Hukum Perburuhan di Indonesia dan Nasib Pekerja Rumahan

HUKUM PERBURUHAN INDONESIA
DAN NASIB PEKERJA RUMAHAN (HOME WORKER)

Oleh: Ratno Cahyadi Sembodo*)

I.          PENDAHULUAN

Bermula dari diskusi-diskusi yang dilakukan oleh Penulis dengan kawan-kawan Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) dan kawan-kawan Himpunan Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (HWPRI) mengenai nasib para pekerja rumahan di negeri ini yang masih belum terlindungi dan belum menjadi perhatian serta prioritas dari para pengambil kebijakan.

Ditambah dengan pertemuan-pertemuan yang dilakukan di basis-basis perempuan pekerja rumahan di kabupaten Malang, mendorong Penulis untuk menganalisa lebih jauh sebenarnya bagaimana hukum perburuhan kita melihat dan melindungi mereka.

Istilah hukum perburuhan dalam judul makalah ini mengacu kepada pendapat Moleenar yang menyatakan bahwa hukum perburuhan adalah:
“Bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa”.


Sedangkan menurut Imam Soepomo istilah hukum perburuhan didefinisikan sebagai:
”himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah”.[1]

Dari sudut pandang ini Penulis akan melakukan analisa apakah permasalahan pekerja rumahan sudah merupakan peristiwa hukum dimana pekerja rumahan telah mempunyai hubungan kerja dengan para majikan yang menjadi ruang lingkup dari hukum perburuhan Indonesia ataukah permasalahan pekerja rumahan adalah permasalahan dari hukum ketenakerjaan kita. Ini menjadi penting karena definisi perburuhan seperti pendapat Soepomo, berbeda dengan definisi ketenagakerjaan sebagaimana dapat dilihat didalam pasal 1 angka 1 Undang-undang (UU) No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut:
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja”.

Sedangkan pada pasal 1 angka 2 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan:
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.

Definisi mengenai pekerja rumahan belum tertulis secara tekstual di dalam hukum positif kita, oleh karena itu Penulis menggunakan definisi yang ada di dalam Konvensi PBB tahun 1996 tentang pekerja rumahan, berdasarkan terjemahan dari Hesti[2] pekerja rumahan dalam konvensi tersebut didefiniskan sebagai:

“Istilah Home Work berarti kerja oleh seseorang, yang disebut sebagai pekerja rumahan {home workers) Di dalam rumahnya atau di tempat lain yang dipilihnya, di luar tempat kerja milik pengusaha/majikan Untuk memperoleh upah. Hasilnya berupa produk atau jasa yang ditetapkan oleh pengusaha/majikan, terlepas dari siapa yang menyediakan bahan baku, peralatan dan input lain yang dipergunakan”.


II.        KARAKTERISTIK PEKERJA RUMAHAN

Dari beberapa diskusi dengan kawan-kawan yang peduli dengan permasalahan ini dan berinteraksi secara langsung ke lapang dengan kawan-kawan pekerja rumahan. Penulis melihat beberapa karakteristik yang khas dari pola pekerja rumahan di dalam melakukan pekerjaan dan dalam hubungannya dengan para pengusaha atau majikan
 yang memang berbeda dengan kondisi hubungan kerja antara buruh dengan majikan di pabrik dan industri lain yang menggunakan tempat usaha di wilayah yang menjadi milik pengusaha, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Pekerja rumahan yang bekerja di dalam rumah dengan mengambil pekerjaan dari majikan, karakteristik yang muncul dalam pola ini adalah:
ü  tidak ada perjanjian kerja secara tertulis dengan majikan/ pengusaha
ü  sifat pekerjaan tidak tetap tapi berubah-ubah sesuai dengan kondisi pasar dari majikan dan tingkat persaingan diantara para pekerja rumahan sendiri. Siklus waktu satu pengambilan pekerjaan dari majikan sampai dengan dengan selesainya pekerjaan tersebut sangat pendek antara 1 hari sampai dengan 1 minggu, tetapi terus berulang sehingga menjadi pekerjaan yang rutin dan berlangsung terus menerus.
ü  menerima upah berdasarkan borongan atau diupah berdasarkan volume pekerjaan atau satuan hasil kerja.
ü  pengusaha yang secara absolut menentukan besarnya upah per satuan hasil kerja dan pekerja rumahan tidak mempunyai nilaitawar sama sekali dalam penentuan besarnya upah
ü  majikan menentukan kriteria dan standar mutu dari hasil pekerjaan dan menentukan apakah hasil pekerjaan dari pekerja rumahan dapat diterima oleh pengusaha atau tidak. Jika hasil pekerjaan diterima oleh majikan maka pekerja rumahan akan menerima upahnya dan jika hasil pekerjaan tidak diterima oleh majikan maka buruh tidak menerima upahnya dan hasil pekerjaan yang rusak tersebut menjadi tanggungan dari pekerja rumahan dan harus diganti/dibayar oleh pekerja rumahan. Didalam melakukan pekerjaannya, pekerja rumahan tidak mendapatkan supervisi dari majikan/ pengusaha karena aktifitas pekerjaan dilakukan di rumah pekerja dan bukan di tempat majikan.
ü  Pekerja rumahan ikut menanggung biaya produksi dari produk yang dihasilkan   seperti: tempat usaha (rumah), listrik, alat-alat produksi (contoh dalam industri garmen pekerja rumahan harus menanggung dan membeli sendiri mesin jahit, benang, jarum, biaya perawatan mesin jahit, Seringkali untuk memperbesar upah yang diterima pekerja rumahan dalam melakukan pekerjaan juga melibatkan anggota keluarga yang lain untuk membantu pekerjaan tersebut, tetapi pihak yang membantu tidak menerima upah dari majikan.
ü  Karena bersifat borongan tidak ada ketentuan jam kerja, lembur, istirahat mingguan, cuti haid, cuti hamil, cuti tahunan dll. sebagaimana yang berlaku di dalam hukum perburuhan kita.
ü  Walaupun jam kerja yang dilalui oleh pekerja rumahan untuk menyelesaikan pekerjaan biasanya sangat panjang atau pasti melebihi waktu 7 jam dalam sehari dan 40 jam dalam waktu seminggu sebagaimana diatur dalam hukum perburuhan, tetapi upah yang diterima sangat kecil jauh dibawah ketentuan upah minimum kabupaten yang berlaku.
ü  Tidak ada alat-alat keselamatan dan kesehatan kerja yang disediakan oleh majikan, tidak ada jaminan atas kesehatan dan kecelakaan kerja, serta tidak ada jaminan atas pensiun dan hari tua sebagaimana diamanatkan oleh peraturan mengenai jaminan sosial yang berlaku dalam hukum perburuhan.

Pekerja rumahan yang mempekerjakan orang lain dan atau ikut bekerja dengan mengambil pekerjaan dari majikan, karakteristik yang muncul dalam pola ini adalah:
ü   Dalam kondisi order yang cukup banyak dimana pekerja rumahan tidak mampu memenuhi pesanan dari majikan dalam waktu yang di tentukan oleh majikan, biasanya pekerja rumahan akan merekrut orang lain untuk menyelesaikan order tersebut. Pekerja rumahan akan mengambil keuntungan sedikit dalam proses ini dengan jalan menurunkan harga per satuan unit yang ditetapkan oleh majikan kepada orang yang mengambil pekerjaan dari pemegang order
ü  Pekerja rumahan sebagai pemegang order harus menanggung setiap kesalahan atau kerusakan hasil produksi yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh majikan akibat dari hasil pekerjaan orang yang mengambil pekerjaan (sub pekerjaan).
Dalam banyak kasus pekerja rumahan dapat menjadi pemegang order jika dia mempunyai modal lebih untuk membeli beberapa alat-alat produksi dan atau bahan-bahan penunjang produksi yang akan dipergunakan oleh orang yang mengambil sub pekerjaan.
Secara umum kondisi dan sistem yang berlaku dalam melakukan pekerjaan sama dengan point no. 1.
ü  Karena sifat pekerjaan yang berubah-ubah kontinuitasnya, begitu juga dengan posisi pekerja rumahan juga berubah-ubah diantara point no. 1 dan point no. 2 tergantung kondisi pasar dari majikan dan kondisi modal dari pekerja rumahan apakah mampu untuk membeli alat-alat dan atau bahan penunjang produksi bagi pekerja yang akan men-sub pekerjaan.

Sistem pekerja rumahan ini tidak terbatas dalam point no.1 dan no. 2 saja tergantung jenis dan sifat barang yang diproduksi, tetapi dapat lebih banyak banyak, misalnya: majikan - pemegang sub pekerjaan 1 sub pekerjaan 2, dst. Dan juga bisa memendek dan memanjang tergantung kondisi pasar dan modal kerja yang dipunyai oleh pekerja rumahan. [3] Point no. 1 dan no. 2 biasa dikenal istilah pekerja rumahan yang mempunyai sistem kerja putting out sistem (POS).

Pekerja rumahan yang bekerja secara mandiri dalam membuat produk barang dan memasarkan sendiri produk tersebut, karakteristik yang muncul dalam pola ini adalah:
ü   Pekerja rumahan dalam membuat produk barang seringkali dibantu oleh anggota keluarga tanpa memperhitungkan mereka harus diberi upah.
ü  Skala produksi yang sangat kecil karena memang modal yang sangat kecil, mutu yang rendah dan akses pasar yang minim, membuat tingkat upah sangat jauh dari ketentuan upah minimum kabupaten yang berlaku.
ü  Jika pasar dalam kondisi ramai biasanya pekerja rumahan akan merekrut orang lain untuk membantu pekerjaan dengan memberi upah berdasarkan upah borongan, walaupun sangat murah.
ü  Kondisi kerja dan tingkat kesejahteraan sama dengan point no. 1
Tipe pekerja rumahan ini juga dikenal dengan nama pekerja rumahan yang berciri self employment (SE)


III.       Perlindungan Hukum Pekerja Rumahan Dalam Hukum Perburuhan Indonesia

Melihat karakteristik yang terjadi dalam pola hubungan kerja antara pekerja rumahan dengan majikannnya, memang merupakan pola yang khas yang berbeda dengan pola hubungan antara buruh dan majikan yang biasa kita temui di sektor industri maupun perusahaan yang memiliki badan hukum, pekerja rumahan yang memiliki ciri POS minimal terlihat beberapa aspek hukum seperti:
ü  perjanjian kerja untuk melakukan suatu pekerjaan antara pekerja rumahan dengan majikannya bersifat lisan dan mempunyai jangka waktu yang sangat pendek antara 1 hari sampai dengan 1 minggu. Tetapi terus berulang sehingga menjadi pekerjaan rutin yang berlangsung terus menerus.
ü  majikan tidak melakukan supervisi terhadap aktifitas pekerja rumahan dalam bekerja tetapi pengusaha melakukan kontrol terhadap mutu dan standarisasi hasil kerja.
pekerja rumahan tidak mempunyai bargaining positition dalam menentukan standar upah yang diberikan oleh majikan.
ü  walaupun ada beberapa pekerja rumahan yang mempekerjakan orang lain tetapi dia juga tidak mempunyai bargaining positition dengan majikan dalam menentukan tingkat upah yang harus diterimanya.

Dari ciri khas yang terjadi antara pekerja rumahan tipe POS dengan majikannya tersebut, tentu pertanyaan menarik adalah bagaimana hukum perburuhan kita melihatnya, apakah pola hubungan semacam ini dapat masuk dan dilindungi oleh hukum perburuhan ataukah pola hubungan kerja semacam ini berada di luar sistem hukum perburuhan kita.
Di dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan didalam pasal 1 angka 3 menyebutkan:
”pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Definisi ini konsisten juga dengan beberapa peraturan yang lain seperti pasal 1 angka 9 UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juncto pasal 1 angka 6 UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh serta beberapa peraturan lain mengenai perburuhan. Dari definisi di atas terlihat bahwa pekerja rumahan juga masuk dalam definisi ini karena pekerja rumahan juga melakukan pekerjaan dengan tujuan untuk memperoleh upah, begitu juga didalam pasal 1 angka 4 UU No. 3 tahun 2003 menyebutkan:
”Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lainnya”.



Di dalam pasal 1 angka 5 UU No. 13 tahun 2003 juga menyebutkan:
a.    “Pengusaha adalah: orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.    orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya”.
c.    orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Sedangkan di dalam pasal 1 angka 6 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan:
Perusahaan adalah:
a.    setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/ buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b.    usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Definisi di atas juga konsisten dengan beberapa aturan hukum yang lain misalnya pasal 1 angka 6 dan 7 UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juncto pasal 1 angka 7 dan 8 UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh juncto pasal 1 angka 3 dan 4 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan aturan-aturan hukum perburuhan yang lain.
Sehingga menjadi jelas bahwa pengusaha/majikan yang menjalankan perusahaan dari pekerja rumahan masuk dalam definisi di atas karena sifat aturan tersebut yang memberikan ruang baik berbadan hukum maupun tidak asal merupakan suatu bentuk usaha yang mempekerjakan orang lain dalam menjalankan proses produksi. Tetapi secara empiris biasanya para pengusaha tidak mengakui bahwa mereka mempekerjakan pekerja rumahan karena proses produksinya tidak dilakukan di tempat majikan tetapi di rumah pekerja rumahan.

Untuk menjawab masalah tersebut dapat kita lihat di dalam pasal 1 angka 14 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan:
”Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.

Pasal 1 angka 14 UU No. 13 tahun 2003 sebenarnya memperluas ruang lingkup hukum perburuhan karena menyebutkan bahwa perjanjian kerja tidak hanya dilakukan oleh buruh dengan pengusaha saja tetapi juga dengan pemberi kerja dimana terdapat perbedaan arti
antara pengusaha yang harus memiliki perusahaan sedangkan pemberi kerja tidak harus memiliki perusahaan. Sehingga hubungan antara Pembantu Rumah Tangga (PRT) dengan majikannya dapat terlindungi oleh UU ini karena PRT berarti mempunyai hubungan kerja dengan pemberi kerja dan bukan dengan pengusaha. Tetapi pasal ini dianulir sendiri oleh pasal 1 angka 15 UU No. 13 tahun 2003 yang menyebutkan:
”Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja , yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.

Dan pasal 50 UU No. 13 tahun 2003 yang menyebutkan:
”Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/ buruh”.

pasal ini mengurangi nilai perlindungan terhadap kelompok lemah seperti PRT yang nota bene termasuk pekerja rumahan karena mereka menjadi tidak termasuk bagian dari UU ini, jadi benar bahwa tuntutan banyak kawan-kawan aktivis yang meminta kepada para pengambil kebijakan untuk membuat UU yang secara khusus mengatur tentang PRT.

Bukan karena hubungan antara PRT dengan majikannya adalah hubungan kekeluargaan tetapi karena PRT tidak bekerja kepada majikan yang memiliki perusahaan sebagaimana diatur didalam hukum perburuhan.

Berdasarkan pasal-pasal dalam aturan di atas dapat disimpulkan bahwa baru terdapat hubungan kerja jika telah terdapat perjanjian kerja antara buruh dengan majikan, pertanyaannya adalah dalam kasus pekerja rumahan apakah telah terdapat perjanjian kerja sehingga kemudian terjadi hubungan kerja antara pekerja rumahan dengan majikannya. Untuk menjawab hal tersebut kita harus memulai dengan unsur-unsur yang terkandung di dalam perjanjian kerja, menurut Soepomo perjanjian kerja terjadi setelah buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan di mana majikan juga menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah, maka pada saat itulah telah terjadi hubungan kerja antara buruh dengan majikan.[4] Sedangkan perjanjian kerja itu sendiri dapat dibuat secara tertulis maupun tidak seperti yang tercantum di dalam pasal 51 ayat (1) UU no. 13 tahun 2003 yang berbunyi:
”Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan”.

Sedangkan unsur-unsur dari perjanjian kerja adalah:
1.    Penunaian Kerja
Penunaian kerja mempunyai maksud bahwa buruh melakukan suatu pekerjaan tertentu sebagaimana yang diperjanjikan oleh pihak majikan.[5]
Dalam kasus pekerja rumahan unsur ini terpenuhi karena memang ada suatu pekerjaan tertentu yang dilakukan oleh pekerja rumahan untuk kepentingan dari majikan.

2.    Ada orang di bawah pimpinan orang lain
Hubungan kerja ditandai dengan unsur paling dominan adalah adanya wewenang untuk memerintah dari pihak majikan terhadap pihak buruh, sebab tanpa adanya unsur ini maka hubungan tersebut bukanlah hubungan kerja. Artinya bahwa kedudukan antara buruh dan majikan tidaklah sejajar melainkan hubungan sub ordinasi, sedangkan jika hubungan kedua belah pihak adalah koordinasi seperti yang terjadi antara pemborong/kontraktor dengan pimpinan proyek (pimpro) bukanlah hubungan kerja tetapi adalah hubungan perjanjian pemborongan kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 1601b kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPa) yang berbunyi:

“Perjanjian-pemborongan-pekerjaan adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan, dengan menerima bayaran tertentu”.

Di dalam hubungan antara pekerja rumahan dengan majikannya sebenarnya lebih condong kepada perjanjian pemborongan kerja, hal ini terlihat dari beberapa unsur seperti:
ü  Majikan tidak melakukan supervisi atau pengawasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh buruh.
ü  Majikan hanya melihat hasil akhir (karya) dari buruh saja sehingga sesuai dengan perjanjian jika hasilnya sesuai dengan standar yang telah disepakati maka majikan akan membayar upahnya dan jika hasilnya tidak sesuai dengan standar yang telah disepakati maka pekerja rumahan harus membayar kerusakannya tersebut.

Tetapi selain unsur-unsur yang mendekati perjanjian pemborongan pekerjaan yang tersebut di atas ada satu unsur dari perjanjian pemborongan pekerjaan yang tidak terpenuhi dalam kasus hubungan antara pekerja rumahan dengan majikannya, yaitu bahwa hubungan antara majikan dengan pekerja rumahan bukanlah hubungan koordinasi sebagaimana disyaratkan didalam perjanjian pemborongan kerja, karena pekerja rumahan tidak mempunyai nilai tawar sama sekali didalam menentukan besarnya nilai pembayaran terhadap karya yang dihasilkan oleh pekerja rumahan. Hal ini membuat hubungan antara pekerja rumahan bukanlah murni hubungan perjanjian pemborongan pekerjaan tetapi juga mengandung unsur perjanjian kerja yang menjadi landasan dari dimulainya hubungan kerja.

Pada kasus pekerja rumahan bahwasanya perjanjian untuk melakukan pekerjaan berlangsung dalam jangka waktu pendek dan terus diulang-ulang sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja rumahan adalah berlangsung terus dalam jangka waktu yang lama. Pada kasus semacam ini berdasarkan pasal 1601c ayat 2 KUHPa yang berbunyi:
”Jika suatu perjanjian-pemborongan-pekerjaan diikuti oleh beberapa perjanjian semacam itu, meskipun tiap kali dengan suatu waktu selang, atau jika pada waktu dibuatnya perjanjian-pemborongan-pekerjaan terang maksud kedua belah pihak adalah untuk membuat beberapa perjanjian lagi yang semacam sedemikian rupa sehingga semua perjanjian-pemborongan-pekerjaan itu bersama-sama dapat dianggap sebagai suatu perjanjian-kerja, maka yang berlaku adalah ketentuan mengenai perjanjian-kerja terhadap perjanjian-perjanjian tersebut kesemuanya dan terhadap tiap perjanjian itu sendiri, dengan pengecualian ketentuan dibagian Keenam BAB ini. Tetapi jika dalam hal yang sedemikian itu perjanjian yang pertama dibuat sebagai percobaan, perjanjian itu dianggap tetap memiliki sifatnya sebagai perjanjian-pemborongan-pekerjaan dan ketentuan di bagian Keenam akan berlaku baginya”.

Maka pola hubungan semacam ini sudah dapat dikategorikan masuk didalam hubungan kerja karena pola hubungan semacam ini telah mengandung unsur kepemimpinan atau wewenang untuk memerintah dari pihak majikan kepada pihak buruh[6], tentu dalam hal ini termasuk juga pekerja rumahan.

3.    Dalam Waktu Tertentu
Maksud dalam unsur ini adalah bahwa buruh dalam melakukan pekerjaannya mempunyai waktu tertentu, sehingga jika waktu melakukan pekerjaan telah selesai (misalnya karena jam kerja yang ditentukan oleh majikan ataupun oleh peraturan yang berlaku telah berakhir ataupun karena buruh telah pensiun ataupun telah keluar dari pekerjaan) maka buruh akan kembali menjadi pribadi seutuhnya sebagai manusia yang bebas dan merdeka, unsur ini penting untuk menghindari praktek perbudakan yang menghilangkan jati diri buruh sebagai manusia. Unsur inipun terpenuhi dalam kasus pekerja rumahan.

4.    Adanya upah
Yang dimaksud dengan upah menurut pasal 1 angka 30 UU No. 13 tahun 2003 adalah:

”Upah adalah pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Definisi upah didalam UU di atas kembali menunjukkan inkonsistensi karena turut serta menyebutkan pihak pemberi kerja sebagai pihak yang dapat memberikan upah kepada pekerja/ buruh, yang berarti dalam hal ini PRT masuk dalam lingkup hukum perburuhan, tetapi paling tidak dalam kasus pekerja rumahan yang berciri POS unsur ini terpenuhi.

Dari unsur-unsur perjanjian kerja di atas menjadi terang dan jelas bahwa pekerja rumahan yang berciri POS secara meyakinkan telah masuk dalam struktur perlindungan hukum perburuhan Indonesia, hal ini mempunyai konsekuensi bahwa pekerja rumahan berciri POS juga memiliki seluruh hak-haknya sebagai buruh yang di atur didalam seluruh peraturan perundang-undangan perburuhan yang berlaku. Sehingga klaim majikan yang selama ini menganggap bahwa para pekerja rumahan tidak menjadi buruh dari majikan karena berstatus perjanjian pemborongan pekerjaan menjadi tidak sah atau dengan kata lain batal demi hukum.

Tetapi sebelumnya harus dipertanyakan bagaimana dengan pekerja rumahan berciri POS yang juga merekrut pekerja rumahan lain dan juga melakukan pembayaran upah kepada orang lain (pekerja rumahan lain) Dari pengalaman empiris Penulis dalam melakukan advokasi terhadap kasus-kasus perburuhan, kasus semacam ini adalah wajar dan di lapangan pekerja yang mempunyai kedudukan semacam ini juga berpindah-pindah antara menjadi buruh dan majikan. Seperti pada kasus seorang manager dari sebuah pusat perbelanjaan, pada saat perusahaan tersebut melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap salah seorang buruhnya, manager tersebut berposisi sebagai wakil majikan dalam perkara tersebut atau dia berperilaku sebagai majikan. Tetapi pada saat sang manager tersebut yang ganti di PHK oleh perusahaan, maka Penulis akhirnya menjadi kuasa hukumnya dan sang manager berposisi sebagai buruh ter-PHK. Artinya untuk pekerja rumahan yang berciri POS dan atau juga mempekerjakan pekerja rumahan yang lain dapat diartikan tetap berposisi sebagai buruh dan tetap mendapatkan seluruh hak-haknya sebagaimana tercantum didalam hukum perburuhan kita.
Oleh karena itu Penulis memberikan usulan untuk pekerja rumahan yang berciri POS akan jauh lebih tepat jika menggunakan istilah buruh rumahan daripada pekerja rumahan, karena istilah pekerja berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia mempunyai arti orang yang melakukan pekerjaan, terlepas apakah dia melakukan pekerjaan untuk memperoleh upah, untuk kesenangan, iseng dsb. Hal mana berbeda dengan definisi buruh yang jelas-jelas melakukan pekerjaan pada majikan untuk memperoleh upah dan definisi ini sesuai dengan kondisi di lapangan.

Mengingat hak pokok dari buruh adalah upah, karena tingkat upah mencerminkan tingkat kesejahteraan dari buruh tersebut, maka untuk buruh rumahan yang upahnya dibayar berdasarkan satuan hasil kerja berlaku pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-01/MEN/1999 yang menyebutkan:
“Bagi pekerja dengan dengan sistem borongan atau berdasarkan satuan hasil yang dilaksanakan 1 (satu) bulan atau lebih , upah rata-rata sebulan serendah-rendahnya sebesar Upah Minimum di perusahaan yang bersangkutan”.

Yang dimaksud upah minimum dalam pasal di atas adalah
upah minimum propinsi, kabupaten, atau kota sesuai dengan domisili dari perusahaan di mana buruh bekerja. Begitu juga dengan hak-hak lainnya yang diatur didalam hukum perburuhan termasuk jaminan sosial yang harus diterima oleh buruh rumahan, dan bahkan telah ada aturan yang secara khusus disediakan untuk buruh berstatus upah borongan, yaitu di dalam Keputusan Menteri Tenaga kerja No. Kep-150/MEN/1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Waktu Tertentu.

Sedangkan untuk pekerja rumahan yang berciri SE menurut Penulis tidak dapat dimasukkan di dalam struktur perlindungan hukum perburuhan karena memang tidak memenuhi syarat unsur-unsur di dalam perburuhan, tetapi pekerja rumahan yang berciri SE harus menjadi tanggung jawab dari departemen perindustrian dan departemen terkait untuk mengembangkan dan memberdayakan buruh rumahan berciri SE tersebut.

Di dalam hukum ketenagakerjaan hanya jaminan sosial yang dapat dituntut dari negara karena memang telah ada UU yang mengaturnya, hal ini dapat dilihat di dalam pasal 3 ayat (2) UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang berbunyi:
”Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja”.

Dimana di dalam aturan pelaksanaan dari UU di atas badan penyelenggara program jaminan sosial tenaga kerja tersebut diserahkan kepada kewajibannya kepada PT. Jamsostek Tetapi didalam pasal 4 ayat (2) UU No. 3 tahun 1992 menyebutkan:
“Program jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

pasal 4 ayat (2) UU tersebut sesuai dengan karakteristik pekerja rumahan yang berciri SE, tetapi sampai dengan sekarang Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh pasal 4 tersebut belum juga dikeluarkan oleh Pemerintah sehingga pasal 4 tersebut sampai dengan hari ini belum implementatif. Atau dengan kata lain pekerja rumahan yang berciri SE sampai dengan hari ini belum terlindungi jaminan sosialnya, walaupun telah diatur didalam sebuah UU.


IV.      STRATEGI ADVOKASI BURUH RUMAHAN DAN PEKERJA RUMAHAN BERCIRI SE

Mengingat begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh buruh rumahan dan pekerja rumahan yang berciri SE, tentu haruslah dilakukan langkah-langkah oleh semua pihak yang peduli terhadap permasalahan ini, Penulis mencoba untuk memberikan saran dalam kaitannya perbaikan aturan hukum dalam melindungi buruh rumahan dan pekerja rumahan berciri SE, sebagai berikut:

Strategi Advokasi Untuk Buruh Rumahan
melihat struktur hukum perburuhan kita yang masih memberikan ruang interpretasi terhadap buruh rumahan, apakah mereka masuk dalam perlindungan hukum perburuhan kita atau tidak, walaupun interpretasi yang cukup kuat dari jabaran Penulis di atas memasukkan buruh rumahan kedalam perlindungan hukum perburuhan, tetapi sebaiknya memang ciri khas didalam buruh rumahan dapat diakomodir secara tekstual dalam hukum perburuhan kita. Hal ini akan menghilangkan keragu-raguan apakah buruh rumahan masuk atau tidak dalam hukum perburuhan kita.

Bahwa permasalahan hukum sangatlah berbeda dengan kondisi empiris yang dialami sehari-hari, walaupun buruh rumahan dapat dimasukkan dalam struktur perlindungan hukum perburuhan kita, tetapi secara empiris instansi ketenagakerjaan dan para majikan masih tidak mengerti tentang hal itu, oleh karena itu kampanye dan penyadaran hak dan kewajiban tidak hanya dilakukan untuk buruh rumahan sendiri tetapi juga harus dilakukan untuk instansi ketenagakerjaan dan para majikannya

Untuk memperkuat nilai tawar dan pengakuan utuh bahwa buruh rumahan adalah juga buruh biasa sebagaimana definisi dari hukum perburuhan, dapat dilakukan dengan cara legalisasi organisasi buruh rumahan dalam bentuk serikat buruh sebagaimana diatur didalam UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.

Perlunya advokasi untuk memasukkan serikat buruh yang dibentuk oleh buruh rumahan dalam keanggotaan Komisi Penelitian Pengupahan dan Jaminan Sosial dan atau Dewan Ketenagakerjaan Daerah dan Pusat untuk tujuan pengakuan terhadap buruh rumahan, karena kedua lembaga tersebut sangat strategis sebab lembaga tersebutlah yang akan menetapkan besaran upah minimum yang berlaku setiap tahun bagi daerah, propinsi, maupun nasional serta siapa saja yang berhak masuk dalam struktur perlindungan upah minimum tersebut.

Perlu difikirkan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan imperatif kepada para majikan dan buruh rumahan untuk membuat perjanjian kerja secara tertulis, dimana didalam perjanjian kerja tersebut harus memuat hak-hak dasar minimum yang diperbolehkan menurut hukum perburuhan kita.

Perlunya langkah advokasi untuk memperjuangkan buruh rumahan dalam kepersertaannya di PT. Jamsostek untuk permasalahan perlindungan sosialnya, hal ini dilakukan untuk memperkecil dikotomi bahwa buruh rumahan adalah buruh yang bekerja di luar hubungan kerja (buruh informal).

Pengorganisasian terhadap basis-basis buruh rumahan untuk memperkuat bargaining position buruh rumahan terhadap majikan dan pengambil kebijakan.

Pekerja Rumahan Berciri SE
harus dilakukan kampanye secara aktif dan efisien terhadap pengambil kebijakan khususnya departemen perdagangan dan perindustrian dan departemen terkait termasuk perbankan untuk memberikan ruang yang lebih kepada pekerja rumahan berciri SE yang nota bene adalah pengusaha-pengusaha sektor mikro yang tahan dan kebal terhadap krisis ekonomi, sehingga kebijakan yang tepat di sektor informal ini dapat diarasakan secara langsung dirasakan.

Perlunya digagas perluasan akses pasar untuk pekerja rumahan berciri SE dan buruh rumahan dengan jalan menjalin kerjasama dengan pihak lain baik melalui web site ataupun yang lain sehingga dapat mendorong buruh rumahan beralih menjadi pekerja rumahan berciri SE, dengan mekanisme akses pasar tersebut harus dikelola oleh serikat buruh, dan serikat buruh yang akan mendistribusikan akses pasar kepada pekerja rumahan berciri SE dan buruh rumahan.

Harus dilakukan upaya mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja bagi pekerja rumahan berciri SE yang merupakan tenaga kerja yang bekerja di luar hubungan kerja.
Pengorganisasian di tingkat basis untuk membentuk organisasi yang bergabung dengan serikat buruh rumahan untuk memperkuat baik terhadap pengambil kebijakan maupun terhadap pasar.





[1] Prof.Imam Soepomo: Pengantar Hukum Perburuhan (1985:1-3)
[2] Hesti R Wijaya: Pekerja Perempuan Sektor Informal Kasus Wanita Pekerja Rumahan (Women Home Based Workers)
[3] Baca Arianti Ina R. Hunga: Pemberdayaan Home Workers Melalui Pendekatan Riset Aksi}
[4] Soepomo Opcit; (1985:53)
[5] F.X Djumialdji, S.H., Perjanjian Kerja; (2001:18-20); lihat juga DR. H. Koko Kosidin, S.H.MH., Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan, dan Peraturan Perusahaan
[6] Prof. Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja; (1983:2-3)


*) Penulis adalah Koordinator Divisi Kajian dan Advokasi MWPRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar