihi 10 jam per hari dan melebihi 40 jam per minggu
tetapi perusahaan tidak membayar upah lembur kepada buruh rumahan.
|
§ UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
§ Kepmenakertrans No. 102 Tahun 2004 tentang Waktu
Kerja Lembur dan Upah Lembur.
|
6.
|
Buruh tidak mendapatkan libur mingguan, cuti haid
dan hamil bagi buruh perempuan, cuti tahunan dan Tunjangan Hari Raya
|
§ UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
|
7.
|
Tidak ada alat-alat kesehatan dan keselamatan kerja
§ Tidak ada masker bagi buruh dan anak yang
dipekerjakan dari bahaya paparan zat kimia lem yang dipergunakan pada saat
mengelem sepatu;
§ Kondisi rumah tidak didesign sebagai tempat
bekerja yang aman (ex. Lampu penerangan dan fentilasi seadanya serta debu
yang tidak disedot dengan exhaust fan)
§ Buruh anak melakukan pekerjaan dengan alat yang
membahayakan keselamatan kerja (ex. Mesin jahit, Jarum dan bahaya tersengat
listrik)
|
§ UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi
ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;
§ UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
§ UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
§ UU no. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
§ UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
§ Kepmenakertrans No. 235 Tahun 2003 tentang
Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral
Anak.
|
8.
|
Tidak ada Jaminan Sosial
§ Buruh tidak diikutkan menjadi peserta program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) ataupun program jaminan sosial
lainnya
|
§ UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
§ UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.
|
9.
|
Buruh Menanggung sebagian biaya produksi
§ Rumah yang dipergunakan sebagai tempat produksi
tidak dibayar oleh perusahaan;
§ Listrik dan air tidak dibayar oleh perusahaan;
§ Limbah produksi sepatu dibebankan kepada buruh
rumahan;
§ Transport pengambilan bahan baku dan penyetoran
hasil produksi sepatu ditanggung oleh buruh;
§ Buruh tidak dibayar jika hasil akhir mengalami
kerusakan atau tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.
|
§ Belum
terdapat ketentuan yang mengatur
|
Kondisi yang dialami oleh buruh rumahan yang
memproduksi sepatu “Modello” di atas tidak hanya memberikan fakta bahwa telah
terjadi pelanggaran hak-hak normatif yang seharusnya diterima oleh buruh,
melainkan lebih jauh sudah dapat dikategorikan praktek perbudakan modern atau
setidak-tidaknya adalah praktek serupa dengan perbudakan, paling tidak dapat
dilihat dari beberapa aspek, yaitu :
§
Buruh dibayar dengan upah dibawah ketentuan Upah
Minimum, sehingga buruh dan keluarganya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup
dasarnya;
§
Terdapat buruh yang tidak memperoleh upah atas
hasil kerjanya yang menjurus praktek kerja paksa;
§
Terdapat eksploitasi terhadap buruh anak, selain
tidak memperoleh upah, buruh anak dipekerjakan dalam kondisi tidak terlindungi
kesehatan dan keselamatan kerjanya dengan melakukan pembiaran mereka terpapar
bahan kimia berbahaya dan mesin serta alat yang membahayakan keselamatannya;
§
Pemerintah melakukan praktek pembiaran terjadinya
praktek semacam ini dengan dalih “daripada mereka menjadi pengangguran, masih
mending mereka bekerja walaupun dengan kondisi minimal”.
Praktek serupa dengan perbudakan yang dialami oleh buruh rumahan yang
memproduksi sepatu “Modello” ini sebenarnya hanyalah serpihak kecil yang
terserak dari kondisi buruh rumahan secara umum, karena masih terdapat buruh
rumahan yang bekerja dengan kondisi yang jauh lebih buruh dari yang dialami
oleh buruh rumahan yang memproduksi sepatu “Modello, hal ini menunjukkan dampak
terburuk dari kebijakan labour market
flexibility dari UU No. 13 Tahun 2003 yang melegalkan praktek out sourching di Indonesia.
MENGGAPAI JAMINAN SOSIAL PADA BURUH RUMAHAN
Ditengah kondisi yang sungguh memprihatinkan yang
dialami oleh buruh rumahan, masih terdapat secercah harapan yang tersisa,
karena pada bulan Oktober 2004 Penyelenggara Negara telah mengesahkan UU No. 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU ini dilahirkan
salah satunya untuk melakukan perubahan yang cukup radikal dalam sistem jaminan
sosial yang selama ini tidak diberikan secara merata kepada seluruh rakyat
Indonesia, mengapa demikian? Karena UU ini tidak hanya memberikan jaminan
sosial kepada segelintir rakyat seperti UU sebelumnya antara lain buruh dengan
Jamsostek, Pegawai Negeri dengan Taspen dan Askes, Tentara Nasional Indonesia
dengan ASABRI, tetapi SJSN diberlakukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 2 dan 3 yang berbunyi :
Pasal 2
|
:
|
“Sistem Jaminan Sosial Nasional
diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
|
Pasal 3
|
:
|
“Sistem Jaminan Sosial Nasional
bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang
layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya”.
|
Sedangkan didalam penjelasan umum UU SJSN ini
disebutkan bahwa jaminan sosial ini diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia
yang karena sesuatu hal telah mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan
karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan,
memasuki usia lanjut, atau pensiun. Ketentuan ini merupakan lompatan yang luar
biasa karena pada saat yang sama ribuan buruh di berbagai wilayah sedang
memperjuangkan tuntutan disahkannya atau dilakukan revisi penetapan upah
minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak mengingat berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Permenakertrans) No. PER-17/MEN/VIII/2005 tentang Komponen dan
Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, penentuan upah minimum
berdasarkan KHL tidak diberlakukan secara seketika melainkan secara bertahap
sesuai dengan pentahapan yang akan diputuskan oleh Gubernur.
Dalam Permenakertrans yang dimaksud dengan standar
kebutuhan hidup layak disebutkan yang dijadikan sebagai acuan penentuan upah
minimum adalah :
Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang
pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan
sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan, meliputi 7 (tujuh) komponen, yaitu :
a. Makanan
dan minuman;
b. Sandang;
c. Perumahan;
d. Pendidikan;
e. Kesehatan;
f. Transportasi;
dan
g. Rekreasi
dan Tabungan.
Dari definisi Kebutuhan Hidup Layak tersebut dapat
dilihat bahwa ketentuan yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN kualitasnya jauh di atas
Permenakertrans, hal ini dapat dilihat paling tidak dari aspek penentuan upah
minimum, berdasarkan Permenakertrans didasarkan hanya pada kebutuhan
hidup layak dari seorang buruh lajang, sedangkan UU SJSN sudah
memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan hidup layak untuk peserta program
ini beserta anggota keluarganya, artinya adalah tingkat upah/kesejahteraan
dari seorang buruh yang aktif bekerja nilainya masih jauh lebih rendah jika
buruh tersebut memperoleh klaim yang dia terima melalui program SJSN jika yang
bersangkutan mengalami hal-hal seperti sakit, di-PHK, dll yang diatur oleh UU
SJSN, atau dengan kata lain seorang buruh yang mengikuti program SJSN
ini jauh lebih sejahtera jika dalam kondisi sakit atau ter-PHK, karena
kebutuhan hidup secara layak dirinya beserta anggota keluarganya ditanggung
sepenuhnya oleh Negara melalui program SJSN.
UU SJSN ini seharusnya juga mengakhiri dikotomi
apakah pekerja rumahan masuk dalam kategori formal ataukah informal, mengingat
UU SJSN ini berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia dan kepesertaannya tidak
dibatasi dengan golongan tertentu, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 8
yang berbunyi :
“Peserta adalah setiap orang, termasuk
orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah
membayar iuran”.
Jadi syarat menjadi peserta SJSN ini adalah hanya
membayar iuran kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang kemudian Badan
ini wajib memberikan nomor identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota
keluarganya. Dalam kasus pekerja rumahan yang upahnya sangat jauh di bawah upah
minimum, apakah mampu membayar iuran yang nanti ditetapkan, Pasal 13 dan 14 UU
SJSN memberikan kepastian bahwa setiap orang dapat menjadi peserta program
jaminan sosial ini, yaitu :
1. Bagi
seseorang yang bekerja, maka pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan
pekerjanya kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan wajib membayar iuran
dari pekerjanya berdasarkan persentase yang ditentukan antara persentase yang
wajib dibayar oleh pemberi kerja dan persentase
yang wajib dibayar oleh pekerjanya. Hal ini bisa dilakukan oleh buruh
rumahan POS, seberapa kecil upahnya nanti akan dipotong untuk membayar iuran
SJSN ini, dan jika ternyata tidak mencukupi, maka
2. Pemerintah
memberikan bantuan iuran kepada fakir miskin dan orang tidak mampu, sehingga
semua rakyat pada akhirnya akan menjadi peserta dari program SJSN ini. Hal ini
juga membuka peluang bagi pekerja rumahan mandiri karena dapat membayar iuran
semampunya dan kekurangannya akan ditanggung oleh Pemerintah.
Program SJSN ini memberikan jaminan sosial dalam
bentuk terpenuhi kebutuhan dasar di bidang kesehatan, jaminan kecelakaan,
jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. UU SJSN ini memberikan
kesetaraan dan jaminan sosial yang sama dengan yang diperoleh oleh Pegawai
Negeri Sipil bagi seluruh rakyat Indonesia. UU SJSN menyatakan bahwa pada tahap
pertama Pemerintah akan memberikan bantuan iuran untuk jaminan kesehatan dan
bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib untuk menyesuaikan dengan UU SJSN
ini paling lambat 5 (lima) tahun ke depan.
Sepintas UU SJSN ini memberikan angin perubahan
bahwa negara tidak melupakan tanggung jawabnya untuk melindungi setiap warga
negaranya dalam hal jaminan sosial (social protection), tetapi sampai
dengan batas akhir UU SJSN harus sudah dilaksanakan secara full paket pada tanggal 19 Oktober 2009, masih belum juga terdapat
langkah dan kebijakan kongkrit untuk operasionalisasi UU SJSN ini, sehingga
timbul dugaan bahwa UU SJSN ini hanyalah sebagai lips service dari penyelenggara negara untuk membohongi rakyatnya
dengan memberikan jargon kosong bahwa negara ini masihlah negara yang menganut
asas welfare state tetapi kenyataannya kosong belaka.
REKOMENDASI
Buruh rumahan adalah buruh yang harus dipenuhi
hak-hak dasarnya sebagai manusia, setiap bentuk penindasan dan eksploitasi
terhadap buruh rumahan adalah praktek modern
slavery yang harus diberantas tuntas sampai ke akarnya. Hubungan buruh
rumahan dengan pemberi kerja/majikan harus diarahkan pada hubungan kontraktual,
dengan adanya perjanjian kerja tertulis antara buruh rumahan dengan pemberi
kerja/majikan dapat diharapkan tercapai sebuah kondisi keseimbangan hak dan
kewajiban diantara para pihak serta dapat terpenuhinya kebutuhan hidup layak
bagi buruh rumahan. Untuk itu diperlukan serangkaian perubahan kebijakan yang
mendorong perubahan dan peningkatan kesejahteraan dan posisi tawar dari buruh
rumahan, cukup sudah buruh rumahan hanya menjadi penonton pembangunan di negeri
ini, jangan lagi buruh rumahan hanya menjadi bagian yang termarginal dan
tersubordinasi dari proses pembangunan di negeri ini, untuk itu diperlukan :
§
Ratifikasi Konvensi ILO No. 177 Tahun 1996 tentang
pekerja rumahan;
§
Revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
sehingga memasukkan secara tekstual definisi buruh rumahan beserta seluruh
karakteristiknya yang khas yang menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup layak
bagi buruh rumahan;
§
Implementasikan sekarang juga UU No. 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sebelum batas akhir pada tanggal 19
Oktober 2009, jika rejim Susilo Bambang Yudono – Jusuf Kalla masih ingin
memperoleh legitimasi dari rakyat Indonesia khususnya para buruh rumahan.
[1]
Lihat Tianggur Sinaga : Peluang
Perluasan Program Jamsostek di Sektor Informal (2004)
[2]
“Sinkronisasi
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Ditinjau Dari Perspektif Jaminan Sosial
Tenaga Kerja”; Presentasi Menakertras pada Rakernas II Sistem
Jaminan Sosial Nasional (2008)
[5]
F.X Djumialdji, S.H., Perjanjian Kerja; (2001:18-20); lihat juga DR. H.
Koko Kosidin, S.H.MH., Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan, dan
Peraturan Perusahaan (1999)
[7]
Ringkasan Eksekutif FBPN : Kondisi Perburuhan dan Praktek Sistem Kerja
Kontrak; dikutip dari Jurnal Perburuhan (2005)
[8]
Direktorat Ketenagakerjaan dan Analisa Ekonomi, Bappenas, dalam Ringkasan
Eksekutif : “Kebijakan Pasar Kerja Untuk Memperluas Kesempatan Kerja” (2003)
[10] www.komnasham.go.id; Lembar
Fakta HAM :“Bentuk-Bentuk Perbudakan
Masa Kini”; 2008
[13] www.suryaonline.com; 2007, lihat juga Lau
Kwok Yin Patrick, Yang Chen Freda, “Studi
Kasus Produksi Sepatu Oleh Pekerja Rumahan di Desa Asrikaton Kab. Malang”, dipublikasikan
terbatas; 2008
[14] www.cgi.ebay.com; 2009
[15] www.shoe-shop.com; 2009
[16] idem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar